Jika iya, maka kamu tidak boleh melewatkan seleksi Emerging Writers (penulis pendatang baru) dari Ubud Writers &amp; Readers Festival 2024, yang baru saja dibuka pada 8 Januari 2024.
Ubud Writers &amp; Readers Festival (UWRF) adalah salah satu gelaran sastra terdepan di Asia Tenggara yang didirikan pada 2003 sebagai proyek pemulihan dari tragedi Bom Bali I. UWRF telah menampilkan banyak penulis, wartawan dan aktivis ternama dari berbagai penjuru dunia. Beberapa di antara mereka telah memenangkan Booker Prize (seperti Bernadine Evaristo, Geetanjali Shree, Shehan Karunatilaka).
Sementara itu, program Penulis Emerging UWRF diluncurkan pada tahun 2008 untuk mengembangkan bakat-bakat baru dalam sastra Indonesia. Setiap tahunnya, karya para penulis emerging UWRF diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan dibukukan dalam Antologi Dwibahasa Tulisan Indonesia.
UWRF mendefinisikan Penulis Emerging sebagai penulis yang muda dari segi usia (di bawah&nbsp; 35 tahun) atau muda dari segi karya (belum pernah menerbitkan lebih dari dua buku). Pada tahun-tahun sebelumnya, program Penulis Emerging UWRF menerima karya dalam bentuk cerita pendek, nukilan novel, puisi dan esai. Namun sejak tahun 2022, program Penulis Emerging UWRF hanya menerima karya dalam bentuk cerita pendek, demikian pula program Penulis Emerging UWRF tahun ini. Adapun tema untuk program Penulis Emerging UWRF tahun ini adalah Kearifan Lokal.
<hr />
<h3 style="text-align: center;">Baca juga: ACI WITH ACCENT&nbsp;</h3>
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/28408dd5-093c-4a75-b916-eeae42375fe7?width=2000&amp;height=1414" alt="Aci with Accent Banner" />
<h6 style="text-align: center;">The only media column in Indonesia covering <a href="https://artcallsindonesia.com/search?q=aci%20with%20accent" target="_blank" rel="noopener">all things intercultural.</a> In ACI WITH ACCENT Marten as the initiator of ART CALLS Indonesia reflects in personal opinions on topics related to interculturalism and feelings of belonging. Through ACI WITH ACCENT he accentuates with his very own accent and oscillates between perspectives from varying sides. ACI WITH ACCENT is one of the most read and most controversial rubrics on ACI, holding up a mirror to readers and questioning what contemporary Indonesianness could be. |&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/bule-seolah-epifani-mengapa-orang-indonesia-merasa-inferior-sama-bule" target="_blank" rel="noopener">Bule seolah Epifani: Mengapa orang Indonesia merasa inferior sama bule</a></h6>
<hr />
<h3>Karya terpilih&nbsp;</h3>
Bagi penulis yang karyanya terpilih, cerita pendeknya akan diterjemahkan ke Bahasa Inggris dan akan diterbitkan dalam versi dwibahasa dalam Antologi Tulisan Indonesia UWRF 2024. Selain itu, penulis yang terpilih juga akan disponsori untuk menghadiri gelaran UWRF 2024 yang akan diadakan di Ubud, Bali&nbsp; dari tanggal 23 - 27 Oktober 2024.
Biaya transportasi udara dan darat, serta akomodasi para Penulis Emerging UWRF akan ditanggung panitia. Saat UWRF 2024 berlangsung, tidak hanya para penulis&nbsp; terpilih akan mendapatkan akses terbuka untuk berjejaring, mengikuti jamuan makan malam dan tampil satu panggung&nbsp; bersama dengan berbagai penulis, pemikir, seniman dan pegiat Indonesia dan mancanegara dalam berbagai program. Tidak hanya itu, para penulis terpilih juga akan mendapatkan akses untuk mengikuti lokakarya dan masterclass.
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/62620587-08e8-46d4-ad07-0da7c9aadd07?width=1080&amp;height=1350" alt="F1 Omo Wua Iae M Jd" />
<h6>Suasana di Ubud Writers and Readers Festival 2023 | Foto: UWRF</h6>
<h3>Terbuka untuk peminat dari seantero Indonesia&nbsp;</h3>
&ldquo;Banyak sekali penulis yang sangat berbakat dari berbagai penjuru Indonesia, yang sayangnya belum mendapatkan kesempatan untuk tampil karena tidak memiliki koneksi atau akses yang cukup. Program penulis emerging UWRF ini harus menjadi wadah untuk bisa menemukan bakat-bakat luar biasa tersebut,&rdquo; ucap Manajer Program Indonesia UWRF Gustra Adnyana.
Banyak alumni dari program seleksi Emerging Writers Indonesia telah menjadi sosok berpengaruh dalam dunia sastra Indonesia dan mancanegara. Buku karya beberapa alumni emerging writers, seperti Norman Erikson Pasaribu (2015) dan Dias Novita Wuri (2014), juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya.
<h3>Ketentuan dasar</h3>
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Penulis Emerging UWRF adalah penulis muda dalam karya (belum mempublikasikan lebih dari 2 buku) atau muda dalam usia (mak. 35 tahun).</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Open Call ini hanya terbuka bagi peserta Warga Negara Indonesia.&nbsp;</li>
</ul>
<h3><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/96ca6d70-d359-4203-9764-94d6214cf742?width=2000&amp;height=1414" alt="Bubbling Banner" /></h3>
<h3>Kriteria penyeleksian</h3>
<ol>
<li> Karya berupa cerita pendek (cerpen)</li>
<li> Pelamar mengirimkan tiga cerita pendek terbaik</li>
<li> Karya yang dikirimkan mengandung nilai-nilai lokalitas atau kearifan lokal, serta kebaikan-kebaikan yang ditemukan dalam masyarakat Indonesia</li>
<li> Karya belum pernah dipublikasikan dalam bentuk buku cetak, E-Book, dan belum pernah diterbitkan di sarana daring mana pun</li>
<li> Karya tidak sedang diikutkan dalam seleksi serupa</li>
<li> Karya ditulis dalam Bahasa Indonesia yang baik</li>
<li> Cerpen adalah karya asli, bukan saduran, dan bukan jiplakan</li>
</ol>
<h3>Di balik seleksi karya&nbsp;</h3>
Pamflet karya yang dikirim bersifat anonim, nama penulis tidak boleh dicantumkan, agar penilaian dewan kurator tidak dipengaruhi status sang penulis. Dewan kurator terdiri atas sastrawan dan akademisi sastra. Penulis yang lolos akan dipilih berdasarkan kekuatan karakter, bahasa, dan gaya bercerita yang kreatif. Nama para penulis terpilih akan diumumkan pada 30 April 2024.
<h3>Di balik seleksi Penulis Emerging UWRF</h3>
Seleksi Penulis Emerging UWRF merupakan gagasan utama dari Yayasan Mudra Swari Saraswati. Program Penulis Emerging UWRF dirancang untuk mewadahi potensi penulis muda Indonesia dan mengenalkan karya atau cerita mereka, serta berkontribusi pada keragaman khasanah sastra Indonesia secara luas.
<hr />
<h3 style="text-align: center;">Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/readers-and-writers-making-waves-reasons-to-be-optimistic-about-indonesia-s-literacy-culture" target="_blank" rel="noopener">Readers and Writers Making Waves: Reasons to be Optimistic About Indonesia&rsquo;s Literacy Culture</a></h3>
Although some global statistics show that Indonesia is still behind in terms of literacy culture, all is not lost. We have in actuality made so much progress in this area and there are many other ways we can still improve this situation and it all depends on creating quality engagement between people through reading.
<hr />
<h3>Benefit yang ditawarkan</h3>
Penulis Emerging UWRF 2024 yang terpilih akan mengalami pengalaman luar biasa, di antaranya adalah menghadiri Ubud Writers &amp; Readers Festival 2024, bertemu dengan ratusan penulis nasional dan internasional. Selain itu, mereka akan mendapatkan akomodasi selama festival berlangsung dari 23 hingga 27 Oktober 2024, tiket pesawat pulang-pergi ke Bali, per diem selama festival, mengikuti masterclass penulisan kreatif sebelum UWRF 2024, serta meluncurkan kumpulan antologi dwibahasa bersama penulis emerging Indonesia terpilih lainnya.
Mereka juga akan ikut serta dalam berbagai jamuan makan malam dan acara spesial bersama penulis-penulis ternama dunia, mendapatkan kesempatan istimewa untuk memilih berbagai masterclass, dan akses ke puluhan Program Utama selama UWRF 2024. Selain itu, mereka akan menjadi pembicara bersama penulis undangan UWRF lainnya di berbagai program festival.
&nbsp;

Penulis awal karier: Ikuti seleksi 'Emerging Writer'!

This column called ACI WITH ACCENT is usually published in Indonesian and discusses all things &lsquo;intercultural&rsquo;. Interculturalism, putting it simply, is nothing else than seeing things from more than just one cultural perspective. We publish this very article in English and try to &ndash; literally &ndash; help seeing things from another cultural perspective &ndash; for those who aren&rsquo;t in or from Indonesia.&nbsp;
What&rsquo;s cooking? Again and again the overall same <a href="https://artcallsindonesia.com/read/ruangrupa-kembali-dicela-media-mancanegara-direktur-documenta-menegur-ruangrupa-secara-terang-terangan-kepala-universitas-hfbk-hamburg-mengaku-kesal" target="_blank" rel="noopener">antisemitism accusations</a> ruangrupa has to face. Although, in fact, the Jakarta-based collective ruangrupa might not even nurture concrete intentions to disseminate any politically negative signals. ACI outlines in <a href="https://artcallsindonesia.com/read/ruangrupa-kembali-dicela-media-mancanegara-direktur-documenta-menegur-ruangrupa-secara-terang-terangan-kepala-universitas-hfbk-hamburg-mengaku-kesal" target="_blank" rel="noopener">several articles</a> why ruangrupa, who masterminded last year&rsquo;s prestigious documenta festival, got into antisemitism allegations.&nbsp;
Those allegations do not come from anonymous 'netizens', but top down. President of Germany Frank-Walter Steinmeier, Chancellor of Germany Olaf Scholz, Federal Government Commissioner for Culture and Media in Germany Claudia Roth, documenta boss Andreas Hoffmann, a 133-page report by equidistant experts &ndash; all of them are addressing in one way or the other the elephant in the room. The mentioned <a href="https://news.artnet.com/market/expert-report-on-documenta-15-calls-show-an-echo-chamber-for-israel-related-antisemitism-but-its-authors-defend-artistic-freedom-2253347" target="_blank" rel="noopener">report even concludes</a> that documenta fifteen &ldquo;served as an echo chamber for Israel-related antisemitism and sometimes pure antisemitism.&rdquo; And: Antisemitism-allegations from last year arise again (09/10/2023), as <a href="https://artcallsindonesia.com/read/ruangrupa-kembali-dicela-media-mancanegara-direktur-documenta-menegur-ruangrupa-secara-terang-terangan-kepala-universitas-hfbk-hamburg-mengaku-kesal" target="_blank" rel="noopener">two members of ruangrupa are publicly admonished</a> by the new director of the documenta art festival.&nbsp;
The PR-blaze ruangrupa ignited back in 2022, during documenta, with opaque communication on their stance on antisemitism, could have been quenched immediately back then.
More from ACI:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/the-real-reasons-why-most-indonesians-don-t-like-to-read" target="_blank" rel="noopener">The real reasons why most Indonesians don&rsquo;t like to read</a>
<hr />
<h3 style="text-align: center;">Art is in its kernel all about the ability to think dually, to oscillate between varying perspectives</h3>
<hr />
To put it simply, every culture has their own values and doctrine. Accused of antisemitism by German media (a sensitive topic for Germans for historic reasons), ruangrupa decided to make themselves scarce. Unavoidably, a previously minor dismay turned into a campfire for antagonists which would have needed rhetorically brave firemen to be put out.&nbsp;
Art is in its kernel all about the ability to think dually, to dichotomise, to oscillate between varying perspectives and to hold up a mirror to those you wish to address. And if you are invited to conceive one of the world&rsquo;s most renowned and oldest art festivals as a fete for the Global South in a Western country, I think it doesn&rsquo;t hurt to be somewhat apt in those &lsquo;intercultural&rsquo; abilities.&nbsp;
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/5e574664-7a79-4c06-b1bb-09db92db4a8b?width=1200&amp;height=800" alt="Ruangrupa 2" />
<h6>The collective collectively united in a photo | Foto: Der Standard&nbsp;</h6>
Artistically, all critics agree that the people of ruangrupa introduced new alternative schemes of understanding art in the Northern art hemisphere. But as curators &ndash; and curators do have to talk, negotiate and convey their ideas rhetorically &ndash; ruangrupa missed out on many opportunities. Here&rsquo;s why:
<h3>Leverage</h3>
In Indonesia, we do have loads of talk shows. Mostly in the concept of vertical communication. People perceived as worth listening to because of age, status or family background are given full attention to say whatever they want. And then they take the floor flooding us with the forever same verbiage.&nbsp;
Although this might be dyed in a lot of stereotyping, Germany loves to discuss &ndash; consequently, dead-ass seriously and passionately. Sometimes even just for the sake of intellectual swordplay itself. No matter of your stand or your &ndash; lets say &ndash; age, no one would cut you short with a &lsquo;sok tau lu&rsquo; (know-it-all!), returning the scepter to those eligible.
&ndash; And that's the exit ruangrupa should have taken to gain leverage. Talking, talking, talking instead of feeling misunderstood. Germany is perhaps indeed THE country of talk shows in television, in art theaters and in academic surroundings. If ruangrupa only wanted, they surely could have been invited to &ndash;&nbsp; lets say &ndash; <a href="https://www.zdf.de/gesellschaft/markus-lanz" target="_blank" rel="noopener">Markus Lanz</a>, Germany's number one chat-show host, similar to Kick Andy or Najwa Shihab in Indonesia. Without being judged, but being asked rhetorically tricky questions, they could have squashed all allegations they faced.
More from ACI:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/why-even-bother-reading-when-reading-is-such-a-useless-activity" target="_blank" rel="noopener">Why even bother reading, when reading is such a useless activity</a>
<h3>Asymmetric vocabulary&nbsp;</h3>
I read a newspaper round up the other day <a href="https://www.abendblatt.de/kultur-live/article237541353/antisemistismus-skandal-documeta-fifteen-hochschule-fuer-bildende-kuenste-debatte.html" target="_blank" rel="noopener">about an audience discussion which featured members of ruanrgupa and Taring Padi.</a> In short, the German audience was cross examining the Indonesian panelists, who seemingly were cornered. &ndash; Well, that's not surprising! In Indonesia there are no such panel talks where the audience rhetorically disassembles the most renowned person in the room. The clumsy reaction of ruangrupa and Taring Padi, as portrayed in said article: &lsquo;I don't know&rsquo; &ndash; &lsquo;In Indonesia (...) we don't have the vocabulary for this (...)&rsquo;.
<hr />
<h3 style="text-align: center;">Yes, the German media (Feuilleton) is a minefield which twists every semantic bit of yours&nbsp;</h3>
<hr />
To me personally &ndash; back to interculturally appreciating and taking everyone as they are &ndash; it&rsquo;s alright if one lacks the vocabulary to name certain things &ndash; happens to me all the time. Especially when I want to make a joke, but miss the timing, when that one certain word keeps resisting to pop up in my head. The thing is, the curators of documenta were given vast options to embrace, analyze and perhaps even assimilate with German culture. There is nothing wrong with assimilating as long as it helps you to make yourself heard, making your ideas accessible in the way your addressee can understand them. Some of the ruangrupa members were even<a href="https://artcallsindonesia.com/read/ruangrupa-kembali-dicela-media-mancanegara-direktur-documenta-menegur-ruangrupa-secara-terang-terangan-kepala-universitas-hfbk-hamburg-mengaku-kesal" target="_blank" rel="noopener"> invited as visiting professors</a> to a university in Hamburg, and some of them are still said to reside in Germany. In that case, one could know better about how things are, no?
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/7615418a-250a-4dec-89af-08ab85d6fb80?width=1333&amp;height=1000" alt="D15 Ruangrupa 2022 06 04 &copy; Documenta 15 Nicolas Wefers 1" />
<h6>A collective dealing with a collateral image-damage | Foto: Nicolas Wefers, Documenta</h6>
<hr />
<h3 style="text-align: center;">In Germany you can even present lewd poems about politicians having zoophile tendencies</h3>
<hr />
Cultural misunderstanding can only be solved through intercultural communication. Yes, the German media (<a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Feuilleton" target="_blank" rel="noopener">Feuilleton</a>) is &ndash; when they are cantankerous towards someone &ndash; a minefield which twists every semantic bit of yours. But that's journalism, that's discussion, that's what makes people talk. Everyone &ndash; beside those put in focus (ruangrupa).
<h3>That's how it is. It is how it is&nbsp;</h3>
In Germany, one can even present lewd poems about politicians <a href="https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2016/04/07/a-german-comedian-read-a-lewd-poem-about-turkeys-erdogan-now-he-could-face-jail-time/" target="_blank" rel="noopener">having zoophile tendencies and doggy-sex with goats</a>. You wouldn&rsquo;t have to clandestinely recite those eddy pieces of prose in some cellar theatre &ndash; things as such get aired on publicly funded television during prime time in Germany.
Whereas in Indonesia, even a harmless <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20221121145047-20-876511/pembuat-meme-iriana-jokowi-dan-ibu-negara-korsel-mau-minta-maaf" target="_blank" rel="noopener">meme about the president's wife</a> can have severe legal consequences. Imagine European artist Hermann Nitsch being asked to do an art performance at ARTJOG, splattering (haram) pig&rsquo;s blood all over Jogja. Unimaginable, undoable, illegal! And so it is.&nbsp;
My point is, things are always contextual. What you can demand from an audience depends on where the audience is (locus). As a very simplistic example: <a href="https://artcallsindonesia.com/read/apakah-mengagung-agungkan-bule-adalah-hal-yang-terinstitusionalisasi" target="_blank" rel="noopener">Youtubers who target Indonesian audiences</a>. They would usually do a video of them wandering around somewhere in Indonesia, commenting on random things either negatively or positively, and eventually lure thousands of 'netizens' into sharing their sulky or overproud reactions. Take it or leave it, it is how it is.
It is how it is for us, as a small media platform, as well. How dearly we would like to do commentaries on politicians, calling them to account. But, can we? No. Pencemaran nama baik. We have our lawyer checking our articles when necessary to give clearance, although they are harmless. That's how it is.
More from ACI:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/vacuum-in-the-collective-brain-understanding-the-brain-drain-in-indonesia" target="_blank" rel="noopener">Vacuum in the collective brain &ndash; Understanding the brain drain in Indonesia</a>
<h3>Biting the bullet</h3>
It takes some bravery to bite the bullet, to face intellectuals who might not be affable. But when you are asked to face the challenge, then why don&rsquo;t do it? It beggars description to promote diversity on one side, but to blame cultural misunderstandings on the other side.&nbsp;
Trying to practice what I preach: I&rsquo;m not being paid by any German entity to expose these opinions of mine. It's a lot more simple: To me, it's about seeing the good things (or if you want it this way: the things you can use to leverage something) in an individual cultural context. In Germany it's perhaps their egalitarian discussion culture. In Indonesia, it's the power of the many young people who live here! And here&rsquo;s us, trying to ignite discussions among young people (a little bit of both).&nbsp;
(Marten Schmidt, 13.10.2023, Art Calls Indonesia)&nbsp;
&nbsp;

Making your way through with the options given

ACI WITH ACCENT &ndash; Selepas bangun pagi pada hari ini, saya DM-an dengan salah satu teman yang sedang giat menunjukkan solidaritas pada rakyat Palestina melalui repost dari akun-akun slacktivism. Lantas, dia mengaku tidak terlalu percaya dengan apapun yang dinarasikan media Barat dalam hal <a href="https://artcallsindonesia.com/read/jumlah-korban-jiwa-di-supernova-festival-musik-trance-mencapai-260-orang" target="_blank" rel="noopener">perang Israel-Hamas</a>. Yang jelas, teman saya bukan satu-satunya yang bernalar kritis terhadap diseminasi oleh media Barat. Unggahan berita CNN Indonesia dan perusahan media lainnya hampir selalu disusul ucapan keraguan pembaca Indonesia: &lsquo;gak yakin gue mahh ni berita&rsquo;, &lsquo;jangan terlalu percaya&rsquo;.&nbsp;
Sebenarnya, tidak masalah jika pembaca tidak percaya dengan sudut pandang editorial di balik berita, atau dengan mutunya validasi berita. Semua media cenderung memang punya bias &ndash; atau pendapat.&nbsp;
Perihal perang Hamas-Israel, kekontrasan sudut pandang terpapar secara ekstrem. Media Barat rerata mengacu pada grup Hamas sebagai teroris, sedangkan banyak media berbasis di Indonesia tidak sematkan atribut negatif pada Hamas. <a href="https://epaper.kompas.id/pdf/show/20231010" target="_blank" rel="noopener">Harian Kompas</a> misalnya (salah satu media andalan saya, yang saya juga manfaatkan untuk belajar Bahasa Indonesia dari nol sejak 2020) secara konsekuen menyebut Hamas saja, dan kelompok pejuang bersenjata Palestina. <a href="https://www.instagram.com/viceind/?img_index=1" target="_blank" rel="noopener">Vice Indonesia</a> (yang merupakan cabang dari media berbasis di AS) menyebutnya gerilyawan. <a href="https://www.thejakartapost.com/world/2023/10/10/calls-for-restraint-in-middle-east-as-ri-moves-to-evacuate-citizens.html" target="_blank" rel="noopener">The Jakarta Post</a> merujuk pada &lsquo;militant group&rsquo;.&nbsp;
<h3>Saya sendiri pun sadar akan bias saya</h3>
Sebagai penutur Bahasa Jerman dan Inggris, saya sering mengonsumsi analisis media Barat, dalam media TV, koran dan majalah. Sejujurnya, karena penyediaan informasi di Indonesia tidak ekuivalen. Saya sendiri agak males nonton liputan yang dihiasi musik dramatis lebay, banyak efek kelap-kelip dan jedag-jedug, dan interupsi iklan kopi saset setiap beberapa saat.&nbsp;
Baca juga: <a href="https://artcallsindonesia.com/read/panduan-bunuh-diri-ketika-kasus-bunuh-diri-diromantisisasi-media" target="_blank" rel="noopener">K</a><a href="https://artcallsindonesia.com/read/panduan-bunuh-diri-ketika-kasus-bunuh-diri-diromantisisasi-media" target="_blank" rel="noopener">asus bunuh diri diromantisisasi media</a>
Balik lagi ke perang Hamas-Israel. Korban warga sipil di kedua belah pihak terus berjatuhan. Praktik Apartheid yang ditekankan Israel sejak dua dasawarsa akhirnya meledak.&nbsp;
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/02de2995-a768-4cf8-bb4f-fb6a3f315fa0?width=2000&amp;height=1414" alt="Image Press Freedom" />
<h3>Sekilas tentang 'sudut pandang' orang Arab Saudi</h3>
Menurut <a href="https://aawsat.com/الرأي/4591711-غزة-وحرب-بلا-فائدة" target="_blank" rel="noopener">Tariq Alhomayed</a>, mantan pemimpin redaksi koran <a href="https://aawsat.com/الرأي/4591711-غزة-وحرب-بلا-فائدة" target="_blank" rel="noopener">Asharq Al-Awsat</a> (Arab Saudi), ketidakstabilan di Timur Tengah tidak bisah dibahas tanpa menyebut kehendaknya Iran:&nbsp;
<h6 style="padding-left: 40px;">&lsquo;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/sponsor-untuk-para-tahanan-hukuman-mati-di-iran" target="_blank" rel="noopener">Iran</a> does not want to see real peace, or specifically Saudi-Israeli peace (...). Because if it happens, it will be the peace that will change the face of the region. (...) and the victims, as usual, are the innocent Palestinians, while the leaders of &ldquo;Hamas&rdquo; and the factions are in luxurious hotels. The Palestinian cause also found (over the last years) sympathy from European countries; strong support from the Western left; and all of this will disappear amid the pictures and videos that were broadcast as a result of this (Hamas) operation. No one will now dare to speak a word of truth against Israel.&rsquo;</h6>
Hamas, entah disebut grup teroris atau gerilyawan, bertujuan untuk meniadakan Israel dan membangun negara Islam. Hamas tidak memiliki legitimasi demokratis. Agar terus-terang: Sumber informasi tersebut berasal dari Barat. Reuters.&nbsp;
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/sponsor-untuk-para-tahanan-hukuman-mati-di-iran" target="_blank" rel="noopener">Sponsor untuk para tahanan hukuman mati di Iran</a>
<h3>Bagaimana jika ada korban jiwa kebanggsaan Indonesia?</h3>
Bagaimana jika salah satu pihak perang menewaskan seorang diaspora WNI baik di Gaza maupun Israel? Apakah opini publik di Indonesia kemudian berubah? Sebagai referensi: <a href="https://www.bangkokpost.com/thailand/general/2660696/govt-works-to-free-thai-hostages-fly-workers-out-of-israel" target="_blank" rel="noopener">Thailand mencatat </a>12 korban warga Thailand tewas di Israel, dan 11 orang Thailand diculik oleh Hamas (data: Bangkok Post).
<h3>Bias di media&nbsp;</h3>
Bias atau prasangka membentuk opini kita. <a href="https://artcallsindonesia.com/read/why-even-bother-reading-when-reading-is-such-a-useless-activity" target="_blank" rel="noopener">Sebastian Partogi</a>, rekan saya dan jurnalis ACI <a href="https://artcallsindonesia.com/read/why-even-bother-reading-when-reading-is-such-a-useless-activity" target="_blank" rel="noopener">menulis dalam essay '</a>Why even bother reading, when reading is such a useless activity':
<h6 style="padding-left: 40px;">'The only way for us to break through our own confirmation bias is through our own curiosity. We tend to seek out and believe in information which basically reinforces our own belief systems and discard those which challenge them. Let&rsquo;s say I am anti-capitalist. No matter how many experts or books tell me about the benefits of capitalism, if I don&rsquo;t consciously seek to go beyond my own biases, I will simply discard these ideas. In the end, I might simply use these opposing ideas to cement the premise with which I entered the conversation, that capitalism is nothing but destructive.&nbsp;</h6>
<h6 style="padding-left: 40px;">We also have to be aware of the biases or blind spots of the writer of that text, for us to be aware of the limitations of his/her text and remain skeptical of his/her ideas, while at the same time still remaining receptive to the kernel of truth that the author seeks to illuminate. This is important so we do not become impressionable. When we read a text, we have to ask ourselves: where does the writer come from? What is his or her background? What could possibly be his or her political or business agenda? How do all these things, when combined, result in biases or fallacies or loopholes in his or her writings?'</h6>
Jika kita mengonversi anggapan Sebastian Partogi pada lanskap media di Indonesia, ada beberapa dinamika yang mendorong timbulnya bias tersebut. Orang Indonesia rata-rata mengonsumsi media ketersediaan gratis &ndash; para pengusaha media hanya bisa berlaba atas perhatian kita. Apa yang menyita perhatian secara berulang? Hal-hal yang disukai pembaca. Apa yang disukai pembaca? Konten yang bisa dihitamputihkan secara simpel.&nbsp;
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/situasi-pekerja-media-paling-buruk-di-lampung-maluku-utara-dan-papua" target="_blank" rel="noopener">Situasi pekerja media paling buruk di Lampung, Maluku Utara dan Papua</a>
ACI juga kadangkala mempraktik strategi itu. Tajuk <a href="https://artcallsindonesia.com/read/pentas-seni-di-sulawesi-selatan-dituding-tampilkan-waria-dan-unsur-lgbt-dibubarkan-polisi" target="_blank" rel="noopener">liputan kami tentang budaya Bugis</a> dan sosok-sosok dewa ber-gender trans disertai kata &lsquo;LGBT&rsquo; dan &lsquo;waria&rsquo;. Sebenarnya, tak perlu amat, tapi algoritma media sosial juga mendukung bias pembaca. Cerita yang didengar adalah cerita yang mengumpani pembaca.&nbsp;
Lagi pula, dunia media bukan hanya sekadar akuarium kecil. Setengah abad yang lalu, pembaca yang penasaran mungkin hanya tersedia berita terbarunya dari satu atau dua sumber secara terbatas, sehari sekali. Sekarang, apapun bisa diakses dari mana pun. Suara atau opini editorial dan institusional adalah hal penting, guna menciptakan identifikasi dan konsolidasi sesama orang senada.&nbsp;
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/jangan-diperhalus-ngomongnya-rudapaksa-maksudnya-perkosa" target="_blank" rel="noopener">Jangan diperhalus: Ngomongnya 'rudapaksa', maksudnya 'perkosa'</a>
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/967bc939-7a14-4603-b611-a8d2eb79920d?width=2000&amp;height=1414" alt="Aci Media" />
<h3>Berita enteng&nbsp;</h3>
Teman saya yang mengaku ragu percaya dengan pemberitaan media Barat sebenarnya bisa memilah sendiri berita yang layak dipercaya dan yang tidak. Caranya simpel, tapi memakan waktu: Dengan membaca sebanyak mungkin artikel dari beragam sumber. Mungkin memang terlalu susah menavigasi dalam kelautan berita yang masing-masing membawa agenda tersendiri. Mungkin itulah alasan banyak anak muda di Indonesia malah lebih getol membaca berita enteng dan berupa clickbait saja (ala kadar 'Momen anak kucing loncat dari lantai 5' atau '100 hari lagi sudah Tahun Baru').
Bisakah kita secara 100 persen percaya media lokal? Semakin luas pandangan kita, semakin... setidaknya semakin kita sadar akan bias dalam pendapat kita.&nbsp;
Pada umumnya, peliputan media berfokus pada kontekstualisasi peristiwa kontemporer berpotensi mengubah sejarah (seperti sekarang di Gaza dan Israel), bukan sekadar mewartakan insiden kronik (kecelakaan motor).&nbsp;
Ada banyak peristiwa yang kurang di-kontekstualisasi oleh media di Indonesia, walau sama-sama layak disoroti seperti nasib kaum Palestina.
Myanmar? Berjarak lebih dekat dengan Indonesia daripada belahan dunia Barat. Namun, kepasifan pemerintah Indonesia untuk menamakan sosok-sosok pelanggar HAM di Myanmar kurang diwacana dalam media lokal. Pada kesempatan <a href="https://artcallsindonesia.com/read/q-and-a-seputar-konferensi-tingkat-tinggi-asean-dan-kunjungan-kamala-harris" target="_blank" rel="noopener">Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN</a> pun beberapa waktu lalu, hal yang paling disoroti media lokal bukan ketidakhadiran Myanmar, namun bagusnya lampu-lampu kelap-kelip kala acara makan malam para petinggi ASEAN di GBK.&nbsp;
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/q-and-a-seputar-konferensi-tingkat-tinggi-asean-dan-kunjungan-kamala-harris" target="_blank" rel="noopener">Q&amp;A seputar Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN dan kunjungan Kamala Harris</a>
Timor Leste? Bagaimana pemilu tahun depan dapat berkaitan dengan masa gelapnya Indonesia sebagai agresor di Timor Leste? If you know what I mean, you know what I mean.&nbsp;
Myanmar dan Timor Leste jarang diperhatikan media (bias) Barat. Namun juga jarang diperhatikan media (bias) lokal, walau berkaitan langsung dengan kita secara politis dan historis. IMHBO, in my humble biased opinion.&nbsp;
(Marten Schmidt, 10.10.2023, Art Calls Indonesia)

'Gue ga percaya sama media Barat'

<h6>Tulisan dari rubrik ACI WITH ACCENT &ndash;&nbsp; Pidato Polusi (2)</h6>
Artikel ini bukan hanya semacam circle-jerk bagi kawan-kawan frugal yang mau tak mau terbiasa naik transportasi umum. Juga bukan semacam surat terbuka pada aktor-aktor politik yang merugikan kesehatan kita. Ini adalah naskah sci-fi. Bayangkan, Jakarta sebenarnya bisa menjadi jauh lebih layak untuk dihuni &ndash; apabila kita semua sadar akan pentingnya untuk menuntut penyediaan infrastruktur transportasi rendah emisi.&nbsp;
Infrastruktur tersebut tak harus langsung berupa kereta layang yang memakan waktu sedekade lebih untuk dibangun. Kuncinya adalah bagaimana kita menggunakan infrastruktur yang saat ini sudah ada.&nbsp;
YTTA: Let&rsquo;s say, kamu berada di kawasan Thamrin dan perlu menuju Mega Kuningan. Opsi yang tersedia adalah:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Jalan kaki. Masalahnya: Kejauhan.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Naik TransJakarta atau MRT dulu sampai Bendungan Hilir, lalu jalan kaki. Masalahnya: Jalan Satrio sungguh bukan esplanada untuk pejalan kaki.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Naik mobil atau motor pribadi maupun online. Enaknya: Bisa tempuh sampai tujuan tanpa ribet, asal bisa bersabar pas macet.&nbsp;</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Atau opsi paling science-fiction: Naik sepeda. Keringatan dikit (ya gak harus balapan juga sih), tapi enak &ndash; bahkan bisa sambil ngebat dan berkontemplasi tentang zaman kolonial kala Batavia meluncurkan kereta trem.&nbsp;</li>
</ul>
Menikmati kesantuyan saat gowes cukup menggoda, tapi mengapa warga Jakarta tetap tak memilih opsi hijau ini? &ndash; Kita menganggapnya jamak memprioritaskan kendaraan mobil pribadi, dan secara intuitif menganggap semua opsi lain sebagai pilihan orang miskin (Bukti anekdotal: Pengemudi mobil di Jakarta rerata tidak berhenti di Zebra Cross, padahal wajib secara hukum).&nbsp;
<blockquote>
<h3>Tergantung moda yang telah kamu pilih, kamu turun cantik di Lobby Menara Oakwood &ndash; atau melalui pintu samping bak tikus</h3>
</blockquote>
Okay, kamu sudah sampai di tujuan. Mega Kuningan &ndash; in all its beauty. Ubin trotoar yang tak diurus, dan dua hotel mewah yang dikawal ketat oleh petugas keamanan. Tergantung moda yang telah kamu pilih, kamu sedang turun cantik di Lobby Menara Oakwood &ndash; atau melalui pintu samping bak tikus, dan merasa terpaksa melarikan diri ke toilet umum dulu untuk touch-up. Mengarungi paparan polusi, muka lu udah kusam. Outfit lu bau apak.&nbsp;
Selepas rapat, kamu sudah ditunggu pacarmu yang nemu cafe instagrammable baru di SCBD. Benakmu memperkirakan rute dan moda optimal untuk berjalan dari Mega Kuningan ke SCBD. Lewat Mampang: Macet. Lewat Sudirman: Macet. Putarnya jauh banget pula &ndash; padahal secara jarak udara super dekat. Lagi-lagi, pilihan yang tersedia cukup monoton: Mobil (lama), motor (bawa baju ganti, gak?), jalan kaki (kayak main parcours sama tiang listrik), atau naik transportasi umum (dengan segala keterbatasan). Lagi-lagi, bersepeda sambil ngebat dan berkontemplasi tampak sebagai opsi paling masuk akal. &ndash; Lagi-lagi, sayangnya opsi ini hanya science-fiction.&nbsp;
Bayangkan saja kita sepedaan bareng, dan berkeliling santai sebagai rombongan ekspedisi. Ikuti aku saja, sepedaku yang terpasang bendera kecil bertulisan ACI (Abandoned Cyclists Indonesia).&nbsp;
<h3>Hak istimewa</h3>
Wajah kota Jakarta masih sangat dipengaruhi kehendak para pengemudi mobil seolah urban space itu ekuivalen dengan jalanan mobil. Walhasil, pengguna transportasi umum terpaksa mengikuti kehendak industri otomobil. &lsquo;Maceet, Maceeeet&rsquo; adalah adagium atau peribahasa paling lumrah di Jakarta.&nbsp;
Kita hidup di tengah udara di atas ambang batas normal dan baru menyadarinya sekarang. Kita hidup di kota yang kedodoran dan menanggapinya normal saja bahwa hanya orang berprivilese bisa berpindah tempat dalam kota. Sepupu saya yang berusia 35 tahun, lahir besar di Jakarta, tapi belum pernah sekalipun melihat atau melewati Bundaran HI.
WHO memperkirakan 70 persen penduduk kota di dunia pernah menghirup udara kotor akibat emisi kendaraan bermotor. Dengan mengutamakan kehendak golongan otomobil, kita semua tidak hanya membiayai aspal untuk jalanan dan tempat parkiran, tapi juga perawatan penyakit akibat kotornya udara (kanker, asma, pneumonia, ...).&nbsp;
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/224e714f-ade5-4d08-9dbc-4d97b7f365ab?width=1068&amp;height=690" alt="2" />
<h6><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/cc0df430-9d3d-4220-b530-95d89817bae3?width=1067&amp;height=685" alt="3" /></h6>
<h6>Sumber: <a href="https://energyandcleanair.org/wp/wp-content/uploads/2020/08/Jakarta-Transboundary-Pollution_FINALEnglish.pdf" target="_blank" rel="noopener">Centre for Research on Energy and Clean Air&nbsp;</a></h6>
<h3>Lobby to Lobby</h3>
Kita tak butuh influencer dan artis ningrat yang pamer foto mereka saat berpose di depan halte busway untuk mengingatkan kita-kita orang biasa soal daruratnya paparan polusi. Kita tak butuh pejabat yang hanya naik transportasi umum saat peresmian saja. Kita butuh afirmasi warga kelas menengah dan atas yang masih terlalu komfortabel diantar dari Lobby ke Lobby, daripada dari Halte ke Halte.
Berikut, dear Abandoned Cyclists, kita melawat ke Bangkok, mengintip penataan ibu kota Negeri Gajah Putih.
<h3>Bangkok: Ruang hijau menjadi zona integral</h3>
Sedapnya pengalaman jalan kaki di Jakarta selalu menguji inner Zen-mode kamu (dan juga toleransi paru-paru kamu): Limbah plastik dibakar sembarangan, trotoar dihalangi banyak tiang, dan bahumu senantiasa terancam menjadi target tabrakan spion mobil. Untuk membuka perspektif, berikut beberapa contoh hijau bagaimana kota Bangkok (yang juga sama-sama macet) cukup mementingkan Zen-mode warga setempat.&nbsp;
<h6><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/d3ada967-9a86-4be4-9ad4-57985b378c9e?width=2000&amp;height=1414" alt="2" />Wajah kota Bangkok dihiasi banyak taman kecil, tempat tongkrongan murid sekolah. Banyak murid diperlihatkan bernaung di bawah pohon-pohon rindang. Taman-taman di Bangkok berfungsi sebagai lokus multiguna. Warga dapat berolahraga dan membaur diri dengan manusia lain. | Foto: Oleh penulis | Atas: Taman Benchasiri, Bawah: Taman Lumphini</h6>
<h6><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/bd5b0b12-a588-4054-9490-6f2330f2844e?width=1080&amp;height=1080" alt="1" />Taman pada foto ini memperlihatkan contoh arsitektur urban yang sangat diterima warga. Taman Centenary di Bangkok, Thailand, sebelumnya merupakan jembatan fly-over yang kemudian dialihfungsikan menjadi ruang publik hijau.&nbsp;</h6>
<h3>Kopenhagen: Lalu lintas tanpa hierarki&nbsp;</h3>
Mengintip kebebasan pesepeda di Denmark, kita sambang ke Kopenhagen. Let&rsquo;s say, kalian belanja di pasar dan mengantar stok bahan masak kalian ke rumah. Opsi di Jakarta: Motor dan mobil. Orang Kopenhagen dimanjakan dengan infrastruktur yang mementingkan pesepeda. Banyak warga Kopenhagen menggunakan sepeda kargo untuk membawa paket ataupun si kecil. Coba kalian bergaya seperti itu di Jakarta, fix dikira jualan tahu bulat atau Yakult.&nbsp;
<blockquote>
<h3>'Hygge' dapat diterjemahkan sebagai perasaan nyaman dan ekspresi kenikmatan terhadap hal-hal kecil dalam kehidupan &ndash; seperti naik sepeda.&nbsp;</h3>
</blockquote>
Orang Denmark kerap dijuluki bangsa paling antusias bersepeda. Di sana, alat transportasi tersebut sudah menjadi wahana paling utama. Kota Kopenhagen dan Aarhus berada di papan paling atas dunia dalam aktraktivasi penggunaan sepeda bagi warga.
Bersepeda lebih dari sekadar kegiatan menempuh dari A ke B belaka. Bagi orang Denmark, kegiatan bersepeda menyampaikan perasaan nyaman. Warga Denmark konon salah satu bangsa paling bahagia di dunia. Konsep perasaan &lsquo;hygge&rsquo; juga melekat dengan kesantuyan yang dialami saat bersepeda. Hygge dapat diterjemahkan sebagai perasaan nyaman dan ekspresi kenikmatan terhadap hal-hal kecil dalam kehidupan &ndash; seperti naik sepeda.&nbsp;
<h6><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/59c7f15c-ebd9-4573-9431-d4229e4bcb5e?width=2000&amp;height=1414" alt="1" />Potpourri of modern times</h6>
<h3>Rendah mutunya kota mobil</h3>
Jadikanlah meme ini senjata pamungkas bagi teman cowok yang masih percaya bahwa aset paling menawan adalah mobil. Tunjukkanlah meme ini kepada si teman yang bergaya ala kadar atlet sepeda, dan suka pamer foto celana ketat. Gowes itu bukan sekedar hobi akhir pekan, tapi solusi sangkil dan mangkus.&nbsp;
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/d9a5f37b-3c3b-4e3a-9cef-03aefbfea39c?width=1080&amp;height=1080" alt="5" />
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/642a3d7a-b489-4a97-be52-cd6c8a3d6703?width=1080&amp;height=1080" alt="4" />
Sudah tahun 2023, baru sekarang Jakarta punya kereta LRT. Kesiapan menangkal polusi dengan sistem angkutan umum yang mendamai masih akan menghabiskan puluhan tahun hingga efektif. Ruang terbuka hijau harus diluaskan. Infrastruktur yang sudah ada sebenarnya bisa dialihfungsikan. Setiap individu yang mampu semestinya turut menangkis dampak polusi: Jakarta harus bisa bersepeda.
Bukan hanya pada Car Free Day. Bukan hanya di dalam komplek. Dan juga bukan hanya dengan ngangkut-sepeda-lu-balik-ke-dalam-SUV-yang-lu-parkir-di-GBK-selepas-udah-kelar-sepedaan-dan-ngafe-di-minggu-pagi.
(Marten Schmidt, Art Calls Indonesia, 01.09.2023)
&nbsp;

Bagan dan meme yang bisa kalian tunjukkan untuk membantah mindset orang yang ke mana-mana masih memilih naik mobil

Semua media sudah menyiasat isu polusi udara, tapi belum ada yang menamakan yang paling &lsquo;obvious&rsquo;, yang paling kasatmata dan yang paling sering terlupakan dalam isu ini. Maka ACI bangun kembali dari hibernasi publisistik untuk menghimbau warga Jabodetabek, &lsquo;hinterland&rsquo; dan sekitarnya tentang hal-hal yang selama ini tak pernah disoroti dalam diskusi publik: Ini adalah teks pertama dari format serial mini, di mana kami mengolah pengamatan urban kami menjadi semacam cermin untuk memaparkan kelakuan bodoh dan kolektif kita semua sebagai pemukim DKI Ja-kar-ta!&nbsp;
ACI WITH ACCENT, 25.08.2023 &ndash; Siapa saja yang pernah sambang ke negara-negara jiran pasti tahu kalau mobilitas warga Singapura, Kuala Lumpur ataupun <a href="https://artcallsindonesia.com/read/apakah-generasi-muda-di-indonesia-insaf-akan-demokrasi-seperti-penduduk-muda-thailand" target="_blank" rel="noopener">Bangkok</a> tidak terdefinisi atas ukuran dan merek mobil yang mereka setir. Pasalnya, mobil itu sekadar alat fungsional, wajah kota Bangkok, KL ataupun Singapura rerata meliputi tipe-tipe mobil yang tidak harus bisa mengangkut 150 galon air sekali jalan.&nbsp;
<h3>Mobil MPV</h3>
Maraknya mobil MPV di Jakarta (kendaraan multiguna seperti Toyota Avanza) berkaitan erat dengan hambatan infrastruktur publik. Gunanya mengelilingi kota dengan mobil berkapasitas tujuh orang dan volum bagasi sebesar ratusan liter sebenarnya tidak ada dalam situasi sehari-hari dan hanya kunjung datang setahun sekali pas mudik. Kalau gak lagi dipake mudik, mobil-mobil seukuran membuat peserta lalu lintas yang tidak memakan luas jalan 3x6 meter merasa jengkel.&nbsp;
Hambatan infrastruktur kota yang inklusif menyebabkan para pengemudi mobil kurang mengenal dan kurang menghargai mitra dan peserta lalu lintas lain seperti pejalan kaki dan pesepeda (Read: Saya punya mobil gede, karena saya gak pernah kepikiran soal space yang saya merampas dari pejalan kaki dan pengemudi motor demi kenyamanan saya belaka).
Aspek tersebut dapat disambung ke hambatan &lsquo;sosial dan kultural&rsquo; yang juga berdampak negatif (dan membuatku sebagai pejalan kaki sejati makin gereget). Budaya dan pola kolektif kita sangat terbelenggu oleh penataan hierarkis. Dalam budaya kolektif, di mana kita tidak terlalu bergaya individual, kita mengandalkan konsumerisme untuk memamerkan posisi kita dalam hierarki. Dalam &lsquo;hukum jalanan&rsquo;: Semakin mewah mobil lo, semakin tinggi gengsi lo.&nbsp;
#bergengsi - baca juga: <a href="https://artcallsindonesia.com/read/pada-pembukaan-pameran-seni-rupa-khusus-mereka-mereka-saja-mereka-berterus-terang-bahwa-kami-bukan-bagian-dari-mereka" target="_blank" rel="noopener">Pada pembukaan pameran seni rupa khusus mereka-mereka saja, mereka berterus terang bahwa kami bukan bagian dari mereka</a>
<h3>Mobil SUV</h3>
Masih soal tipe-tipe mobil yang kegedean untuk dipakai jalan dalam kota, kita selanjutnya menelaah mobil SUV. Mengapa mobil offroad itu banyak bisa dijumpai dalam kelautan mobil di Jakarta? Dari perspektif pengguna: Karena terkesan mewah, dominan dan gagah, kayak kendaraan lapis gaja. Andainya mobil beneran bisa menjadi makhluk hidup bak Transformers, <a href="https://artcallsindonesia.com/read/mmmh-daddy-tergirang-girang-sama-abang-pedro-pascal" target="_blank" rel="noopener">big dick energy</a> mobil SUV tak bisa ditanding. Sekian tentang martabat mobil SUV. Secara operasional, mobil-mobil sport dan offroad dioptimalkan untuk driving experience di luar kota. Lantas, apa gunanya mengendarai mobil yang memakan 1,5 jalur?&nbsp;
Biar bisa dijadikan kapal selam kala banjir? Biar seru mengarungi kota sambil sightseeing, melihat Jakarta dari posisi lebih atas dari mobil lain? Ataukah karena interior nyaman, agar enak nongkrong di dalam mobil?
<h3>Mobil Van</h3>
<h6><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/329f239c-c739-43a3-9a02-df93731c3454?width=1080&amp;height=1080" alt="Parkir Di Trotoar" />Mobil Van parkir di trotoar, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat (Foto: oleh penulis, 2022)</h6>
Ya, sebagai pejalan kaki hatiku kerap merana. Begitupun ketika saya melihat tipe mobil Toyota Voxy/Alphard dan perekayasaan setipe di jalanan Jakarta. Jenis mobil yang tampaknya sudah menjadi mobil armada standar bagi warga orkay di Jakarta. Segede bus sekolah yang minimum bisa mengangkut belasan bocil, kenderaan tersebut rerata hanya dibuat untuk dua penumpang saja yang menempatkan kaki dengan luas, dan duduk pada kursi pijat super empuk selayaknya singgasana.&nbsp;
Semua karavan kalah. Orang petualangan ke Selandia Baru, berkembara di sana pakai karavan selama setahun pun gak butuh luas mobil yang tampaknya sudah menjadi standar di Jakarta.
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/diagram-lingkaran-julid" target="_blank" rel="noopener">(Diagram) Lingkaran Julid</a>
<h3>Mobil Jeep</h3>
Last but not least, kita menapaki fetish pada mobil lebih ekstrem lagi: Rubicon, Hummer dan lain sebagainya. Mobil pilihan optimal untuk cari perhatian dan membuat puluhan pasang mata melirik padanya di tengah lampu merah. Di tempat kelahiran saya, di pegunungan Austria, saya kadang melihat angkutan atau trailer khususnya ekor kuda (di mana kudanya suka terlihat santai dibawa jalan-jalan). &ndash; Wahana itu pun yang bisa mengangkut hingga dua ekor tidak berukuran sebesar mobil-mobil di Jakarta.
<h3>Alat untuk memperpanjang t*t*t</h3>
Mumpung sudah memindahkan fokus ke Eropa, ingin ku ceritakan satu pengamatan lain dari mindset warga Eropa yang tampaknya terbalik: Pemilik mobil mewah, supercars dan segala tipe mobil yang dimodifikasi biar berisik lebay kerap diolok-olok atas fetish sang pengemudi. Katanya, kepemilikan mobil seperti itu adalah semacam <a href="https://artcallsindonesia.com/read/small-dick-energy-greta-thunberg-bikin-lawan-ko" target="_blank" rel="noopener">substitusi</a> atas kekurangan fisik (read: panjang penis). &ndash; Agar mereka tetap mengesankan dan jantan (di mata mereka), mereka andalkan instrumen &lsquo;Schwanzverl&auml;ngerer&rsquo; (secara harfiah: alat untuk memperpanjang titit).&nbsp;
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/small-dick-energy-greta-thunberg-bikin-lawan-ko" target="_blank" rel="noopener">'Small Dick Energy': Greta Thunberg bikin lawan KO</a>
Balik lagi ke Jakarta: Kian bermarak, mobil listrik unyil pabrikan Wuling sudah makin sering tampak di ruang publik &ndash; biasa terlihat terjepit di sela mobil-mobil besar. Masa depannya sudah dimulai, pada penataan infrastruktur yang masih car-centric.&nbsp;
Yes, pakai mobil Avanza bisa berguna kalau mengangkut barang.
Yes, mobil SUV lebih tahan banjir.&nbsp;
YES, kita bodoh berkat perilaku konsumtif dan hierarkis. Industri otomobil jago memanfaatkannya.&nbsp;
Artinya apa: Kalau kamu miskin, pakai masker semasa hidup, kala di KRL, di angkot ataupun pas lagi jalan kaki ibarat main parcours di ruas jalan.&nbsp;
Artinya apa kalau kamu kaya: nothing.&nbsp;
Jadi, artinya apa: nothing. Tenteram aja.
&nbsp;

Mengapa orang berada di Jakarta punya fetish norak pada mobil sebagai simbol status

(ACI WITH ACCENT, Marten S, 07.07.2023)
Nama: (tidak diketahui) - Lokasi: Tasikmalaya - Jenis &lsquo;Bullying&rsquo;: Dipaksa berasusila dengan seekor kucing - Korban: Anak berusia 11 tahun - Status: Korban meninggal dunia (2022)
Nama: B. - Lokasi: Kotamobagu - Jenis &lsquo;Bullying&rsquo;: Diikat dan ditendang sehingga ususnya akhirnya harus diangkat - Korban: Anak berusia 13 tahun - Status: Korban meninggal dunia (2022)
Nama: B. - Lokasi: Medan - Jenis &lsquo;Bullying&rsquo;: Dipukul kakak kelasnya - Korban: Anak berusia 8 tahun - Status: Korban meninggal dunia (2023)
Dalam ketiga kasus perundungan, ancaman, penyiksaan dan sadisme tersebut, ketiga korban adalah siswa SD dan MTS yang dianiaya dengan kehendak untuk melukai mereka secara maksimal. Para pelaku sadar mereka merampas nyawa orang lain. Seolah mereka menerima risiko tersebut begitu saja. Sengaja. Mereka merenggut nyawa orang lain. Perbedaan antara pendefinisiannya delik-delik ini dengan delik pembunuhan berencana (moord) tampaknya sangat tipis. 
Ketiga anak tersebut meninggal akibat kekerasaan fisik dan psikis bukan dari tangan orang tua atau saudara, tapi kakak kelasnya. Rekan satu sekolah. Dalam ketiga kasus, korbannya disiksa ramai-ramai. Satu lawan <a href="https://www.detik.com/jabar/hukum-dan-kriminal/d-6198553/7-fakta-terbaru-kasus-bocah-tasikmalaya-dipaksa-setubuhi-kucing" target="_blank" rel="noopener">tiga</a> (Tasikmalaya). Satu lawan <a href="https://www.detik.com/sumut/hukum-dan-kriminal/d-6797304/siswa-sd-di-medan-tewas-diduga-usai-dipukul-dirundung-5-abang-kelas" target="_blank" rel="noopener">lima</a> (Medan). Satu lawan <a href="https://www.tvonenews.com/daerah/sulawesi/46944-siswa-mts-kotamobagu-meninggal-dunia-setelah-dibully-9-teman-korban-diikat-hingga-ditendang#google_vignette" target="_blank" rel="noopener">sembilan</a> (Kotamobagu).&nbsp;
<h3>Lagi, lagi mati&nbsp;</h3>
Saban beberapa bulan terkuaklah berita terbaru ihwal kasus perundungan di lingkungan sekolah. Anak SD pun sudah menjadi korban bullying ekstrem. Menteri Pendidikan Nadiem Makarim tampaknya linglung menghadirkan sistem yang patut membantah watak sadis itu. Beliau rupanya lebih mementingkan <a href="https://www.viva.co.id/trending/1608498-putri-ariani-dapat-beasiswa-dari-nadiem-makarim-bakal-lanjutkan-kuliah-di-the-julliard-school" target="_blank" rel="noopener">membiayai beasiswa sekolah akting di AS</a> untuk seorang penyanyi Indonesia yang naik daun di Tanah Air setelah ikut acara bakat di luar negeri.&nbsp;
Bahasa untuk memberitakan kasus-kasus perundungan ekstrem tersebut tampaknya belum terkalibrasi: &lsquo;Seorang siswa kelas 1 SD di Medan meninggal dunia diduga karena di-bully kakak kelasnya.&rsquo; (<a href="https://www.detik.com/sumut/hukum-dan-kriminal/d-6798360/siswa-sd-di-medan-tewas-usai-dipukul-kakak-kelas-begini-cerita-keluarga" target="_blank" rel="noopener">Sumber: Detik</a>, 29.06.2023) &ndash; Tiada anak tewas sebab &lsquo;dibully&rsquo;. Namun tepatnya sebab disiksa, dianiaya, ditendang sampai berdarah dlsb.&nbsp;
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/panduan-bunuh-diri-ketika-kasus-bunuh-diri-diromantisisasi-media" target="_blank" rel="noopener">'Panduan bunuh diri': Ketika kasus bunuh diri diromantisisasi media</a>
Dengan setiap berita kematian peserta didik akibat &lsquo;dibully&rsquo;, media pun membatasi peran mereka pada peliputan sensasional belaka yang meninggalkan para keluarga korban makin terluka, tanpa kuasa untuk membendung dukanya: &lsquo;Siswa SMP sakit hati hingga nekat bakar sekolah (karena dibully)&rsquo;, atau juga &lsquo;Keterlaluan! Seorang Bocah SD dipaksa setubuhi kucing hingga fotonya disebar&rsquo;.&nbsp;
Sang <a href="https://regional.kompas.com/read/2023/07/04/090058078/kak-seto-ungkap-kondisi-siswa-smp-bakar-sekolah-di-temanggung-mulai-tenang" target="_blank" rel="noopener">pembakar sekolah di Temanggung</a> bukan &lsquo;sakit hati&rsquo; seolah egonya dipergunjingkan saja. Siswa tersebut adalah penderita perundungan dan korban kegagalan sistem pendidikan yang tak mampu melindungi peserta didik secara mumpuni.&nbsp;
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/cb65ca8f-4f1d-4e32-8f6c-8cbe86ec7be6?width=2000&amp;height=1414" alt="Bullying" />
<h3>Kenapa kasus bullying ekstrem kian bergejolak di Indonesia?</h3>
Satu hal yang perlu diakui sebelumnya, kasus perundungan yang kita kenal dari media hanya di puncak gunung es. Kasus-kasus itu terkemuka lantaran adanya video yang bocor ke publik atau adanya bukti yang tak bisa dipungkiri: Korbannya tewas.&nbsp;&nbsp;
Sistem pendidikan di Indonesia berlenggek dalam <a href="https://artcallsindonesia.com/read/kenapa-sekolah-swasta-tak-seharusnya-menjadi-jawaban-dari-masalah-sekolah-negeri" target="_blank" rel="noopener">beberapa kasta</a>. Bukan dari segi pembagian usia dan agama (SD, SMA, Madrasah dlsb), tapi dari segi kemampuan finansial orang tua murid dan tempat tinggal. Fasilitas sistem pendidikan mencapai bangunan-bangunan sekolah berdinding bilik, hingga ada pula gedung sekolah swasta bergaya ala kastil di luar negeri. Dalam kasus-kasus yang tercatat di awal, para korban bukan berasal dari keluarga berada. Banyak kasus mungkin tak pernah terkuak, karena orang tua anak mungkin hanya pekerja serabutan dan tak mampu &lsquo;melobi&rsquo; demi anaknya sendiri.&nbsp;
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/kenapa-sekolah-swasta-tak-seharusnya-menjadi-jawaban-dari-masalah-sekolah-negeri" target="_blank" rel="noopener">Kenapa sekolah swasta tak seharusnya menjadi jawaban dari masalah sekolah negeri</a>
<h3>Budaya Kolektivisme: Kuatnya di dalam grup</h3>
Satu asumsi untuk memahami adanya kasus bullying ekstrem di Indonesia berangkat dari asas masyarakat kita. Indonesia adalah negara budaya kolektivisme. Negeri ini menderita atas ledakan populasi atau kelebihan penduduk (setidaknya di kota-kota besar). Fakta, yang baru dapat disadari ketika melanglang ibu kota negara-negara tetangga seperti Malaysia ataupun <a href="https://artcallsindonesia.com/read/mengintip-ramah-tamahnya-skena-seni-rupa-yang-setara-dan-seru-di-bangkok" target="_blank" rel="noopener">Thailand</a> &ndash; jalanannya terasa sepi dibandingkan Jakarta.&nbsp;
Kita hidup dengan kelebihan populasi, tata budaya kolektivisme dan masyarakat yang terstruktur amat hierarkis (kaya = kuasa, miskin = ya miskin) &ndash; ketika ketiga zat itu digabungkan, terjadinya keadaan sosial yang layaknya mencecerkan <a href="https://artcallsindonesia.com/read/survival-kit-untuk-praktisi-seni-berkesenian-sesuai-rkuhp" target="_blank" rel="noopener">penegakan hukum</a> dengan adil: Seberapa berharga satu nyawa di Indonesia ketika orang miskin menjadi korban kecelakaan hit-and-run mobil mewah?
<h3>Pintu individual</h3>
Bagi saya pribadi, perbedaan antara <a href="https://artcallsindonesia.com/read/bule-seolah-epifani-mengapa-orang-indonesia-merasa-inferior-sama-bule" target="_blank" rel="noopener">budaya kolektivisme dan individualisme</a> paling terasa dalam situasi sehari-hari. Saat mendorong pintu untuk meninggalkan sebuah tempat publik, kamu melihat ada orang turut menuju pintu keluar: Apa yang kamu lantas lakukan? Tentu saja, menahan pintu itu terbuka sebagai tanda berbudi baik. Di Indonesia, jarang sekali saya pernah mendengar tuturan &lsquo;terima kasih&rsquo; atas gestur kecil itu. Berbeda ketika di Eropa, di mana aksi-aksi subtil itu dihargai dengan terima kasih yang layaknya ucapan natal, tahun baru, lebaran dan ulang tahun secara tergabung.
<h3>Somebody who?</h3>
Rasanya, dalam budaya kolektivisme manusia-manusia random dianggap sebagai some-BODY saja, dan bukan sebagai individu (some-ONE). Si some-body tersebut baru akan menjadi some-one ketika ia berloyalitas pada suatu kalangan tertentu dan mengidentifikasi diri dengannya.&nbsp;
Apakah dinamika budaya kolektivisme juga berpengaruh pada perilaku merundung?&nbsp;
<h3>Dinamika kolektif&nbsp;</h3>
Saya menemukan <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s42380-018-0005-y" target="_blank" rel="noopener">sebuah studi yang berhipotesis</a> bahwa adanya relasi antara bullying dan sikap individual/kolektif dalam sebuah negara. Sepintas, menurut <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s42380-018-0005-y" target="_blank" rel="noopener">studi tersebut</a>, dalam budaya-budaya kolektivisme korban bullying cenderung ditimpa oleh lebih dari satu pelaku. Dengan kata lain, kasus-kasus bullying melibatkan lebih dari satu tukang bully dan dia didampingi teman-temannya untuk menyiksa satu korban secara ramai-ramai.
Menurut hasil penelitian <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s42380-018-0005-y#ref-CR22" target="_blank" rel="noopener">&lsquo;EU Kids Online&rsquo;</a> (dari tahun 2011)&nbsp;ada lima faktor berbeda yang memungkinkan maraknya kejahatan bullying di dalam dan luar lingkungan sekolah:
<ol>
<li>Nilai kultural (budaya kolektvisime, individualisme)</li>
<li>Sistem edukasi (segregasi, jumlah peserta didik dalam satu kelas, supervisi, dlsb)&nbsp;</li>
<li>Teknologi (penetrasi dan akses internet)</li>
<li>Kebijakan sekolah, dan inisiatif untuk meningkatkan kesadaran atas perkaranya</li>
<li>Kepuasan sosio-ekonomik (pendapatan orang tua)</li>
</ol>
Kebanyakan dari literasi yang bisa diakses perihal tema &lsquo;victimisation&rsquo; dan bullying menyelidiki aspek pertama (1). Pada umumnya, kita-kita sebagai mitra budaya kolektivisme menghindari konfrontasi dengan pihak lain. &ndash; Sedangkan, orang dari budaya individualisme konon lebih mungkin berwatak agresif untuk mendorong kepentingan diri mereka secara paksa.&nbsp;
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/panduan-bunuh-diri-ketika-kasus-bunuh-diri-diromantisisasi-media" target="_blank" rel="noopener">'Panduan bunuh diri': Ketika kasus bunuh diri diromantisisasi media</a>
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/fed07067-2c2c-4926-af8b-f715906cf5d6?width=2000&amp;height=1414" alt="Bullying2" />
<h3>Berbeda dari norma&nbsp;</h3>
Menurut <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s42380-018-0005-y#ref-CR24" target="_blank" rel="noopener">studi ini pun (Migliaccio dan Raskauskas, 2015)</a> yang membandingkan 28 negara berbeda, penemuannya sama. Kesimpulan: &lsquo;Collectivist countries included have among the highest rates of bullying&rsquo;. &ndash; Budaya kolektivisme lebih mengikuti aturan-aturan yang dianggap normatif, dan memungkinkan penolakan lebih agresif dan lekas pada hal-hal berbeda dari norma. (&lsquo;A more collectivist culture implies a greater possibility of concerted whole-group norms emerging, which could at times be aggressive&rsquo; | <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s42380-018-0005-y#ref-CR42" target="_blank" rel="noopener">Smith, 2016</a>)&nbsp;
Agresi tersebut dalam budaya kolektivisme terjelma dalam berbagai bentuk seperti pencemaran, penyebaran fitnah dan pengasingan sosial. &ndash; Jika berpandang lebih luas lagi, ada pun berbagai kasus absurd di mana korban lebih dicela publik (netizen) dibandingkan pelakunya, berkat keterlibatan dalam hal-hal di luar norma (&lsquo;<a href="https://bandung.viva.co.id/berita-artis/15671-heboh-pacar-mario-dandy-disebut-wanita-liar-sejak-lama" target="_blank" rel="noopener">Heboh, Pacar Mario Dandy</a> Disebut Jadi Wanita Liar Sejak Lama&rsquo;).
<h3>Mengendus dan bertindak</h3>
Kembali ke lingkungan sekolah, di mana tidak akan ada perubahan apa-apa untuk membantah segala bentuk perundungan, selama anggaran pemerintah untuk fasilitas pendidikan (konseling, program interventif, dll) tidak dapat dinaikkan.
Juni 2023, seorang siswa SD berumur delapan tahun berinisial B meninggal di Medan karena diduga menjadi korban perundungan, penyiksaan dan pemukulan kakak kelasnya. Sebelum dilarikan ke rumah sakit, ia mengaku sempat dipukul kakak kelasnya. Akhirnya ia meninggal di rumah sakit.&nbsp;
Kasus-kasus penganiayaan seperti itu tak boleh menjadi hal yang biasa saja. Tapi <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2023/07/03/06511561/setelah-berselisih-dengan-ketua-rt-kini-dewi-perssik-buru-netizen-penebar?page=all" target="_blank" rel="noopener">berita Dewi Persik berantem</a> sama bapak RT lagi lebih ramai. 
&nbsp;

Mengapa ekstremnya kasus bullying di Indonesia berkaitan erat dengan kultur kita

Ngobrol sama George Harliono yang raih 'standing ovations' di mana pun dia manggung

Apakah generasi muda di Indonesia insaf akan demokrasi seperti penduduk muda Thailand?

<a href="https://artcallsindonesia.com/search?q=aci%20with%20accent" target="_blank" rel="noopener"><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/9e57cbb4-abef-4e6e-8147-5c0be9fa536c?width=600&amp;height=200" alt="2" /></a>
ACI WITH ACCENT (Opinion column) &ndash; The only media column in Indonesia covering <a href="https://artcallsindonesia.com/search?q=aci%20with%20accent" target="_blank" rel="noopener">all things intercultural.</a> In ACI WITH ACCENT Marten as the initiator of ART CALLS INDONESIA reflects in personal opinions on topics related to interculturalism and feelings of belonging. Through ACI WITH ACCENT he accentuates with his very own accent and oscillates between perspectives from varying sides. He speaks and writes in Indonesian as his third language, after German and English. ACI WITH ACCENT is the only rubric on ACI not proofread by any &lsquo;native&rsquo; editorial colleague. If there happen to be any grammatical typos or syntactical mistakes it&rsquo;s part of the raw&nbsp;accent and the linguistic logics of a foreign speaker.&nbsp;
&lsquo;Non-natives&rsquo; usually take up other roles in the Indonesian media industry (influencers, models, actors, etc). The only media platform we know of hosting journalists with autodidactically acquired Indonesian language skills is the Germany-funded <a href="https://www.instagram.com/reel/CqjuqtVvBnb/" target="_blank" rel="noopener">Indonesian version of the 'Deutsche Welle'</a>. ACI WITH ACCENT is one of the most read and most controversial rubrics on ACI, holding up a mirror to readers and questioning what contemporary Indonesianness could be.&nbsp;
<hr />
<a href="https://artcallsindonesia.com/search?q=aci%20info" target="_blank" rel="noopener"><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/5329b204-e970-4776-87b0-2999814a499a?width=600&amp;height=200" alt="3" /></a>
<hr />
<a href="https://artcallsindonesia.com/search?q=aci%20amatir" target="_blank" rel="noopener"><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/aaa313b8-ac0b-4824-9e84-6b2faed471c4?width=600&amp;height=200" alt="6" /></a>
ACI AMATIR (Opinion column) &ndash; In our rubric '<a href="https://artcallsindonesia.com/read/diam-diam-berjuang-muncul-dengan-prestasi-aamiin" target="_blank" rel="noopener">ACI AMATIR'</a> we reflect on all things media-related from the unfortunate perspective of a grassroots media platform in Indonesia.
<hr />
<a href="https://artcallsindonesia.com/search?q=aci%20glow%20down" target="_blank" rel="noopener"><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/19e066f7-7f60-47e1-9959-d160b0f926e7?width=600&amp;height=200" alt="1" /></a>
ACI GLOW DOWN &ndash; Through <a href="https://artcallsindonesia.com/search?q=aci%20glow%20down" target="_blank" rel="noopener">ACI GLOW DOWN</a> we 'roast' current issues fueled by nothing else than acumen and a witty sense of seeing things out of a variety of perspectives.&nbsp;
<hr />
<a href="https://artcallsindonesia.com/search?q=ok%20aci" target="_blank" rel="noopener"><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/f6d3ce43-eb3b-473c-9f63-933ba1e116a1?width=600&amp;height=200" alt="4" /></a>
OK ACI &ndash; Kata OK punya banyak makna, dari pengucapan euforia hingga kesedihan. Lewat rubrik <a href="https://artcallsindonesia.com/search?q=OK%20ACI" target="_blank" rel="noopener">OK ACI </a>kami menyuguhkan 'the flavors of the week', berita-berita seputar seni dari seantero Indonesia, dan kadangkala juga gogon-gogon dari skena manusia kreatif dan inspiratif. Tidak hanya itu, kami juga mencari jawaban pada hal-hal paling sensasional yang hadir di dunia seni!
<hr />
<a href="https://artcallsindonesia.com/open-calls" target="_blank" rel="noopener"><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/1ce93f60-5855-42a5-b6d4-dc56a97d02cb?width=600&amp;height=200" alt="5" /></a>
<hr />
<a href="https://artcallsindonesia.com/search?q=sangkil" target="_blank" rel="noopener"><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/ae201e40-b385-4387-be85-bc6b933d6185?width=600&amp;height=200" alt="7" /></a>
SANGKIL &amp; MANGKUS &ndash; ACI mengupas tuntas dialektika Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, strata sastra, dan bahasa sehari-hari. Ikuti siasat dialektis kami dalam ketidakajekan dan ketakteraturan Bahasa Indonesia di <a href="https://artcallsindonesia.com/read/jangan-sebut-flexing-ada-istilah-lebih-ketus-untuk-mengkritik-pejabat-yang-pamer-harta" target="_blank" rel="noopener">SANGKIL &amp; MANGKUS</a>!
<hr />
<a href="https://artcallsindonesia.com/search?q=asean" target="_blank" rel="noopener"><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/2a7653f9-7b56-45d0-a4d9-6f744feee0c4?width=600&amp;height=200" alt="8" /></a>
&nbsp;

Our editorial rubrics

Ruangrupa, sebuah kolektif seni prestisius dari Jakarta, telah mendapatkan kesempatan yang hanya kunjung datang sekali dalam hidup. Mereka dinobatkan dengan salah ganjaran paling prestisius yang bisa diraih di dunia seni: Sebagai kolektif bintang tamu sekaligus tim kuratorial ajang seni &lsquo;documenta&rsquo; mereka sempat menduduki singgasana dunia kesenian. &ndash; Sebuah peluang emas yang sayangnya bermuara pada persepsi negatif dari publik mancanegara dan kasta politik terhadapnya. Selaras dengan kegagalan Indonesia pada pengelolaan ajang sepak bola U20, lika-liku penyelenggaraan documenta juga bersangkut paut erat dengan isu Israel.&nbsp;
Entah karena kenaifan politis atau kenaifan kultural, dalam kedua ajang internasional tersebut Indonesia disingkirkan usai gagal mengelilingi isu Israel tanpa berdiskriminasi terang-terangan. Namun, berbeda dengan U20, ajang seni documenta tidak dicampur adukkan dengan urusan intrik dan populis oleh para politikus Indonesia. Perkara documenta dan ruangrupa tampak lebih sepele: Sebab beberapa karya seni yang dipamerkan memungut <a href="https://artcallsindonesia.com/read/karya-seniman-indonesia-dikatai-mengerikan-oleh-kanselir-jerman" target="_blank" rel="noopener">karakteristik gambaran anti-Yahudi</a> (hidung mancung dll; estetika yang erat dengan karikatur rasis oleh Nazi).
Documenta digelar setiap empat tahun oleh pemerintah Jerman. Dalam kultur yang begitu waswas dan sadar akan tanggung jawab kasatmata negara terhadap zaman Nasional Sosialisme, tak heran jika lukisan-lukisan bernuansa rasis dituai kritik keras. Media seni dan pejabat <a href="https://artcallsindonesia.com/read/karya-seniman-indonesia-dikatai-mengerikan-oleh-kanselir-jerman" target="_blank" rel="noopener">hingga kanselir Jerman</a> himself sempat turut mengkritik documenta atas karya-karya seni diskriminatif terhadap kaum Yahudi. Berbeda dengan U20, di mana segelintir sosok politik regional tampaknya naif <a href="https://artcallsindonesia.com/read/stadion-sepak-bola-di-indonesia-lebih-aman-dipakai-buat-konser-k-pop-aja-deh" target="_blank" rel="noopener">memahami unggulnya olahraga sebagai kekuatan lunak</a>, documenta dan ruangrupa sempat gagal menjemput rezeki berkat kelalaian &lsquo;interkultural&rsquo; (atau kesadaran atas nilai-nilai dan amanah politis pada negara lain).
<blockquote>
<h6>Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/stadion-sepak-bola-di-indonesia-lebih-aman-dipakai-buat-konser-k-pop-aja-deh" target="_blank" rel="noopener">Stadion sepak bola di Indonesia lebih aman dipakai buat konser K-pop aja deh</a></h6>
</blockquote>
<h3>Kita belum berjodoh dengan komunikasi antarbudaya</h3>
Dalam perbandingan kedua kasus ini, muncul anggapan bahwa kita belum begitu berjodoh dengan komunikasi antarbudaya. Kita tampaknya hanya mengenal dengan komunikasi koersif, komunikasi dari atas ke bawah dan komunikasi satu arah. Sehingga Erick Thohir selaku utusan Indonesia diberangkatkan <a href="https://artcallsindonesia.com/read/aspek-yang-orang-indonesia-luput-kala-membela-budaya-tuan-rumah-piala-dunia" target="_blank" rel="noopener">ke Qatar </a>dan Swiss dengan pola bahwa semua masih bisa dilobi, atau dikomunikasikan dengan paksa.&nbsp;
Usai skandal documenta pada tahun 2022 silam, ruangrupa malah memilih untuk berdiam saja seolah mereka tidak sadar akan instrumen komunikasi interkultural. Para anggota ruangrupa sudah diperoleh banyak kesempatan jelang documenta untuk berbaur dengan konteks lokal dan skena seni di Jerman. Walau diberi perhatian segenap lanskap media internasional untuk memecahkan semua tuduhan rasis, ruangrupa sempat tampak bak belum siap membela diri sendiri melalui wacana dan aduan perspektif.&nbsp;
<h3>Konsekuensi&nbsp;</h3>
Politikus-politikus yang menyibak pegiat sepak bola dan publik Indonesia berkat&nbsp;manuver naif dalam diplomasi pada panggung internasional. &mdash; Pelaku-pelaku seni yang tak siap beradu secara retoris dalam sirkuit interkultural. &mdash; Pada taraf internasional, Indonesia akan seterusnya menghadapi momen-momen di mana adanya pertikaian dengan budaya lainnya yang tidak bersekutu dengan amanah anti-kolonial kita. &mdash; Baik politikus yang berkoar tanpa memikirkan konsekuensi, maupun seniman yang memilih untuk berdiam saja karena takut konsekuensi, dua-duanya bukanlah cara jitu untuk membela ideologi kita tanpa ujung-ujungnya malah dikucilkan.&nbsp;
Baik Piala Dunia U20 maupun pameran seni documenta sudah menjadi pengalaman pahit bahwa kita gagal mengonversi peluang emas menjadi prestasi. Kedua kesempatan tak akan kunjung datang lagi. Semua bangsa lainnya (baik yang demokratis maupun anti-demokratis) akan memperoleh kesempatan terlebih dahulu.&nbsp;
Walau karya-karya seni yang dipamerkan pada documenta fifteen sangat memukau, dan pemain sepak bola timnas U20 berhasrat berlaga di taraf internasional, kesempatannya sudah musnah. Dengan asumsi bahwa komunikasi interkultural adalah komponen yang sangat berpengaruh untuk menghindari kegagalan.&nbsp;&nbsp;
&nbsp;

Bukan hanya di sepak bola saja Indonesia buang peluang emas, serupa pun sudah terjadi pada 'piala dunia' kesenian

Berbeda dengan politikus-politikus Tanah Air yang seakan-akan mondar-mandir antara oportunisme dan tanggung jawab, lembaga FIFA (sungguhlah bukan organisasi persepakbolaan yang baik budi saja) sudah mengambil langkah tegas dengan membatalkan agenda pengundian babak grup yang seharusnya digelar di Bali pada 31 Maret 2023.
Lantaran segelintir politikus (terutama kadar PDI-P) dari berbagai provinsi wara-wiri meminta penolakan keikutsertaan timnas U20 Israel dan tidak siap melaksanakan anutan FIFA, Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 2023 menanti konsekuensi berat: Beberapa negara lainnya siap dan berminat menggantikan Indonesia sebagai penyelenggara ajang tersebut. Kelayakan Indonesia sebagai penyelenggara pesta olahraga internasional serius dipertanyakan.
Perlagaan sepak bola &lsquo;qua&rsquo; praktik senantiasa rentan terseret dalam urusan politik: Di mana pun ada pertemuan antara dua tim, dua kasta (Kanjuruhan, aparat polisi dan fans) atau dua bangsa, berpotensi ada friksi juga. Timbul lah pertanyaan apakah kita memang belum siap mengisi gelora-gelora kita dengan keriaan fans sepak bola semua bangsa, dan lebih cocok mencari aman dengan mengfungsikan stadion-stadion kita sebagai panggung musik saja? Setidaknya konser K-pop tidak memberi peluang bagi politikus untuk ikut jemawa. Lisa Blackpink itu bukan Lady Gaga (LGBTQI+). Para fans pun lebih homogen dan tidak melawan satu sama lain.&nbsp;
<h3>National Identity Restriction</h3>
Ketegasan Republik Indonesia terhadap wujudnya perdamaian masyarakat Palestina <a href="https://sport.detik.com/sepakbola/liga-indonesia/d-6640427/heboh-tolak-israel-di-piala-dunia-u-20-palestina-justru-bilang-begini" target="_blank" rel="noopener">tidak berkorelasi</a> dengan keikutsertaan sekelompok remaja pemain bola asal Israel. Amanah politik terhadap penolakan Israel memang punya sejarah di Indonesia. Namun, Indonesia tentulah bukan semacam anti-colonial-colonial-club (ehem, Timur Indonesia) selama kita masih belum membenahi persepsi kritis, dan membuka wacana yang tidak hanya dikondisikan pada isu Palestina, namun melibatkan semua sekutu yang menderita akan kekerasaan. &ndash; Seperti rakyat Myanmar, Yaman ataupun para <a href="https://artcallsindonesia.com/read/sponsor-untuk-para-tahanan-hukuman-mati-di-iran" target="_blank" rel="noopener">perempuan berani di Iran. </a>Kita hanya dapat berpihak dan berpendapat bila kita disuguhi dengan ragam informasi yang teliti dan mudah dipahami.
Rilisan film Gal Gadot selanjutnya ditunggu. Nanti kita antre lagi.&nbsp;
P.S: Apakah Indonesia menolak keikutsertaan Israel dalam Piala Dunia U20 tidak mengesankan bagi orang-orang Israel. Mereka sedang berurusan dengan <a href="https://www.nytimes.com/article/israel-judiciary-crisis-explainer.html" target="_blank" rel="noopener">perkara lebih mendesa</a>k.&nbsp;
&nbsp;

Stadion sepak bola di Indonesia lebih aman dipakai buat konser K-pop aja deh

Hello Mister dan Miss, sebelum kami minta selfie bersama Anda, izin kami jelaskan bagaimana Anda bisa sukses jaya di Indonesia dengan atribut paling unggul yang Anda punya: Being Bule!
<blockquote>
Oh-oh, you think you&rsquo;re special &ndash;
Oh-oh, you think you&rsquo;re something else &ndash;
Okay, so you&rsquo;re Brad Pitt &ndash;
That don&rsquo;t impress me much (ha-ha, uh-ah)&nbsp;
What do you think, you&rsquo;re Elvis or something?
</blockquote>
Tak ada intro lebih ketus dari lagu <a href="https://www.youtube.com/watch?v=mqFLXayD6e8" target="_blank" rel="noopener">&lsquo;That Don&rsquo;t Impress Me Much&rsquo;</a> oleh Shania Twain untuk membuka pedoman ini, yang kami dedikasikan kepada para Bule sedikit senonoh di Bali, dan secara umum kepada semua warga &lsquo;Global North&rsquo; (plus Down Under) yang ingin bersinar sebagai tokoh viral di Indonesia.&nbsp;&ndash;&nbsp;Negara dengan pengguna TikTok terbanyak kedua di dunia, dan rakyat yang murah senyum. &ndash; Dari Tukang Becak yang kuat mengantar 4 pax bule dalam satu becak kayuh, hingga mantan-mantan penguasa yang mencetak sejarah tergelap negeri ini.&nbsp;
Ada pula alasan mengapa Indonesia patut menjadi pertimbangan pertama Anda untuk dijaj&ndash; dikunjungi antara semua negara Asia Tenggara lainnya. Myanmar memiliki pantai-pantai elok, namun sedang tenggelam dalam perang. Tenang, di Indonesia kami tidak berperang, tidak jemawa, tidak ikut campur dalam urusan internal Myanmar. Adapun Thailand, namun sudah dirajai jutaan expat mancanegara. Hanya di Indonesia, Anda berkesempatan menjadi tamu istimewa, artis yang karim, dan bahkan influencer edukatif, digemari rakyat terbesar keempat dunia.&nbsp;
Jadilah, bagi Anda, bule-bule dagelan, yang sedang terlibat dalam kasus amarah viral dengan warlok Bali, atau sudah bosan menjalani hidup cukupan di negara Anda mukim, simak tips mantap dari kami:
<h3>Kasus 1: Anda berasal dari Rusia dan ingin melarikan diri dari kewajiban militer yang diperintah oleh Putin</h3>
Sayang sekali Vladimir Putin tahun lalu tidak turut meramaikan acara G20 di Bali. Padahal, melihat Vladimir Putin memamerkan badan bagai jawara angkat besi di Seminyak, dijamin menyihir semua pendukung filosofi &lsquo;urrraaaa&rsquo; di Indonesia. Putin dikatakan<a href="https://www.mirror.co.uk/news/world-news/vladimir-putin-confirms-reason-still-21591660" target="_blank" rel="noopener"> tidak memiliki ponsel</a>, kondisi ideal untuk bersantai-santai di Hutan Monyet di Ubud tanpa diganggu kera. Tidak hanya di Ubud, di seantero pulau Dewata ini terdapat banyak tempat keren untuk nongkrong <a href="https://www.liputan6.com/news/read/5241551/pertemuan-xi-jinping-dan-vladimir-putin-diyakini-bawa-pesan-damai" target="_blank" rel="noopener">bareng sohib sepemikiran</a>. What happens in Bali stays in Bali!&nbsp;
Bagi Anda, warga Rusia, yang melarikan diri Anda dari negara asal berkat Anda terancam ditarik paksa untuk kewajiban militer, adapun kabar gembira! Beli sekarang juga tiket Anda langsung ke Bali, dan dapat disambut oleh komunitas kawan senasib. Menghuni pulau Bali sekarang juga dan dapatkan diskon 50 persen penyewaan motor dan yacht dengan setiap disiden yang Anda mengajak untuk menyusul.&nbsp;
<h3>Kasus 2: Anda tak sengaja telah menjadi omongan warganet</h3>
Anda harus tahu, bahwa di negeri ini para warga internet kadangkala memiliki kuasa lebih unggul daripada warga di dunia nyata. &ndash; Nasib negara hanya dapat kami kendalikan setiap beberapa tahun, namun nasib dan karier perorangan bisa kami hancurkan secara massal. Keren, kan? Baik <a href="https://artcallsindonesia.com/read/jangan-sebut-flexing-ada-istilah-lebih-ketus-untuk-mengkritik-pejabat-yang-pamer-harta" target="_blank" rel="noopener">pelaku </a><a href="https://artcallsindonesia.com/read/jangan-sebut-flexing-ada-istilah-lebih-ketus-untuk-mengkritik-pejabat-yang-pamer-harta" target="_blank" rel="noopener">flexing</a> maupun <a href="https://artcallsindonesia.com/read/perilaku-kinky-itu-normal-atau-aneh" target="_blank" rel="noopener">praktisi sodomi</a> &ndash; mereka semua sudah kami iring ke Hall of Shame. Awas loh Mister, jangan macem-macem.&nbsp;
Di Indonesia kami menganut perilaku rendah hati dan kolaboratif sebagai the way of living. Begitu kami senang, jika Anda turut bersilaturahmi bersama kami, dan segala makhluk di sekitar Anda. &ndash; Baik yang ter-reinkarnasi sebagai manusia maupun margasatwa.&nbsp;
Jadi, mohon tidak mempertentangkan ekor ayam yang berkokok menyambut dini hari. Tengoklah Mister, kami semua disini melakoni kehidupan dengan cara senyamannya kami. Selow dan enjoy sahaja, Mister. Kelai saja di serambi homestay Anda, dan nikmati sanjungan sang ayam tetangga. Sebaiknya Anda tidak menodong ayam itu, dan tidak membuat petisi-petisi anti-ayam-ayaman. Kohabituasi &ndash;eh bukan&mdash; Kohabitasi adalah hal normal bagi kami. Seia sekata.&nbsp;
Ada yang pelihara ayam; ada pula yang pelihara anak ayam dicat pink; tukang pangkas rambut saya pelihara rakun; ibu warteg sebelah kos saya punya burung kesturi; orang kaya di Indonesia konon suka menjaga harimau putih, jaguar, monyet (bahkan dipekerjakan jadi badut); dan saya sendiri pengin punya <a href="https://travel.detik.com/travel-news/d-6507501/kenalan-yuk-sama-quokka-hewan-paling-bahagia-di-dunia" target="_blank" rel="noopener">quokka </a>sebagai pet. &ndash; Hanya saja, binatang spesies punah di belantara Kalimantan dan Sumatra tidak ada yang mengurus. Kecuali <a href="https://www.orangutan.or.id/id/artcall" target="_blank" rel="noopener">yayasan-yayasan yang didukung oleh spesies &lsquo;bule&rsquo;.</a>&nbsp;
Dalam artikel berikutnya kami akan menyantap tips dan tricks bagi Anda yang ingin merasakan kehidupan artis di Indonesia, namun kurang bertalenta dan kurang berkarisma. In the meantime, sebelum kami lupa, selfie Mister!
<hr />
<h6>Postingan ini menyuguhkan santapan ironis, memungut sarkasme dan memakai sinisme untuk mencernakan topik-topik yang sedang ramai dibahas melalui sebuah cerita tertulis yang tidak mengandalkan humor meme, kolase gambar atau lelucon visual lainnya untuk menandakan bahwa postingan ini menyuguhkan santapan ironis, memungut sarkasme dan memakai sinisme &infin; &infin; &infin;</h6>
&nbsp;

Dear Bules, inilah manual teruntuk kalian agar dicintai warga Indonesia

Ibu saya adalah tipe orang yang biasa berselancar di internet saat ia makan. Makan sambil ditemani YouTube, ia menonton susunan berita nyeleneh (yang pakai voice-over suara Google-Translate itu lho) tentang status terbaru Nikita Mirzani, dan kerap menyimak konten YouTube dari seorang laki Indonesia yang dikawin sama kakek-kakek Jerman (dan juga kebalik: ibu-ibu janda sekaligus YouTuber Indonesia yang nikahi brondong bule). Kadangkala ibu saya juga tonton santapan ragam YouTuber bule yang jalan-jalan di Jakarta, sambang ke Jalan Sabang, dan mencoba nasi goreng.&nbsp;
Konten se-remeh temeh memperlihatkan orang asing sedang mencicipi makanan Indonesia laris manis di jagat maya. Tak hanya reaksi pemain sepak bola internasional pertama kali mencoba local cuisine Padang menjamin keriaan berlebih dari warganet Indonesia, video-video bule random makan nasi rames juga ramai ditonton orang lokal. Sebenarnya keren, karena mendorong interkulturalisme. Namun, indikasi kita memelihara perasaan inferior terhadap orang bule ketika aksi kosong melompong dari bule sudah membuat kita euforia.
<h5 style="padding-left: 40px;"><a href="https://artcallsindonesia.com/read/bule-seolah-epifani-mengapa-orang-indonesia-merasa-inferior-sama-bule" target="_blank" rel="noopener">[Baca juga] Bule seolah Epifani: Mengapa orang Indonesia merasa inferior sama bule</a></h5>
<h3>Ketika Indonesia diberi cameo di panggung internasional &hellip;</h3>
&hellip; prestasi itu disambut dengan gembira oleh warganet Indonesia &ndash; seperti di dalam series &lsquo;The Last of Us&rsquo; di mana Jakarta disebut sebagai sumber ragam virus. Cool. Tak wajib meliputi aktor-aktris sohor untuk mencari perhatian di Indonesia, <a href="https://travel.tempo.co/read/1630583/5-fakta-laurence-benson-youtuber-yang-promosikan-kuliner-indonesia-ke-warga-asing" target="_blank" rel="noopener">bule ini</a> ngonten dari negara yang ia tinggal (UK) tentang hal-hal khas Indonesia. Ia mewawancarai kawan-kawan londo tentang pengetahuan mereka seputar Indonesia (&lsquo;wow, I didn&rsquo;t know Indonesia is so big&rsquo;), dan menyuguhi makanan Indo pada bule lainnya (&lsquo;oh, I tried this one back then in Bali!&rsquo;). Konten buatan kreator tersebut merajalela di Indonesia, seolah kita diberi &lsquo;pengakuan&rsquo; dari bule.
<h3>Bule mengincar cuan, bukan memeluk budaya kita&nbsp;</h3>
Rupanya kita gampang dieksploitasi. &ndash; Santapan konten seolah bule makan pempek atau melafalkan &lsquo;pempek&rsquo; (pem-pee, pem-pey, m-peh?) sudah cukup untuk membuat kita mendongkak-dongkak dan bergirang. Sebuah taktik pemasaran produk yang mudah dan efektif di negara dengan pengguna YouTube terbanyak keempat di dunia.&nbsp;
<h3>Indonesia hanya punya satu keunggulan: Banyak penduduk</h3>
Atau dengan kata lain: Banyak penonton potensial. SDM sebesar 280+ jiwa. (Tebakan saya) 10 juta Agus, 5 juta Siti, 12 juta Nur, dan 2 juta Kevin. Tak perlu berbait-bait, yang menjual hanya clickbait.&nbsp;
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/0053c112-9d38-4e23-ba61-99da0441a4bd?width=1080&amp;height=1080" alt="5" />
<h6>Lucunya, Dr. Desra Percaya (atas kiri), Duta Besar RI Indonesia untuk Inggris tampaknya juga menggemari content creator Laurence Benson. (Foto atas dan bawah: Screenshot Instagram Laurence Benson)</h6>
<h3><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/a8671f62-aaef-40fe-b7e6-dddace13cbb1?width=1080&amp;height=1080" alt="6" />Mengagung-agungkan bule adalah hal terinstitusionalisasi</h3>
Teks ini sebenarnya bukan menyindir orang-orang yang senang nonton konten &lsquo;interkultural&rsquo;. Karena pertukaran budaya (jika terkuras secara setara) sangat bermanfaat. Menurut saya, fenomena merasa inferior dengan bule <a href="https://artcallsindonesia.com/read/bule-seolah-epifani-mengapa-orang-indonesia-merasa-inferior-sama-bule" target="_blank" rel="noopener">(</a><a href="https://artcallsindonesia.com/read/bule-seolah-epifani-mengapa-orang-indonesia-merasa-inferior-sama-bule" target="_blank" rel="noopener">yang sudah kami membahas lebih akurat di sin</a><a href="https://artcallsindonesia.com/read/bule-seolah-epifani-mengapa-orang-indonesia-merasa-inferior-sama-bule" target="_blank" rel="noopener">i)</a> juga termanifestasi di kasta politik. Dengan setiap adanya pemain sepak bola dari luar negeri diajak untuk merumput di Indonesia dan dinaturalisasi oleh presiden RI langsung, kita menciptakan rasio seolah &lsquo;mendewakan&rsquo; pendatang-pendatang dari luar adalah hal berbudi.&nbsp;
Kembali ke genre hiburan &lsquo;bule mencicipi makan Indonesia&rsquo;. Elkan Baggott, pemain Timnas sepak bola yang telah menjadi WNI pada tahun 2021, tampaknya tidak bisa berbahasa Indonesia (Interviewer: 'Guess, what is the meaning of sepak bola?' &ndash; Elkan Baggott: <a href="https://www.youtube.com/watch?v=QC-yafvxVN8" target="_blank" rel="noopener">'I guess it got something to do with football?'</a>). Seperti banyak atlet ternaturalisasi sebelumnya. Ia ibaratnya sudah cukup mencoba makan setusuk sate taichan untuk membuat warganet berbangga dengan sate taichan, Elkan dan sekaligus Indonesia.&nbsp;
<h3>Pertukaran Budaya adalah kunci&nbsp;</h3>
Sebagai negara pasca-penjajahan yang memiliki warisan takbenda di dalam dan luar negeri, sektor kebudayaan dan skena seni sebenarnya bisa bantu menciptakan rasa &lsquo;percaya diri&rsquo;. Selama saya sudah getol memantau dunia seni, saya belum berkesempatan mengikuti acara seni (di Indonesia) yang menghubungkan kita dengan kawan-kawan diaspora Indonesia, dan orang-orang &lsquo;Mestizo&rsquo; (darah campur) di Belanda dan manapun di dunia untuk bertukar perspektif secara setara.
Memanglah cukup rumit untuk menelusuri pertukaran budaya tersebut. Saya sendiri dari dahulu ingin membaca buku-buku dari <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Tjalie_Robinson" target="_blank" rel="noopener">Tjalie Robinson</a>, seorang pengarang yang bermukim di Batavia pada zaman penjajahan, dan mengaji secara prosa apakah itu &lsquo;Keindonesiaan&rsquo;.&nbsp;
Tanpa pertukaran budaya, setiap bule bikin unggahan TikTok tentang betapa ia ngebet makan nasi goreng masih menjadi sensasi viral tersendiri. Kita cenderung bergirang berlebihan dengan hal remeh-temeh (om telolet) yang dicap &lsquo;From Indonesia&rsquo;. Bila kita lebih mengenal dengan negara ini (misal, keunikan bahwa Indonesia merupakan satu-satunya demokrasi yang vital di Asia Tenggara), maka rasa percaya diri bisa timbul.
(Meriset untuk teks ini, saya ngakak membaca komen-komen di bawah postingan influencer <a href="https://www.instagram.com/laurencerioubenson/?hl=id" target="_blank" rel="noopener">Laurence Benson</a>, di mana salah satu penggemar membagi pukauan nya: &lsquo;I am from Indonesia but I didn&rsquo;t know my country is so big and has 3 time zones. Thank you for educating me sir! Thank you for introducing Indonesia to the world!&rsquo; &ndash; Masa iya taunya bukan dari guru sekolah atau setidaknya acara traveling di TransTV, tapi dari Youtuber bule?!)
&nbsp;

Apakah mengagung-agungkan bule adalah hal yang terinstitusionalisasi?

ACI WITH ACCENT -&nbsp;Apakah orang Indonesia punya &lsquo;inferiority complex&rsquo; dan konon rentan terkena rasa submisif dengan orang luar berkat 350 tahun pengalaman dijajah? Rasa yang 78 tahun setelah kemerdekaan rupanya masih terpelihara dalam semua sel kita?&nbsp;
Asumsi saya: Nggak juga sih. Setidaknya, terdapat lebih dari satu pemicu mengapa orang Indonesia kerap dipandang suka menunduk kepada bule. &ndash; Sebuah mentalitas atau idiosinkrasi bangsa kita yang Bapak Joko Widodo sudah pernah <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/11/11/15201531/jokowi-mental-inlander-masih-ada-jangan-dipelihara" target="_blank" rel="noopener">mengkritik tempo 2021</a> (&lsquo;Ketemu bule saja kayak ketemu siapa gitu. Sedih kita.&rsquo;).&nbsp;
<h3>Pil pahit menyadari orang Indonesia gampang dipermainkan&nbsp;</h3>
Beberapa tahun lalu saya pernah duduk sebelah seorang lelaki asal Belanda di pesawat. Mengobrol dengannya, cowok itu bercerita tentang betapa lancarnya kehidupan dia sebagai orang asing di Indonesia. Sebagai orang blasteran ia saat pertama berpindah ke Indonesia sudah memegang kunci untuk memasuki dunia hiburan. Tempo itu ia rutin bolak-balik antara Bali dan Jakarta berkat kerja sebagai DJ di pulau, dan sebagai konsultan di kota.
Tanpa rikuh ia bercerita tentang karier ganjilnya. Ilmu yang diserap untuk menjadi konsultan, dia mengambil dari YouTube saja. Saat itu duduk sebaris dengan saya, saya kaget: Dengan bangga dan congkak laki itu mengaku bisa menembus sampai ke perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, dan berhasil menasehati mereka (dalam pengelolaan human resource). &ndash; Dengan ilmu dari YouTube saja, tanpa pendidikan apapun. &lsquo;Kok bisa?&rsquo; &ndash; &lsquo;Because they trust me, when you&rsquo;re white they trust you, that&rsquo;s already enough, I just need to wear a suit and tie, it&rsquo;s easy in Indonesia!&rsquo;&nbsp;
<h3>Faktor Budaya Kolektivisme</h3>
Balik lagi ke asusmi sebelumnya: Sifat budaya kolektif juga memiliki faktor besar untuk membuat kita merasa lebih rendah terhadap orang luar. Nyatanya, pola kita hanya mengenal struktur vertikal dengan kasta atas dan bawah. Hanya yang di atas, yang bijak dan sohor berhak menjadi mitra dalam masyarakat untuk melontarkan opini mereka. Contoh simpel: Guru bicara, murid diharap diam. Sebagai pengajar saya pernah mengalami sendiri betapa sulitnya membuat seorang individu nyaman mengutarakan pendapatnya di depan rekan sekelas.&nbsp;
Maka, konten &lsquo;edukatif&rsquo; laris manis di wkwkw-land. Para pengajar jadi-jadian (influencer) mengajarkan pelafalan yang baik atas kosa kata bahasa asing:&nbsp;KROSONG, KROASONG, KROASOO (sebenarnya terserah, yang penting lawan bicara ngerti aja). Apalagi kalau konten dibuat oleh bule langsung: Perhatian dari warganet Indonesia dijamin bisa dicuankan.&nbsp;
Budaya kolektivisme menekankan kita untuk bersifat berseragam, dan menyimpatkan ruang untuk menemukan gaya diri sendiri tanpa harus menjadi sorotan satu gerbong kereta. Kita terbiasa mempertentangkan hal-hal remeh-temeh. &ndash; Ada yang nonton bokep di cafe, pasti juga ada yang diam-diam mengekspos aibnya si pelaku penonton bokep.&nbsp;
Seketika ada orang mencemerlangkan diri sendiri karena terlihat berbeda, menjadikan perhatian publik lebih terjamin. (Mister, Mister, Poto Mister! Where you prom?)
<h3>Faktor Kurangnya Pertukaran Budaya</h3>
Pertukaran budaya pada tingkat domestik saja masih cukup minim. Berapakah mahasiswi atau praktisi seni pernah menghabiskan seminggu atau dua di pulau lain? Bayangkan betapa keren andaikata ada program yang memperoleh beasiswa bagi orang-orang muda untuk mengembara nusantara. &ndash; Begitu pun dengan pertukaran dan pergaulan mancanegara. Kalau bukan di aplikasi kencan dalam radius Bali, hanya ada satu spot untuk mengobrol dengan orang asing: Kota Tua di Jakarta. Tempat, di mana sudah banyak alumni sekolah negeri dan swasta telah menjadi korban paksaan wali kelas untuk survey bersama bule (Misi, Mester, Mester, Miss! Excuse me! &ndash; atau kalau gak kenal kata &lsquo;Miss&rsquo;, Missnya juga dipanggil Mister).
Budaya kolektivisme kita kelebihan populasi (overpopulation). Niat untuk pertukaran budaya, setidaknya antara seniman atau antara pulau masih belum difasilitasi. Peluang untuk berlatih membangun <a href="https://www.metrotvnews.com/play/N6GC0Ww2-bicara-mental-inlander-jokowi-ajak-masyarakat-bangun-rasa-percaya-diri" target="_blank" rel="noopener">&lsquo;kepercayaan diri&rsquo;</a> seperti diminta oleh Bapak Jokowi cukup terbatas.
&nbsp;

Bule seolah Epifani: Mengapa orang Indonesia merasa inferior sama bule

Aku menghabiskan beberapa pekan terakhir di Bangkok, Thailand, berkat kerjaan pribadi dan sekaligus sebagai agenda &lsquo;dinas&rsquo; atas nama ART CALLS INDONESIA. Selaku pendiri ACI aku pada mulanya sebelum berangkat ke negeri Siam itu hanya berencana menyambangi kolektif-kolektif seni mungil dan underground saja, tidak menyangka bisa meliputi dan mengabsorpsi kancah kultural di sana secara lebih holistik. Ternyata, bisa!&nbsp;
Menerjun ke skena seni di Bangkok bagiku pribadi sebagai pekerja kreatif rasanya ibarat pemulihan sel otak. Aku sempat merasa nikmatnya dapat mewawancarai dan &lsquo;bersawala&rsquo; bareng manusia-manusia kreatif di Thailand &ndash; yang berhasrat mendorong kebebasan berekspresi di negeri mereka (yang sangat sangat terbatas) dan mampu menerjemahkan keinginan politis mereka ke dalam berbagai inisiatif yang luar biasa keren. Banyak sekali dari kita-kita sebagai pegiat seni di Indonesia dapat mempelajari dari kawan-kawan inovatif, ciamik dan kokoh di Thailand.&nbsp;
Mulai dari cara berkarya &ndash; dan lebih berfaedah lagi &ndash; cara kita bersosialisasi sesama manusia kreatif. Dari situ lah keheranan pribadiku bermula. Sepanjang dinas, ART CALLS INDONESIA sempat mewawancarai dan berinteraksi bersama petinggi-petinggi dunia seni Thailand. Sebuah sukses yang izin aku sebut di sini, tanpa terlalu cari perhatian. Sukses yang sebenarnya luar biasa untuk platform media grassroot ini yang tak punya nama di luar negeri.&nbsp;
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/ad1012b8-e049-41ac-9022-9580c9961999?width=2245&amp;height=1587" alt="Aci Thailand" />
<h3>C-Level</h3>
Dalam beberapa pekan ke depan kami akan mempersembahkan banyak cerita dari Thailand. &ndash; Dari obrolan dan interaksi kami dengan para penguasa &lsquo;C-level&rsquo; skena seni setempat &ndash; mulai dari mantan Menteri Kebudayaan Thailand sekaligus direktur Bangkok Art Biennale (Apinan Poshyananda), para bos pusat seni Bangkok Art &amp; Culture Center hingga sutradara taraf dunia seperti Apichatpong Weerasethakul.
Kok, media mungil bisa? &ndash; Itulah pertanyaan yang sempat mengusik benakku. Selama mengurus ACI di Indonesia, rasanya sangat janggal dan susah sekali membangun jalur network dengan orang-orang yang mengelola dunia seni Indonesia. Di Thailand, kami malah disambut dengan guyub dan hangat, dan dimanjai dengan diskusi-diskusi seru dan utas bareng para manajer senior dan seniman nasional Thailand.&nbsp;
<h3>Tamat Kegengsian</h3>
Dari situ aku pribadi banyak belajar tentang aspek-aspek yang perlu diperbaiki dalam skena seni di Tanah Air. Bukan agar menjadi inklusif, tapi demi perkembangan ekonomis. &lsquo;Kok, Bapak rela menyempatkan waktu dua jam lebih untuk bicara dengan media mungil dari Indonesia?,&rsquo; aku sempat bertanya pada&nbsp;Manit Sriwanichpoom, seorang seniman senior papan atas, usai wawancara. &lsquo;Semuanya hanya tentang tamat kegengsian dan mulai percaya diri,&rsquo; ia katakan.
<h3>Kolaborasi dengan institusi bernama</h3>
Selain demi produksi konten, ACI juga menemukan tanah subur di Thailand untuk berkolaborasi antar-negara. Dalam artikel-artikel berikutnya kami akan menceritakan lebih detail tentang kerja sama antara ACI dan Bangkok Art City, sebuah platform media seni di bawah naungan Bangkok Art &amp; Culture Center.
<h3>Open Call dan pameran bagi seniman dengan special needs dari Indonesia</h3>
Tidak hanya itu, juga akan ada peluang seni atau open call khususnya pegiat seni dengan special needs, dan banyak aktivitas lainnya yang dituju untuk membuat kita-kita menjadi satu komunitas se-Asia Tenggara. ACI masih beroperasi secara independen, tanpa dukungan finansial dari pihak manapun.&nbsp;
Nantikan konten ACI dari Thailand, di mana kami akan menganalisis apa yang bisa menjadi input berfaedah bagi penikmat seni di Indonesia. Brutally honest dan tetap fair untuk menstimulasi sel-sel kreatif, kritis, subversif dan inovatif.
Khap khun khrap/kha!
&nbsp;

Layaknya stimulasi sel otak: Kami berhasil mendapatkan dukungan (bukan di Indonesia, tapi malah) di Thailand …

ACI AMATIR, Edisi 1 &ndash; Art Calls Indonesia sudah berusia dua tahun &ndash; kalau dihitung setara dengan usia seekor kucing, ACI sudah berusia nyaris 25 tahun. Tahun 2023 ini, kami presentasikan prototipe kami. Sehingga prototipe Art Calls Indonesia dapat menjadi produk-produk Indonesia!
<h3>Proto&ndash;what?</h3>
Kilas: Haus akan informasi, Indonesia jadi tanah subur untuk start-up dan perusahaan media pendatang baru. Dengan berbagai cara olahan pengetahuan, banyak antara media baru tersebut naik daun dan tumbuh pesat. Namun (tak beda bagi pengusaha semua bidang lainnya), animo penggagas swadaya akan terbengkalai manakala kita tidak punya jaring atau dana. Begitulah deskripsi singkat dari tantangan Art Calls Indonesia hadapi.&nbsp;
Dalam dua tahun terakhir kami telah banyak bereksperimen melalui konten yang kami suguhkan. Dari situ, kami telah belajar bahwa memang susah sekali membalut kesenian dengan jurnalisme:
Menerbitkan ulasan kritik seni tanpa gula-gula, banyak yang teriritasi.&nbsp;
Menerbitkan konten tentang merek es kopi susu paling enak, tidak masuk olahan kami.
Menerbitkan liputan dari luar penjuru kota kesenian seperti Jogja dan Jakarta baru kami mampu menayangkan kadangkala saja.&nbsp;
Menerbitkan konten di luar kaitan seni murni, akan melontarkan kami dalam sebuah kubus khususnya art for art saja.
Sebagai platform swadaya, tenaga &lsquo;endogen&rsquo; kami sangat terbatas. Saat ini ACI beroperasi bagaikan dengan hanya satu poni sirkus (penulis) dan satu penjual popcorn (koordinator administrasi) saja. Penampil dan pekerja sirkus lainnya belum bisa menemani kami berkelana dari satu ke lain kota senantiasa.
<h3>Aci-acian ACI</h3>
Untuk tahun ini, kami akan lanjut mengaci-acikan gagasan prototipe kami untuk Art Calls Indonesia, sebagai wadah bertujuan menjadi social enterprise. Konten yang kami suguhkan, ingin kami jadikan lebih majemuk. Tidak hanya lagi ulasan open calls saja (kami bukan NGO, dan gak punya capability anyway untuk itu), melainkan, kita ingin meluaskan trayektori kami terbuka pada semua fenomena dan topik berfaedah bagi dunia (seni) yang lebih progresif. Harapan kami adalah mendapatkan dukungan untuk mendewasakan ACI &ndash; atas filosofi yang kami bawa; untuk menyediakan sebuah assembly point bagi pegiat seni yang tidak punya orang tua untuk mengakomodir kariernya.
Untuk sementara, izinkan kami memperkenalkan beberapa kategori baru di Art Calls Indonesia. Semua konten kami terbagi dalam tiga pilar:&nbsp;
<ul>
<li><a href="https://artcallsindonesia.com/read/atlet-catur-iran-bertanding-tanpa-jilbab" target="_blank" rel="noopener">Informasi faktual</a> (dan bebas opini) (pada <a href="https://www.instagram.com/artcallsindonesia/" target="_blank" rel="noopener">akun Instagram kami </a>dalam warna putih untuk hard news dan oren khususnya soft news)</li>
<li><a href="https://artcallsindonesia.com/read/manakala-gak-awkward-lagi-datang-sendirian-ke-event-skena-seni-bisa-menjadi-lebih-seru" target="_blank" rel="noopener">Konten berbasis opini</a> (pada Instagram dalam warna abu-abu)</li>
<li>dan <a href="https://artcallsindonesia.com/read/residensi-seni-di-london-hanya-bagi-yang-berlatar-belakang-kelas-menengah-bawah" target="_blank" rel="noopener">konten bersifat servis publik</a> (=kurasi informasi open calls; pada Instagram dalam warna kuning)</li>
</ul>
Atas bagan tersebut, kami akan mencoba mengembangkan beberapa sub-kategori. Di antaranya:
OK ACI &ndash; Kata OK punya banyak makna, dari pengucapan euforia (okeyyy) hingga kesedihan (okeehh). Lewat rubrik OK ACI kami menyuguhkan 'the flavors of the week', berita-berita seputar seni dari seantero Indonesia, dan kadangkala juga gogon-gogon dari skena manusia kreatif dan inspiratif. Tidak hanya itu, kami juga mencari jawaban pada hal-hal paling sensasional yang hadir di dunia seni!
ACI INFO &ndash; Kilasan berita
<a href="https://artcallsindonesia.com/read/takluk-pada-native-speakers-ruwetnya-belajar-bahasa-asing" target="_blank" rel="noopener">ACI WITH ACCENT</a> &ndash; Di sini kami menonjolkan sesuatu yang pada awalnya menjadi keresahan Art Calls Indonesia sehari-hari: Yaitu 'aksen' sang pendiri. Sebagai foreigner, ia mencoba untuk berjodoh dengan identitas Indonesia dan menggenggam Bahasa Indonesia tanpa ragu bercerita dengan aksen
ACI AMATIR &ndash; Kolom tentang seluk-beluk pendirian usaha media/seni tanpa punya jalur networking ataupun uang, dan nalarnya berbagai versi jurnalisme.&nbsp;
Serius, gak bermaksud basa-basi, kami harap konten ACI bisa menjadi kontribusi baik untuk membuka wacana. Mudah-mudahan, kami bisa menyediakan interaksi yang baik antar-audiens &ndash; lewat berbagai cara inklusif yang mungkin selaras dengan Art Calls Indonesia &ndash; dari group call hingga sleep call.&nbsp;
Dengan tim minimal terik dan tanpa mempunyai daya tarik (duittt) untuk mengerahkan tenaga, kami baru mampu mengerjakan one task at a time. Barangkali teman-teman ingin mengutarakan ide, ingin merembuk bersama kami, ingin bersinergi bersama kami, ingin bergabung bersama kami, gerak bersama kami, ataupun ingin cari teman ngobrol se-energi saja, silakan hubungi kami!&nbsp;
Saya pribadi sebagai poni sirkus tersebut, berterima kasih atas perhatian kalian untuk humble-brag ini. Art Calls Indonesia stays at your call! Setidaknya hingga akhir tahun 2023 ini. Nanti kita lihat lagi.&nbsp;
&nbsp;

Result for 'aci with accent'