In this groundbreaking event, Anna blends her jazz-infused original songs with Indonesian lyrics and catchy pop melodies, expanding musical horizons. Ever heard an Indonesian rendition of Antihero by Taylor Swift &mdash; especially one performed by a foreign artist? Experience cultures merging in a unique and heartfelt performance as Anna Anderluh combines music with humorous anecdotes and poignant reflections on all things Austrian and Indonesian.
Titled &ldquo;A Strudel of Cultures and Music,&rdquo; the solo concert will take place on Thursday, January 16, 2025, at 19:00 WIB at the Austrian Embassy in Jakarta. The term &ldquo;Strudel&rdquo; holds dual meanings in Austrian culture &mdash; it refers to both, insidious ocean swirls that pull objects beneath the surface &mdash; and a beloved pastry filled with sweet or savory delights. In Anna&rsquo;s hands, this metaphorical Strudel is filled with rich and syrupy Indonesian-Austrian songs and stories, promising an unforgettable evening.
<h3>About Anna Anderluh</h3>
A specialist in jazz and improvised music, Anna Anderluh is a prominent figure in Austria, Germany, and Switzerland&rsquo;s art scene. Her concerts have been broadcast by renowned radio stations, and her recent musical endeavors included a performance at the Cairo Jazz Festival. Beyond traditional music stages, Anna also explores interdisciplinary art projects:
Together with Austrian-Indonesian actor Marten (Art Calls Indonesia), Anna co-created the theatre play <a href="https://www.steirischerherbst.at/en/program/artists/6463/franz-von-strolchen">Empire: Rooting for the Antihero</a> (2024), a critically acclaimed production that unveils unknown stories between Austria and the Dutch East Indies. This collaboration has earned widespread acclaim, with Empire being <a href="https://www.nachtkritik.de/interview2/nachtkritik-theatertreffen/nachtkritik-theatertreffen-2025-die-nominierten">nominated as one of the best theatre plays</a> in German-speaking countries.&nbsp;
<h3>What to expect on January 16th </h3>
This concert serves as an introduction to Anna&rsquo;s creative journey in Indonesia, showcasing her efforts to connect diverse cultures. Attendees can expect an intimate atmosphere where every guest feels warmly welcomed. After the performance, mingle with representatives of the Austrian Embassy, Indonesian musicians, and art enthusiasts.

RSVP: A magical, humorous, intimate, and intercultural concert at the Austrian Embassy in Jakarta awaits you!

Di penghujung 2024, seorang seniman senior asal Jogja (Yos Suprapto) dan sebuah institusi berkelas di Jakarta (Galeri Nasional Indonesia) masih sempat menyebabkan keributan terbesar di kancah seni dalam beberapa tahun terakhir. Recap-nya bisa <a href="https://artcallsindonesia.com/search?q=galeri%20nasional" target="_blank" rel="noopener">disimak di sini</a>. Bagaimanapun, lukisan &lsquo;anal&rsquo; karya Yos Suprapto, yang mendadak viral di internet, sebenarnya kurang vulgar untuk dianggap NSFP (Not Safe For Pameran). Galeri Nasional sudah pernah memamerkan karya-karya yang jauh lebih eksplisit&mdash;setidaknya dari segi non-normatif, atau dengan kata lain, dari segi seksual.
Pada tahun 2019, Galeri Nasional pernah memamerkan sebuah instalasi seni yang layaknya sangat berisiko menjadi sasaran lunak untuk penyensoran. Tapi, sebelum kita membahas karya berbau bokep tersebut, mari kita bahas dulu kenapa vulgarisme kerap menjadi kata pamungkas untuk membatasi kebebasan berkesenian.
<h3>Ruang edukasi, bukan ruang seni</h3>
Galeri Nasional Indonesia sebenarnya sudah melakukan apa yang bisa diharapkan dari sebuah galeri yang didanai publik di sebuah negara berkembang: menelusuri jejak-jejak yang bisa menciptakan identitas keindonesiaan berbasis seni dan budaya, serta menjaga martabat keindonesiaan dengan menampilkan seniman-seniman dari seantero Nusantara. Namanya juga Galeri Nasional, bukan Galeri Non-Nasional.
Oleh karena itu, Galeri Nasional Indonesia sebenarnya lebih pantas disebut ruang edukasi ketimbang hanya ruang seni belaka. Sayangnya, pendekatan edukatif itu tampaknya masih minim sekali di pameran-pameran yang digelar di Galnas. Lukisan-lukisan dalam pameran tunggal Butet Kartaredjasa pada pertengahan 2024 (<a href="https://artcallsindonesia.com/read/apa-sih-gunanya-bikin-pameran-seni-rupa-tanpa-mengedukasi-pengunjungnya" target="_blank" rel="noopener">cek kritik ACI di sini</a>), misalnya, bahkan tidak disertai anotasi (deskripsi).
Supaya imbang, mari kita tidak hanya mengalamatkan kritik kepada institusi-institusi publik, namun juga pada manusia-manusia kancah seni (rupa). Khususnya, pada yang sedang beraspirasi memboikot Galeri Nasional: What do you expect? Di seluruh Indonesia, tidak ada satu pun fasilitas teater dengan ensemble dan karya-karya pentas teater repertoire seperti di Singapura. Hal yang sama juga berlaku untuk fasilitas peragaan seni rupa&mdash; infrastruktur kita belum se-ciamik di negara tetangga. Daripada berharap institusi-institusi di bawah Kementerian Kebudayaan bisa menjadi bendungan kebebasan berkesenian seutuhnya, mending para perupa yang merasa kehilangan hak berekspresi bersindikat sendiri. &ndash; Nyatanya, kualitas self-management perupa lokal juga masih perlu ditingkatkan.&nbsp;
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/10-open-calls-lokal-yang-tak-boleh-kalian-lewatkan" target="_blank" rel="noopener">10 Open Calls lokal yang tak boleh kalian lewatkan!</a>
<h3>Membungkam seniman dengan atribut 'vulgar'</h3>
Masih soal polemik seputar Yos Suprapto, sebenarnya sah-sah saja jika Galeri Nasional berdalih berkomitmen melindungi pengunjung dari karya-karya yang terasa terlalu vulgar untuk publik. <a href="https://artcallsindonesia.com/read/berani-dan-konsekuen-tapi-sedikit-old-school" target="_blank" rel="noopener">Dalam </a><a href="https://artcallsindonesia.com/read/berani-dan-konsekuen-tapi-sedikit-old-school" target="_blank" rel="noopener">tulisan ini</a><a href="https://artcallsindonesia.com/read/berani-dan-konsekuen-tapi-sedikit-old-school" target="_blank" rel="noopener">, kami sudah berargumentasi</a> bahwa edukasi seni seharusnya bisa menjadi medium mediasi di sini. "Menurut pendapat saya, dua karya [oleh Yos] tersebut 'terdengar' seperti makian semata, terlalu vulgar, (...)," imbuh kurator Suwarno Wisetrotomo <a href="https://mojok.co/liputan/ragam/kerja-kurator-seni-mendebat-seniman-setiap-hari/#google_vignette" target="_blank" rel="noopener">dalam artikel yang ditayangkan di Mojok.co</a>.
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/d9b0baaf-8a0a-4e8a-8167-1593973d8691?width=1080&amp;height=1350" alt="Karya Konoha Oleh Yos Suprapto" />
<h6>Karya berjudul 'Konoha' oleh Yos Suprapto | Foto: istimewa</h6>
Dalam kasus Yos Suprapto, pengatributan &lsquo;vulgar&rsquo; itu sudah menjadi kata kunci yang menyambungkan lukisan anal tersebut dengan konotasi tindakan seksual. Padahal, kata vulgar itu hanyalah kamuflase untuk membungkam aspirasi di balik karyanya: kritik terhadap mantan Presiden Jokowi dan pemerintah RI. Well, apakah karya &lsquo;Konoha 1&rsquo; dan &lsquo;Konoha 2&rsquo; tersebut terasa estetik adalah pertanyaan lain.
<h3>'Melindungi' seakan jadi kata kunci</h3>
Kata pamungkas &lsquo;vulgar&rsquo; itu juga pernah dipakai sebagai palu untuk memecah rencana <a href="https://artcallsindonesia.com/read/buku-apa-saja-yang-dinilai-terlalu-bokep-dan-pedofil-untuk-program-sastra-masuk-kurikulum" target="_blank" rel="noopener">peluncuran kanon sastra </a>khusus siswa sekolah di Tanah Air. Daftar bacaan tersebut, yang dipresentasikan pada pertengahan 2024, sempat menimbulkan diskusi panas karena sebagian buku dianggap terlalu mesum&mdash;di antaranya buku-buku yang sebenarnya membahas problematika yang sangat relevan dalam kehidupan masyarakat demokratis.
Persoalan tentang sensor di Indonesia sebenarnya adalah problem lama yang sudah ada sejak zaman buyut kita hidup di masa kolonial dulu. Dari dulu, sistem sensor terhadap pelaku seni dan media dipertahankan dengan dalih mewujudkan komitmen negara dalam melindungi masyarakat dari pengaruh negatif, serta demi menjaga moral bangsa (agar otaknya gak diracuni ide-ide mesum).
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/rule-of-thumb-untuk-menyelamatkan-karya-seni-kalian-dari-sensor" target="_blank" rel="noopener">Rule of thumb untuk menyelamatkan karya seni kalian dari sensor</a>
Pada 2018 dan 2019, misalnya, Galeri Nasional jelas pernah mengabaikan budaya swa-sensor tersebut dengan memamerkan setidaknya dua karya di bawah yang jelas jauh lebih &lsquo;vulgar&rsquo; dibandingkan &lsquo;Konoha&rsquo; oleh Yos Suprapto.
Sayangnya, nama pameran serta judul karya tersebut tidak bisa kami telusuri lagi, karena kedua foto adalah kenangan pribadi yang kami ambil dari arsip di masing-masing handphone anggota redaksi ACI. Barangkali ada yang mengenal karya ini dan tahu judulnya, silakan kirimkan email kepada kami atau DM kami di media sosial!
<hr />
<h3>(Karya G. Ravinder Reddy?)</h3>
Foto pertama memperlihatkan pasutri semok yang sedang kelonan. Payudara sang wanita, yang dipeluk suaminya, terekspos dan tidak ditutupi selimut. Foto ini diambil di Galeri Nasional pada Juli 2018.&nbsp;
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/5b96fa55-35ef-43f5-92fa-14bdf9216a4c?width=1080&amp;height=1350" alt="1" />
<h3>Spanked by a drag</h3>
Karya kedua memperlihatkan seorang brondong yang berbaring di pangkuan seorang Drag Queen berbaju motif zebra. Drag Queen berewokan ini memukul bokong si brondong, yang terlihat seperti sedang menikmati campuran sensasi antara terangsang dan menderita berkat di-spank. Foto ini diambil di Galeri Nasional pada Maret 2019:
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/ecfb97a3-693c-4614-b9f4-099e2c756299?width=1080&amp;height=1350" alt="2" />
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/b854665e-db63-4961-a260-e7c88b7429da?width=1080&amp;height=1350" alt="3" />
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/62559dfb-be6e-4190-b164-9cfae4aefbf8?width=1080&amp;height=1350" alt="4" />
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/02f7bfea-7968-48b8-8a8f-a179ff137435?width=1080&amp;height=1350" alt="5" />
<h6>Copyright for all photos in this article: ART CALLS Indonesia&nbsp;</h6>

Apakah ini karya paling vulgar yang pernah dipamerkan di Galeri Nasional?

Populasi Indonesia sudah otw nyentuh angka 300 juta. Dan di antara jutaan manusia itu ada banyak yang berbakat mengekspresikan diri melalui seni. Sayangnya, potensi kreatif mereka tidak terpakai di ekosistem seni Indonesia. Yang paling punya akses pada skena seni kerap punya satu ciri yang tak bisa dibeli: Talenta &ndash; hehe canda, nggak: Orang tua kaya.&nbsp;
On top, kita juga punya Staf Khusus Presiden Bidang Kesenian yang sekaligus nge-host acara 'Gaspol' setiap pagi di SCTV. Nampol, kan?&nbsp;
Kamu merasa kurang terwakili di dunia seni ini? You are at the right spot! Menurut kami, keberagaman adalah kata kunci untuk membuka pintu antara masyarakat awam dan kancah seni. Oleh karena itu, ACI ingin membangkitikan inklusifitas secara praktis dan lowkey. Supaya kalian punya akses, terlepas dari siapakah papi kalian - di pulau mana pun kalian tinggal.
Dalam dunia seni lokal yang benar-benar ciamik, seharusnya mas-mas seni rupa jamet tidak hanya bergaul sama yang sejenis, dan para manusia Jaksel epicure tidak hanya bercengkrama dengan teman-teman se-vibe saja.
Seni itu oksigen buat tumbuh kembang intelektualnya remaja, dan juga obat paliatif untuk orang dewasa.
Seni tidak akan menyala tanpa keberagaman. Sebagai serpihan motivasional, ACI kembali berjasa dengan info kredibel seputar Open Calls di ranah seni. Semua panggilan terbuka di website ACI sudah kami kurasi secara saksama. Kamu mau jadi praktisi seni yang akhirnya bisa naik daun di awal tahun 2025? Cek Open Calls yang sudah kami masukkan dalam rangkuman terbaik dan terinformatif ini!
<h3>Menjadi bagian dari salah satu organisasi seni paling ternama se-Jakarta</h3>
Singkat saja, Dewan Kesenian Jakarta membuka kesempatan untuk mengisi sejumlah posisi, di antaranya: Sekretaris Pengurus Harian DKJ, Koordinator Teknis Program DKJ, Sekretaris Komite Sastra, Sekretaris Komite Teater, Sekretaris Komite Tari, Sekretaris Komite Musik, Sekretaris Komite Film, Sekretaris Komite Seni Rupa, Sekretaris Komisi Arsip.
Selain itu DKJ juga membuka lowongan khusus Desainer Grafis, Videografer, Fotografer dan Pustakawan.&nbsp;
Simak <a href="https://www.instagram.com/p/DD7EYZgyiKA/?img_index=3">syarat pendaftaran</a> terlebih dahulu dan kirimkan lamaran <a href="https://docs.google.com/forms/d/e/1FAIpQLSdQkKjpLOxKIlsL48znTvfX6vm1TZZYt57TXweIpU8X0PDttg/viewform">melalui tautan</a> ini. Tenggat pendaftaran adalah 1 Januari 2025, sedetik sebelum pukul jam 00:00.
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/cc1f2fbd-10ac-46df-a001-b175d41e2e79?width=1080&amp;height=1080" alt="Aci Standard Open Calls 1080 28" />
<h3>Yayasan Kelola siap membiayai &lsquo;karya inovatif&rsquo; kamu</h3>
Yayasan Kelola sudah berdiri sejak tahun 1999 di lanskap seni Indonesia. Kelola mencari 10 mitra untuk memproduksi karya-karya pertunjukan inovatif. Program ini terbuka bagi seniman maupun kelompok seni teater dan tari, serta lintas disiplinnya dengan musik, seni rupa dan media baru. Dalam pedomannya, Yayasan Kelola juga mencantumkan tema apa saja yang boleh diusung dalam karyanya, diantaranya: Kesadaran tentang kesehatan mental, Masyarakat yang setara dan inklusif, Pelestarian tradisi dan pengetahuan adat dalam konteks alam.&nbsp;
Tawaran kerja sama bagi seniman maupun kelompok seni yang lolos seleksi berupa fasilitasi produksi, dan pendampingan kerja keproduseran. Program ini terbuka bagi pelamar dari seluruh Indonesia.&nbsp;
Cek keterangan selengkapnya di akun <a href="https://www.instagram.com/yayasankelola/">media sosial Kelola</a> dan <a href="https://kelola.or.id/wp-content/uploads/2024/12/Pedoman-Pengajuan-Lamaran-Kerja-Sama-Produksi-dengan-Yayasan-KELOLA.pdf">pedoman teknis</a>, dan<a href="https://docs.google.com/forms/d/e/1FAIpQLSdTZHu50hRq3CK2y0yPoo0I9w1eBx5Z4ijEkqKvVQzTV3zwoA/viewform"> daftar diri</a> sebelum tanggal 12 Januari 2025.
<h3>Goethe Institut Indonesien cari karya fotografi untuk pameran internasional</h3>
Apa tanggapan kalian tentang tenggelamnya Jakarta? Proyek pameran ini diadakan oleh Goethe Institut dan berjudul &lsquo;Living at the Urban Seafront&rsquo;. Sesuai judul, program ini membahas isu-isu perkotaan dari perspektif masyarakat yang terdampak oleh kenaikan permukaan laut. Tema-tema lebih detail, seperti tata ruang publik dan arsitektur perlindungan terhadap banjir juga menjadi bahan diskursif dan visual.&nbsp;
Karya seperti apa yang dicari? Karya medium fotografi yang memperlihatkan hubungan antara arsitektur perlindungan terhadap banjir, ruang publik, masyarakat, dan kehidupan sehari-hari di Jakarta. Karya-karya terpilih akan diapresiasikan dengan pembayaran sebesar EUR 200 pada fotografernya.&nbsp;
Informasi lebih lanjut dapat <a href="https://www.goethe.de/ins/id/id/kul/kuf/aue/lus.html#accordion_toggle_26215630_2">diakses di sini.</a> Tenggat pendaftaran adalah 31 Desember 2024.
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/751136fb-6654-445a-9a4f-8928531f9e92?width=1920&amp;height=1080" alt="Look beyond Filterbubbles Aci" />
<h3>British Council mencari mitra untuk memetakan lanskap per-festival-an di ASEAN</h3>
Pertama-tama, festival-festival yang dimaksudkan British Council mencakupi semua pagelaran seni dan budaya di negara-negara ASEAN. British Council berupaya untuk memahami apa yang mendefinisikan festival-festival seni di Asia Tenggara dari berbagai sudut, termasuk nilai kultural dan aspek ekonomis. Praktisi riset dan organisasi yang bisa mengkontribusikan penemuan dan materi berbasis riset untuk proyek ini, akan disediakan hibah total sebesar 30.000 Poundsterling.&nbsp;
S<a href="https://www.britishcouncil.org/research-insight/consultancy-partnership-opportunities/ASEAN-festivals-mapping">elengkapnya</a>, silahkan ikuti tautan ini. Tenggat: 6 Januari 2025.
<h3>More Calls:</h3>
Tunjukkan karya buku dan zine fotografi kalian: Gueari Galeri dan mataWaktu mengundang kalian untuk menjadi bagian dari <a href="https://www.instagram.com/explore/tags/pentasbukufoto/">#PentasBukuFoto</a> 2025, sebuah wadah untuk merayakan karya buku/zine fotografi yang diterbitkan secara mandiri maupun melalui penerbit mayor. <a href="https://www.instagram.com/p/DD8IwcmTATs/">Info lebih lanjut</a>. Tenggat: 10 Januari 2025
Diajak kolaborasi sama Museum Kebangkitan Nasional: Untuk mengaktifkan fasilitas museum sebagai ruang publik yang hidup, Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, mengundang komunitas dan kolektif dari berbagai ranah kreatif untuk kerja sama. Ruang museum dapat digunakan sebagai tempat untuk berkegiatan sesuai proposal yang dikirimkan pada surel yang tertera<a href="https://www.instagram.com/p/DDbgLDRyLo8/"> pada tautan ini</a>.
ARTJOG kembali mengundang seniman muda: Praktisi seni pendatang baru di bawah umur 35 tahun diajak untuk memamerkan karyanya dalam rangka ARTJOG 2025 - Motif: Amalan. Proposal yang ingin kalian ajukan diharap sesuai tema tersebut. Lamarannya juga wajib disertakan penjelasan teknis. Seniman yang lolos seleksi akan diajak diskusi lebih lanjut dengan kurator ARTJOG. <a href="https://artjog.id/2025/">Info selengkapnya</a> | Tenggat: 25 Januari 2025.
Menjaga kuburan sambil merefleksi secara artistik: Bersama dengan tujuh Open Calls di atas, kami rangkumkan tiga Open Calls tambahan yang layak dicoba. <a href="https://www.instagram.com/p/DC_ZshfJVkT/?img_index=1">Balinale 2025 sedang mencari film-film</a> untuk diputarkan dalam festivalnya, <a href="https://www.instagram.com/p/DDRBFBEzMMX/">Universitas Indonesia menyediakan kesempatan</a> untuk pegiat seni yang tertarik dengan antropologi, dan Yayasan Erevelden yang mengurus sejumlah pemakaman perang di Indonesia <a href="https://www.instagram.com/p/DDt4nZAyB48/?img_index=1">mencari penjaga malam </a>(yang mungkin tertarik menggunakan keheningan malam di kuburan untuk berpikir tentang karya selanjutnya).&nbsp;
(MS, Art Calls Indonesia, 27.12.2024)

10 Open Calls lokal yang tak boleh kalian lewatkan!

<h3 style="text-align: center;">&ldquo;Saya sebagai seniman, pihak Galeri Nasional, dan mantan kurator (...) belum menemukan titik temu. Jadi, pameran ini tidak bisa dilanjutkan (...),&rdquo;</h3>
kata Yos Suprapto, saat menurunkan karya-karya miliknya di Galeri Nasional Indonesia (23/12). Yos Suprapto secara resmi sudah <a href="https://www.antaranews.com/berita/4546886/yos-suprapto-turunkan-lukisan-dan-batalkan-pameran-di-galnas">mengundurkan diri</a>.
(Opini) &ndash; Polemik antara Yos Suprapto dan Galeri Nasional telah berkumandang luas. Galeri Nasional sebagai fasilitator ruang pameran menjadi sasaran kritik pedas. Kurator pamerannya dicap sebagai "pengecut," sementara Menteri Kebudayaan Fadli Zon dianggap tidak memahami seni. Pembredelan karya Yos Suprapto ini telah memicu backlash atau blunder terbesar di dunia seni lokal dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan presiden Prabowo yang baru saja dilantik dua bulan lalu, insiden penyensoran ini membuat banyak pegiat seni semakin waspada terhadap potensi pembatasan kebebasan berkesenian. Secara mendadak, polemik ini menarik perhatian generasi muda pun di jagat maya. Yos Suprapto pun menjadi semacam 'Antihero' yang memperjuangkan kebebasan berekspresi di tengah kekhawatiran akan masa depan seni yang kian terancam.
Baca juga: <a href="https://artcallsindonesia.com/read/yos-suprapto-bantah-tuduhan-karyanya-terlalu-vulgar" target="_blank" rel="noopener">Penyensoran antisipatif &ndash; Karya apa yang diminta diturunkan oleh kurator jelang pameran tunggal Yos Suprapto?</a>
Kebebasan berkesenian tampaknya belum mendapat perhatian yang cukup penting di Tanah Air, sebagaimana tercermin dalam pemilihan sosok untuk jabatan Utusan Khusus Presiden Bidang Pekerja Seni. Si paling nampol: Raffi Ahmad &mdash; pengusaha, entertainer, dan kini juga agen publik bagi para pekerja seni. Bagaimanapun, jangan berharap terlalu tinggi pengisi acara Gaspol (SCTV) ini mampu memperjuangkan kepentingan para pelaku seni.
Nama Fadli Zon pun ikut terseret dalam polemik pembredelan karya Yos Suprapto. Menteri Kebudayaan ini menganggap beberapa karya Yos, termasuk lukisan Konoha 1 dan Konoha 2, tidak layak dipajang di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, karena mengandung unsur-unsur vulgar. Lukisan-lukisan tersebut memang menggunakan bahasa simbolik yang cukup gamblang.
Alhasil, pameran tunggal Yos Suprapto di Galeri Nasional dibatalkan oleh senimannya sendiri &ndash; secara resmi, ia sudah mengundurkan diri. 
<h3 style="text-align: center;">&ldquo;Kalau [pameran] ini tetap tidak bisa diakses oleh masyarakat luas, tetap dikunci dengan alasan apa pun juga, (...) lebih baik tidak perlu harus ada pameran,&rdquo; </h3>
ujar Yos pada 21 Desember. Malam hari tanggal 23 Desember, karya-karya yang sebelumnya sudah dipajang di Galeri Nasional diturunkan dan dibawa pulang ke Yogyakarta.&nbsp;
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/8de3f550-95e6-45e9-93c7-0191e6c92c66?width=2000&amp;height=1414" alt="Indonesia on The I Nternet Aci" />
<h6>It's wild out there. | Ilustrasi oleh ACI</h6>
<h3>Sarat Simbolisme</h3>
Pendekatan dan respons Yos Suprapto dalam polemik ini sarat dengan simbolisme, mencerminkan jiwa aktivis sosialnya yang kuat. Dalam pernyataan pembatalan pamerannya, Yos menegaskan bahwa ia berencana menempuh jalur hukum untuk menuntut akses ke Galeri Nasional.
Kemampuan Yos dalam berbahasa simbolis tampak jelas dalam karya-karyanya. Sepasang lukisan bertajuk Konoha memuat simbolisme yang gamblang dan menggugah: sejumlah figur tampak menjilat anus dari sosok yang mengenakan mahkota. Menanggapi tuduhan vulgarisme, Yos menjelaskan bahwa unsur ketelanjangan dalam lukisannya adalah bentuk majas simbolis yang harus dilihat melalui kacamata seni. "Dalam bahasa seni rupa (...) ketelanjangan itu simbol kepolosan (...)," ujar Yos dalam konferensi pers sehari setelah pernyataan pembatalan pameran.
Simbolisme dalam karya dan tindakan Yos memang konsisten dan berani, meski mungkin terasa sedikit old school.
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/9eda90a6-9e1f-404c-a914-7bb47f9dff89?width=2000&amp;height=1414" alt="Yos Suprapto Jumpa Pers 21 Desember 2024, Foto Aci" />
<h6>Konferensi pers di gedung YLBHI-LBH Jakarta pada 21 Desember 2024, Yos Suprapto menegaskan bahwa ia tidak bersedia membatasi hak kebebasan berkesenian. | Foto: Art Calls Indonesia&nbsp;</h6>
<h3>Out of the box&nbsp;</h3>
Yos Suprapto, yang pernah tinggal di Australia selama lebih dari 25 tahun, semestinya melobi untuk tetap menggelar pameran tunggalnya &ndash; dengan mengikuti saran kurator dan permintaan direksi Galeri Nasional untuk menutupi karya-karya yang dianggap kontroversial. &ndash; Yes! &ndash; Jika karya-karya tersebut ditutupi kain hitam namun tetap dipajang, justru akan tercipta simbol yang lebih lantang untuk menyuarakan kritik dan keprihatinan. Dengan bargaining power yang dimilikinya, Yos sebenarnya bisa memanfaatkan kesempatan ini secara out of the box.
Meskipun tertutup, karya-karya yang tersensor itu sebenarnya masih dapat berfungsi sebagai medium perlawanan sekaligus renungan kolektif atas rapuhnya kebebasan berkesenian di Indonesia. Coba deh, kalau sang perupa legendaris itu menutupi karyanya dengan sengaja, sambil menyertakan kode QR yang bisa dipindai oleh pengunjung Galeri Nasional. &ndash; Melalui kode tersebut, pengunjung bisa mengakses karya yang telah tersebar luas di jagat maya, di mana hak kebebasan berekspresi dikawal ketat oleh netizen Tanah Air.
Yos sebenarnya terlihat cukup terbuka terhadap bentuk-bentuk aktualisasi seperti itu, sebagaimana tercermin dari gaya bertuturnya yang sering mencampurkan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.&nbsp;
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/profil-yos-suprapto-pelukis-berani-dengan-oeuvre-penuh-makna" target="_blank" rel="noopener">Profil Yos Suprapto: Pelukis berani dengan oeuvre penuh makna</a>
Bayangkan jika pamerannya tetap terlaksana: para pengunjung berdatangan berbondong-bondong, rela mengantri untuk menyaksikan karya yang disensor. Mereka berdiri di depan tirai, dan lukisan tertutup itu menjadi instalasi audio. Pengunjung diberikan headset untuk mendengarkan suara truk molen melintasi kawasan IKN, desahan penuh kepuasan dari penguasa yang di-rimming, hingga suara menyesap dari para penjilat.&nbsp;
Namanya bukan Galeri Nasional kalau tidak ada chibi-chibi Jabodetabek berpose di setiap pojok galeri, begitu pun di depan karya tersensor itu. &ndash; Justru, ini yang bisa menjadi statement yang mungkin tidak se-gamblang lukisannya sendiri, namun lebih ironis.
Baca juga: <a href="https://artcallsindonesia.com/read/apa-sih-gunanya-bikin-pameran-seni-rupa-tanpa-mengedukasi-pengunjungnya" target="_blank" rel="noopener">Apa sih gunanya bikin pameran seni rupa tanpa mengedukasi pengunjungnya?</a>
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/8251d102-a4c8-4878-9aaa-071dfe7951d7?width=2000&amp;height=1414" alt="6" />
<h6>Selfie-Esteem bukan Self-Esteem: Suasana di pameran &lsquo;Melik Nggendong Lali&rsquo; oleh seniman interdisiplin Butet Kartaredjasa di Galeri Nasional Indonesia<a href="https://artcallsindonesia.com/Diancam%20pihak%20polisi%20sebelum%20pentas%20teater:%20Butet%20Kartaredjasa%20tak%20boleh%20bikin%20satir%20politik" target="_blank" rel="noopener">&nbsp;</a>| Foto: ACI</h6>
Konseptualisasi seperti ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan sebelum pameran dibatalkan; kesempatan untuk menghadapi persoalan kebebasan berekspresi di Tanah Air secara langsung&mdash;layaknya "taking the bull by the horns." Sebuah aksi yang bukan hanya menggugah, tetapi juga menyadarkan masyarakat tentang betapa terbatasnya hak berekspresi bebas di negeri ini.
<h3>Narasi kemesuman</h3>
Supaya tak ada yang merasa terganggu, seni lokal kudu sesuai kaidah Ketimuran. Buku-buku sastra misalnya kerap dicurigai berisi racun subversif untuk menanamkan pikiran aneh-aneh di benak pembaca. Seni di Indonesia kerap 'diharamkan'. Patung instalasi berbahan dasar bambu di Halte Bundaran HI, Jakarta Pusat, misalnya pernah dicap mesum karena bentuknya mirip orang bercinta. Apalagi relief-relief pada Candi Sukuh di Gunung Lawu, Jawa Tengah, yang sejak ratusan tahun menampilkan adegan seks? Dan phallus bebatuan segede Gaban di Candi Cetho!
Tuduhan bahwa karyanya terlalu mesum sudah ditepis oleh Yos: &ldquo;(...) orang yang menyatakan itu sanggama, berpikirnya sebatas itu,&rdquo; tegas Yos. Celakanya, Yos juga terperangkap dalam narasi kemesuman itu dengan menanggapinya secara artistik, sehingga ia termanuver ke dalam jebakannya Fadli Zon. Fokus pada isu &lsquo;vulgarisme&rsquo; membuat publik melupakan masalah utama yang sebenarnya menjadi alasan karyanya disensor&mdash;bukan masalah ketelanjangan figur dalam lukisan, melainkan kritik tajam terhadap pemerintah.
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/rule-of-thumb-untuk-menyelamatkan-karya-seni-kalian-dari-sensor" target="_blank" rel="noopener">Rule of thumb untuk menyelamatkan karya seni kalian dari sensor</a>
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/d9b0baaf-8a0a-4e8a-8167-1593973d8691?width=1080&amp;height=1350" alt="Karya Konoha Oleh Yos Suprapto" />
<h6>Di luar kaidah Ketimuran, dan terlalu vulgar? Karya berjudul 'Konoha' oleh Yos Suprapto | Foto: Istimewa</h6>
<h3>Kebebasan berekspresi masih menjadi taruhannya</h3>
Kita semua tahu bahwa tata demokrasi di Indonesia rongrong sepanjang era presiden Joko Widodo, dan terus rapuh di masa Presiden Prabowo. Seniman-seniman Indonesia sudah biasa merasa dicekal, mereka menguasai seni menyensor diri sendiri. Para aktivis mudah diberangus dengan dalih &ldquo;memprovokasi massa&rdquo; atau &ldquo;menyebarkan kebencian&rdquo;. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sering kali berfungsi sebagai alat untuk menjebak. Banyak pasal karet yang dapat ditafsirkan sebagai peluang untuk menjerat seniman, kreator meme, jurnalis, dan lainnya yang berani menyampaikan kritik atau guyonan ironis tentang pejabat publik.
Status quo tersebut mungkin tidak darurat banget, mengingat bahwa negara-negara lain di kawasan ASEAN seperti Thailand menjatuhkan hukuman betul-betul drakonis pada siapa pun yang berani mengejek para aktor negara. Dilindungi hukum l&egrave;se-majest&eacute; yang diberlakukan di Thailand, raja 'Rama X' tidak boleh dikritik sama sekali. Ketimbang situasi di Thailand, keadaan di Indonesia masih lebih bersahabat dengan kebebasan berkesenian. &ndash; Cuman, mungkin saja tidak di Galeri Nasional &hellip; mereka mungkin cukup mengurus hal-hal nasional, martabat nasional, dan aktualisasi budaya nasional saja.
Sehat selalu, Pak Yos Suprapto! (MS, Art Calls Indonesia, 24.12.2024)

Berani dan konsekuen, tapi sedikit old school

Baca bareng, bertukar pendapat, dan memuaskan kehausan kamu akan interaksi berkualitas &ndash; kami mengundang kamu untuk menjadi bagian dari &lsquo;ACI Social Reading Club&rsquo;!
Bayangkan kamu bergabung dalam komunitas yang terdiri dari beragam tipe orang, dari sirkel dan kasta berbeda. Tipe-tipe orang, yang cenderung tak akan dipertemukan dalam kehidupan nyata. Kalian bersepakat untuk berjumpa sebulan sekali, dan mengabaikan jagat maya dan masalah sehari-hari untuk sejenak. Secara bersama, kalian membangun sebuah &lsquo;safe-space&rsquo;, di mana semua peserta bisa mengutarakan isi kepala mereka &ndash; meskipun pendapat mereka berbeda-beda.
Kurang lebih inilah suasana hangat yang terbawa dalam banyak klub buku, di mana interaksi antarmanusia menjadi sensasi nan jadul, yang sayangnya kita jarang sekali dapat merasakan dalam kehidupan masa kini.&nbsp;
Elemen paling utama dari semua klub buku adalah sawala tentang buku-buku. Kami dari ACI ingin membangun forum selaras, namun tanpa buku-buku sastra. Kenapa? Karena dalam klub buku yang ideal, semua peserta semestinya membaca satu buku yang sama dulu.
Fokus kami letak pada bahan bacaan &lsquo;sosial&rsquo; yang berhubungan dengan masyarakat, budaya, politik, filosofi dan lain lain. Berdasarkan bahan bacaan yang kami sediakan, semua peserta dari &lsquo;ACI Social Reading Club&rsquo; diajak untuk berdiskusi bareng dan bertukar pendapat.&nbsp;
<h3>Questions &amp; Answers</h3>
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/9e24a0fa-89be-49b8-8809-fed86bdebb2d?width=1080&amp;height=1080" alt="Greg Aci Square" />
<h6>Q: Ini acara apa ya?</h6>
Ini adalah undangan terbuka untuk ikut serta dalam proyek baru oleh Art Calls Indonesia. Namanya &lsquo;ACI Social Reading Club&rsquo;.&nbsp;
<h6>Q: Apaan itu &lsquo;ACI&rsquo;?</h6>
Barangkali kamu baru menemukan platform kami, ACI adalah titik temu untuk semua orang yang tertarik memandang dunia ini melalui lensa budaya dan seni. Melalui beragam publikasi, kami membayangkan berbagai <a href="https://artcallsindonesia.com/articles" target="_blank" rel="noopener">alternatif lebih baik pada status-quo</a>, kami menyantap <a href="https://artcallsindonesia.com/read/36-peluang-seni-khusus-newcomers" target="_blank" rel="noopener">peluang-peluang berkesenian</a> dari skena seni domestik dan mancanegara, dan kami mempertanyakan <a href="https://artcallsindonesia.com/read/apakah-hanya-anak-orkay-mampu-menjadi-changemaker" target="_blank" rel="noopener">fenomena ajaib dan menyesalkan</a> dalam masyarakat kita.&nbsp;
<h6>Q: Kenapa bikin klub baca bareng?</h6>
Karena kesempatan untuk berinteraksi secara berkualitas antara satu sama lain menjadi kian langka dalam kehidupan masa kini. Alhasil, anak-anak muda tidak terfasilitasi dengan cukup banyak kesempatan untuk mengkalibrasikan pendapat sendiri seputar banyak hal. Selain itu, kami ingin ACI bisa menjadi tempat untuk menambah kenalan baru, dan berteman dengan orang-orang di luar sirkel kamu sendiri. Dunia kita semakin terpolarisasi, dan meskipun kegiatan mini seperti ini tak akan merubah apa-apa, kami harap, klub ini bisa menjadi zona inspirasi, zona healing dan zona motivasi untuk siapa pun yang tertarik! &lsquo;Talking brings people together!&rsquo;
<h6>Q: Kegiatannya apa saja?</h6>
Kita akan memfasilitasi diskusi berdasarkan suatu materi yang akan kita baca bersama terlebih dahulu. Klub ini tidak dituju untuk membedah buku-buku sastra. Melainkan, kami akan mempersiapkan materi bacaan lebih pendek, yakni cerpen-cerpen pendek dan artikel-artikel jurnalistik yang bisa diakses di internet. Bahan bacaan itu akan kami ambil dari berbagai media, misal 'Harian Kompas', '<a href="https://bandungbergerak.id" target="_blank" rel="noopener">Bandung Bergerak'</a>, '<a href="https://sediksi.com" target="_blank" rel="noopener">Sediksi'</a>, Majalah 'Basis' dll. Teman-teman juga dipersilakan untuk menyarankan teks yang cocok untuk dijadikan impuls diskusi.&nbsp;
<h6>Q: Siapa saja yang bisa ikut?</h6>
Karena proyek ini benar-benar berangkat dari nol, kami akan mulai dengan episode &lsquo;pilot&rsquo; dulu. Teman-teman yang berada di Jabodetabek dan bersedia untuk kumpul bareng di daerah Jakpus dan Jaksel di sekitaran rute MRT, dipersilakan untuk ikut serta. Ada pun dua hal yang kami rasa cukup penting untuk memberdayakan klub ini:&nbsp;
Peserta sebaiknya terbuka untuk membaca tulisan-tulisan dari penulis atau media yang mungkin belum dikenal. Peserta sebaiknya juga tertarik untuk menambah kontak baru, dan merasa cukup nyaman untuk berada di antara orang-orang baru. Selebihnya, kami akan pastikan semua peserta akan terlibat dan merasa nyaman!
<h6>Q: Prosedurnya gimana?</h6>
Teman-teman yang tertarik untuk ikut serta, dipersilakan untuk mengirimkan surel pada kami. Email kalian sebaiknya menjelaskan dalam gaya kalian sendiri, apa yang membuat kalian tertarik untuk ikut serta, dan contoh artikel atau cerpen apa yang mungkin kalian ingin mendiskusikan bareng. Mohon sertakan biografi singkat tentang diri kalian. Alamat email ACI tercantum di bawah artikel.
Kemudian, kami akan membuat grup WhatsApp untuk semua peminat dan akan menentukan tanggal pertemuan pertama (rencananya pada bulan Juli 2024).&nbsp;
<h6>Q: Ada biaya ga?</h6>
Tidak. Bayar pakai senyum saja :) Your smile is our priority! (bukan iklan dokter gigi)
&nbsp;

BERSAMA ACI

RSVP: A magical, humorous, intimate, and intercultural concert at the Austrian Embassy in Jakarta awaits you!

Apakah ini karya paling vulgar yang pernah dipamerkan di Galeri Nasional?

10 Open Calls lokal yang tak boleh kalian lewatkan!

Berani dan konsekuen, tapi sedikit old school

Bergabung dengan 'ACI Social Reading Club'