KORBAN 'BULLYING'

Mengapa ekstremnya kasus bullying di Indonesia berkaitan erat dengan kultur kita

Tata sosial kita sebagai budaya kolektivisme tampaknya mendukung potensi akan kasus-kasus perundungan (penyiksaan, kejahatan dan kekerasan) ekstrem di Indonesia

Pexels

Pexels

Article Image Title
Editor: )))
07.07.2023

(ACI WITH ACCENT, Marten S, 07.07.2023)

Nama: (tidak diketahui) - Lokasi: Tasikmalaya - Jenis ‘Bullying’: Dipaksa berasusila dengan seekor kucing - Korban: Anak berusia 11 tahun - Status: Korban meninggal dunia (2022)

Nama: B. - Lokasi: Kotamobagu - Jenis ‘Bullying’: Diikat dan ditendang sehingga ususnya akhirnya harus diangkat - Korban: Anak berusia 13 tahun - Status: Korban meninggal dunia (2022)

Nama: B. - Lokasi: Medan - Jenis ‘Bullying’: Dipukul kakak kelasnya - Korban: Anak berusia 8 tahun - Status: Korban meninggal dunia (2023)

Dalam ketiga kasus perundungan, ancaman, penyiksaan dan sadisme tersebut, ketiga korban adalah siswa SD dan MTS yang dianiaya dengan kehendak untuk melukai mereka secara maksimal. Para pelaku sadar mereka merampas nyawa orang lain. Seolah mereka menerima risiko tersebut begitu saja. Sengaja. Mereka merenggut nyawa orang lain. Perbedaan antara pendefinisiannya delik-delik ini dengan delik pembunuhan berencana (moord) tampaknya sangat tipis.

Ketiga anak tersebut meninggal akibat kekerasaan fisik dan psikis bukan dari tangan orang tua atau saudara, tapi kakak kelasnya. Rekan satu sekolah. Dalam ketiga kasus, korbannya disiksa ramai-ramai. Satu lawan tiga (Tasikmalaya). Satu lawan lima (Medan). Satu lawan sembilan (Kotamobagu). 

Lagi, lagi mati 

Saban beberapa bulan terkuaklah berita terbaru ihwal kasus perundungan di lingkungan sekolah. Anak SD pun sudah menjadi korban bullying ekstrem. Menteri Pendidikan Nadiem Makarim tampaknya linglung menghadirkan sistem yang patut membantah watak sadis itu. Beliau rupanya lebih mementingkan membiayai beasiswa sekolah akting di AS untuk seorang penyanyi Indonesia yang naik daun di Tanah Air setelah ikut acara bakat di luar negeri. 

Bahasa untuk memberitakan kasus-kasus perundungan ekstrem tersebut tampaknya belum terkalibrasi: ‘Seorang siswa kelas 1 SD di Medan meninggal dunia diduga karena di-bully kakak kelasnya.’ (Sumber: Detik, 29.06.2023) – Tiada anak tewas sebab ‘dibully’. Namun tepatnya sebab disiksa, dianiaya, ditendang sampai berdarah dlsb. 

Baca juga: 'Panduan bunuh diri': Ketika kasus bunuh diri diromantisisasi media

Dengan setiap berita kematian peserta didik akibat ‘dibully’, media pun membatasi peran mereka pada peliputan sensasional belaka yang meninggalkan para keluarga korban makin terluka, tanpa kuasa untuk membendung dukanya: ‘Siswa SMP sakit hati hingga nekat bakar sekolah (karena dibully)’, atau juga ‘Keterlaluan! Seorang Bocah SD dipaksa setubuhi kucing hingga fotonya disebar’. 

Sang pembakar sekolah di Temanggung bukan ‘sakit hati’ seolah egonya dipergunjingkan saja. Siswa tersebut adalah penderita perundungan dan korban kegagalan sistem pendidikan yang tak mampu melindungi peserta didik secara mumpuni. 

Bullying

Kenapa kasus bullying ekstrem kian bergejolak di Indonesia?

Satu hal yang perlu diakui sebelumnya, kasus perundungan yang kita kenal dari media hanya di puncak gunung es. Kasus-kasus itu terkemuka lantaran adanya video yang bocor ke publik atau adanya bukti yang tak bisa dipungkiri: Korbannya tewas.  

Sistem pendidikan di Indonesia berlenggek dalam beberapa kasta. Bukan dari segi pembagian usia dan agama (SD, SMA, Madrasah dlsb), tapi dari segi kemampuan finansial orang tua murid dan tempat tinggal. Fasilitas sistem pendidikan mencapai bangunan-bangunan sekolah berdinding bilik, hingga ada pula gedung sekolah swasta bergaya ala kastil di luar negeri. Dalam kasus-kasus yang tercatat di awal, para korban bukan berasal dari keluarga berada. Banyak kasus mungkin tak pernah terkuak, karena orang tua anak mungkin hanya pekerja serabutan dan tak mampu ‘melobi’ demi anaknya sendiri. 

Baca juga: Kenapa sekolah swasta tak seharusnya menjadi jawaban dari masalah sekolah negeri

Budaya Kolektivisme: Kuatnya di dalam grup

Satu asumsi untuk memahami adanya kasus bullying ekstrem di Indonesia berangkat dari asas masyarakat kita. Indonesia adalah negara budaya kolektivisme. Negeri ini menderita atas ledakan populasi atau kelebihan penduduk (setidaknya di kota-kota besar). Fakta, yang baru dapat disadari ketika melanglang ibu kota negara-negara tetangga seperti Malaysia ataupun Thailand – jalanannya terasa sepi dibandingkan Jakarta. 

Kita hidup dengan kelebihan populasi, tata budaya kolektivisme dan masyarakat yang terstruktur amat hierarkis (kaya = kuasa, miskin = ya miskin) – ketika ketiga zat itu digabungkan, terjadinya keadaan sosial yang layaknya mencecerkan penegakan hukum dengan adil: Seberapa berharga satu nyawa di Indonesia ketika orang miskin menjadi korban kecelakaan hit-and-run mobil mewah?

Pintu individual

Bagi saya pribadi, perbedaan antara budaya kolektivisme dan individualisme paling terasa dalam situasi sehari-hari. Saat mendorong pintu untuk meninggalkan sebuah tempat publik, kamu melihat ada orang turut menuju pintu keluar: Apa yang kamu lantas lakukan? Tentu saja, menahan pintu itu terbuka sebagai tanda berbudi baik. Di Indonesia, jarang sekali saya pernah mendengar tuturan ‘terima kasih’ atas gestur kecil itu. Berbeda ketika di Eropa, di mana aksi-aksi subtil itu dihargai dengan terima kasih yang layaknya ucapan natal, tahun baru, lebaran dan ulang tahun secara tergabung.

Somebody who?

Rasanya, dalam budaya kolektivisme manusia-manusia random dianggap sebagai some-BODY saja, dan bukan sebagai individu (some-ONE). Si some-body tersebut baru akan menjadi some-one ketika ia berloyalitas pada suatu kalangan tertentu dan mengidentifikasi diri dengannya. 

Apakah dinamika budaya kolektivisme juga berpengaruh pada perilaku merundung? 

Dinamika kolektif 

Saya menemukan sebuah studi yang berhipotesis bahwa adanya relasi antara bullying dan sikap individual/kolektif dalam sebuah negara. Sepintas, menurut studi tersebut, dalam budaya-budaya kolektivisme korban bullying cenderung ditimpa oleh lebih dari satu pelaku. Dengan kata lain, kasus-kasus bullying melibatkan lebih dari satu tukang bully dan dia didampingi teman-temannya untuk menyiksa satu korban secara ramai-ramai.

Menurut hasil penelitian ‘EU Kids Online’ (dari tahun 2011) ada lima faktor berbeda yang memungkinkan maraknya kejahatan bullying di dalam dan luar lingkungan sekolah:

  1. Nilai kultural (budaya kolektvisime, individualisme)
  2. Sistem edukasi (segregasi, jumlah peserta didik dalam satu kelas, supervisi, dlsb) 
  3. Teknologi (penetrasi dan akses internet)
  4. Kebijakan sekolah, dan inisiatif untuk meningkatkan kesadaran atas perkaranya
  5. Kepuasan sosio-ekonomik (pendapatan orang tua)

Kebanyakan dari literasi yang bisa diakses perihal tema ‘victimisation’ dan bullying menyelidiki aspek pertama (1). Pada umumnya, kita-kita sebagai mitra budaya kolektivisme menghindari konfrontasi dengan pihak lain. – Sedangkan, orang dari budaya individualisme konon lebih mungkin berwatak agresif untuk mendorong kepentingan diri mereka secara paksa. 

Baca juga: 'Panduan bunuh diri': Ketika kasus bunuh diri diromantisisasi media

Bullying2

Berbeda dari norma 

Menurut studi ini pun (Migliaccio dan Raskauskas, 2015) yang membandingkan 28 negara berbeda, penemuannya sama. Kesimpulan: ‘Collectivist countries included have among the highest rates of bullying’. – Budaya kolektivisme lebih mengikuti aturan-aturan yang dianggap normatif, dan memungkinkan penolakan lebih agresif dan lekas pada hal-hal berbeda dari norma. (‘A more collectivist culture implies a greater possibility of concerted whole-group norms emerging, which could at times be aggressive’ | Smith, 2016) 

Agresi tersebut dalam budaya kolektivisme terjelma dalam berbagai bentuk seperti pencemaran, penyebaran fitnah dan pengasingan sosial. – Jika berpandang lebih luas lagi, ada pun berbagai kasus absurd di mana korban lebih dicela publik (netizen) dibandingkan pelakunya, berkat keterlibatan dalam hal-hal di luar norma (‘Heboh, Pacar Mario Dandy Disebut Jadi Wanita Liar Sejak Lama’).

Mengendus dan bertindak

Kembali ke lingkungan sekolah, di mana tidak akan ada perubahan apa-apa untuk membantah segala bentuk perundungan, selama anggaran pemerintah untuk fasilitas pendidikan (konseling, program interventif, dll) tidak dapat dinaikkan.

Juni 2023, seorang siswa SD berumur delapan tahun berinisial B meninggal di Medan karena diduga menjadi korban perundungan, penyiksaan dan pemukulan kakak kelasnya. Sebelum dilarikan ke rumah sakit, ia mengaku sempat dipukul kakak kelasnya. Akhirnya ia meninggal di rumah sakit. 

Kasus-kasus penganiayaan seperti itu tak boleh menjadi hal yang biasa saja. Tapi berita Dewi Persik berantem sama bapak RT lagi lebih ramai.