Bule seolah Epifani: Mengapa orang Indonesia merasa inferior sama bule
Bukan berkat penjajahan masa lalu saja tapi budaya kolektif kita
vecteezy
ACI WITH ACCENT - Apakah orang Indonesia punya ‘inferiority complex’ dan konon rentan terkena rasa submisif dengan orang luar berkat 350 tahun pengalaman dijajah? Rasa yang 78 tahun setelah kemerdekaan rupanya masih terpelihara dalam semua sel kita?
Asumsi saya: Nggak juga sih. Setidaknya, terdapat lebih dari satu pemicu mengapa orang Indonesia kerap dipandang suka menunduk kepada bule. – Sebuah mentalitas atau idiosinkrasi bangsa kita yang Bapak Joko Widodo sudah pernah mengkritik tempo 2021 (‘Ketemu bule saja kayak ketemu siapa gitu. Sedih kita.’).
Pil pahit menyadari orang Indonesia gampang dipermainkan
Beberapa tahun lalu saya pernah duduk sebelah seorang lelaki asal Belanda di pesawat. Mengobrol dengannya, cowok itu bercerita tentang betapa lancarnya kehidupan dia sebagai orang asing di Indonesia. Sebagai orang blasteran ia saat pertama berpindah ke Indonesia sudah memegang kunci untuk memasuki dunia hiburan. Tempo itu ia rutin bolak-balik antara Bali dan Jakarta berkat kerja sebagai DJ di pulau, dan sebagai konsultan di kota.
Tanpa rikuh ia bercerita tentang karier ganjilnya. Ilmu yang diserap untuk menjadi konsultan, dia mengambil dari YouTube saja. Saat itu duduk sebaris dengan saya, saya kaget: Dengan bangga dan congkak laki itu mengaku bisa menembus sampai ke perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, dan berhasil menasehati mereka (dalam pengelolaan human resource). – Dengan ilmu dari YouTube saja, tanpa pendidikan apapun. ‘Kok bisa?’ – ‘Because they trust me, when you’re white they trust you, that’s already enough, I just need to wear a suit and tie, it’s easy in Indonesia!’
Faktor Budaya Kolektivisme
Balik lagi ke asusmi sebelumnya: Sifat budaya kolektif juga memiliki faktor besar untuk membuat kita merasa lebih rendah terhadap orang luar. Nyatanya, pola kita hanya mengenal struktur vertikal dengan kasta atas dan bawah. Hanya yang di atas, yang bijak dan sohor berhak menjadi mitra dalam masyarakat untuk melontarkan opini mereka. Contoh simpel: Guru bicara, murid diharap diam. Sebagai pengajar saya pernah mengalami sendiri betapa sulitnya membuat seorang individu nyaman mengutarakan pendapatnya di depan rekan sekelas.
Maka, konten ‘edukatif’ laris manis di wkwkw-land. Para pengajar jadi-jadian (influencer) mengajarkan pelafalan yang baik atas kosa kata bahasa asing: KROSONG, KROASONG, KROASOO (sebenarnya terserah, yang penting lawan bicara ngerti aja). Apalagi kalau konten dibuat oleh bule langsung: Perhatian dari warganet Indonesia dijamin bisa dicuankan.
Budaya kolektivisme menekankan kita untuk bersifat berseragam, dan menyimpatkan ruang untuk menemukan gaya diri sendiri tanpa harus menjadi sorotan satu gerbong kereta. Kita terbiasa mempertentangkan hal-hal remeh-temeh. – Ada yang nonton bokep di cafe, pasti juga ada yang diam-diam mengekspos aibnya si pelaku penonton bokep.
Seketika ada orang mencemerlangkan diri sendiri karena terlihat berbeda, menjadikan perhatian publik lebih terjamin. (Mister, Mister, Poto Mister! Where you prom?)
Faktor Kurangnya Pertukaran Budaya
Pertukaran budaya pada tingkat domestik saja masih cukup minim. Berapakah mahasiswi atau praktisi seni pernah menghabiskan seminggu atau dua di pulau lain? Bayangkan betapa keren andaikata ada program yang memperoleh beasiswa bagi orang-orang muda untuk mengembara nusantara. – Begitu pun dengan pertukaran dan pergaulan mancanegara. Kalau bukan di aplikasi kencan dalam radius Bali, hanya ada satu spot untuk mengobrol dengan orang asing: Kota Tua di Jakarta. Tempat, di mana sudah banyak alumni sekolah negeri dan swasta telah menjadi korban paksaan wali kelas untuk survey bersama bule (Misi, Mester, Mester, Miss! Excuse me! – atau kalau gak kenal kata ‘Miss’, Missnya juga dipanggil Mister).
Budaya kolektivisme kita kelebihan populasi (overpopulation). Niat untuk pertukaran budaya, setidaknya antara seniman atau antara pulau masih belum difasilitasi. Peluang untuk berlatih membangun ‘kepercayaan diri’ seperti diminta oleh Bapak Jokowi cukup terbatas.
You were reading an article from our new rubric 'ACI WITH ACCENT' ...
... in which Marten Schmidt, founder of ART CALLS INDONESIA, reflects within personal opinions on topics related to interculturalism and feelings of belonging. Through ACI WITH ACCENT Marten accentuates with his very own accent, his very own hybrid 'code' and 'Creolian' mix between German, English and Indonesian.
More articles from this rubric: