'Gue ga percaya sama media Barat'
Apakah semua media punya bias? Bahan diskusi dengan banyak pertanyaan terbuka, yang tidak bermaksud untuk membiaskan, namun mengajak untuk mengurai bias masing-masing
ACI
ACI WITH ACCENT – Selepas bangun pagi pada hari ini, saya DM-an dengan salah satu teman yang sedang giat menunjukkan solidaritas pada rakyat Palestina melalui repost dari akun-akun slacktivism. Lantas, dia mengaku tidak terlalu percaya dengan apapun yang dinarasikan media Barat dalam hal perang Israel-Hamas. Yang jelas, teman saya bukan satu-satunya yang bernalar kritis terhadap diseminasi oleh media Barat. Unggahan berita CNN Indonesia dan perusahan media lainnya hampir selalu disusul ucapan keraguan pembaca Indonesia: ‘gak yakin gue mahh ni berita’, ‘jangan terlalu percaya’.
Sebenarnya, tidak masalah jika pembaca tidak percaya dengan sudut pandang editorial di balik berita, atau dengan mutunya validasi berita. Semua media cenderung memang punya bias – atau pendapat.
Perihal perang Hamas-Israel, kekontrasan sudut pandang terpapar secara ekstrem. Media Barat rerata mengacu pada grup Hamas sebagai teroris, sedangkan banyak media berbasis di Indonesia tidak sematkan atribut negatif pada Hamas. Harian Kompas misalnya (salah satu media andalan saya, yang saya juga manfaatkan untuk belajar Bahasa Indonesia dari nol sejak 2020) secara konsekuen menyebut Hamas saja, dan kelompok pejuang bersenjata Palestina. Vice Indonesia (yang merupakan cabang dari media berbasis di AS) menyebutnya gerilyawan. The Jakarta Post merujuk pada ‘militant group’.
Saya sendiri pun sadar akan bias saya
Sebagai penutur Bahasa Jerman dan Inggris, saya sering mengonsumsi analisis media Barat, dalam media TV, koran dan majalah. Sejujurnya, karena penyediaan informasi di Indonesia tidak ekuivalen. Saya sendiri agak males nonton liputan yang dihiasi musik dramatis lebay, banyak efek kelap-kelip dan jedag-jedug, dan interupsi iklan kopi saset setiap beberapa saat.
Baca juga: Kasus bunuh diri diromantisisasi media
Balik lagi ke perang Hamas-Israel. Korban warga sipil di kedua belah pihak terus berjatuhan. Praktik Apartheid yang ditekankan Israel sejak dua dasawarsa akhirnya meledak.
Sekilas tentang 'sudut pandang' orang Arab Saudi
Menurut Tariq Alhomayed, mantan pemimpin redaksi koran Asharq Al-Awsat (Arab Saudi), ketidakstabilan di Timur Tengah tidak bisah dibahas tanpa menyebut kehendaknya Iran:
‘Iran does not want to see real peace, or specifically Saudi-Israeli peace (...). Because if it happens, it will be the peace that will change the face of the region. (...) and the victims, as usual, are the innocent Palestinians, while the leaders of “Hamas” and the factions are in luxurious hotels. The Palestinian cause also found (over the last years) sympathy from European countries; strong support from the Western left; and all of this will disappear amid the pictures and videos that were broadcast as a result of this (Hamas) operation. No one will now dare to speak a word of truth against Israel.’
Hamas, entah disebut grup teroris atau gerilyawan, bertujuan untuk meniadakan Israel dan membangun negara Islam. Hamas tidak memiliki legitimasi demokratis. Agar terus-terang: Sumber informasi tersebut berasal dari Barat. Reuters.
Baca juga: Sponsor untuk para tahanan hukuman mati di Iran
Bagaimana jika ada korban jiwa kebanggsaan Indonesia?
Bagaimana jika salah satu pihak perang menewaskan seorang diaspora WNI baik di Gaza maupun Israel? Apakah opini publik di Indonesia kemudian berubah? Sebagai referensi: Thailand mencatat 12 korban warga Thailand tewas di Israel, dan 11 orang Thailand diculik oleh Hamas (data: Bangkok Post).
Bias di media
Bias atau prasangka membentuk opini kita. Sebastian Partogi, rekan saya dan jurnalis ACI menulis dalam essay 'Why even bother reading, when reading is such a useless activity':
'The only way for us to break through our own confirmation bias is through our own curiosity. We tend to seek out and believe in information which basically reinforces our own belief systems and discard those which challenge them. Let’s say I am anti-capitalist. No matter how many experts or books tell me about the benefits of capitalism, if I don’t consciously seek to go beyond my own biases, I will simply discard these ideas. In the end, I might simply use these opposing ideas to cement the premise with which I entered the conversation, that capitalism is nothing but destructive.
We also have to be aware of the biases or blind spots of the writer of that text, for us to be aware of the limitations of his/her text and remain skeptical of his/her ideas, while at the same time still remaining receptive to the kernel of truth that the author seeks to illuminate. This is important so we do not become impressionable. When we read a text, we have to ask ourselves: where does the writer come from? What is his or her background? What could possibly be his or her political or business agenda? How do all these things, when combined, result in biases or fallacies or loopholes in his or her writings?'
Jika kita mengonversi anggapan Sebastian Partogi pada lanskap media di Indonesia, ada beberapa dinamika yang mendorong timbulnya bias tersebut. Orang Indonesia rata-rata mengonsumsi media ketersediaan gratis – para pengusaha media hanya bisa berlaba atas perhatian kita. Apa yang menyita perhatian secara berulang? Hal-hal yang disukai pembaca. Apa yang disukai pembaca? Konten yang bisa dihitamputihkan secara simpel.
Baca juga: Situasi pekerja media paling buruk di Lampung, Maluku Utara dan Papua
ACI juga kadangkala mempraktik strategi itu. Tajuk liputan kami tentang budaya Bugis dan sosok-sosok dewa ber-gender trans disertai kata ‘LGBT’ dan ‘waria’. Sebenarnya, tak perlu amat, tapi algoritma media sosial juga mendukung bias pembaca. Cerita yang didengar adalah cerita yang mengumpani pembaca.
Lagi pula, dunia media bukan hanya sekadar akuarium kecil. Setengah abad yang lalu, pembaca yang penasaran mungkin hanya tersedia berita terbarunya dari satu atau dua sumber secara terbatas, sehari sekali. Sekarang, apapun bisa diakses dari mana pun. Suara atau opini editorial dan institusional adalah hal penting, guna menciptakan identifikasi dan konsolidasi sesama orang senada.
Baca juga: Jangan diperhalus: Ngomongnya 'rudapaksa', maksudnya 'perkosa'
Berita enteng
Teman saya yang mengaku ragu percaya dengan pemberitaan media Barat sebenarnya bisa memilah sendiri berita yang layak dipercaya dan yang tidak. Caranya simpel, tapi memakan waktu: Dengan membaca sebanyak mungkin artikel dari beragam sumber. Mungkin memang terlalu susah menavigasi dalam kelautan berita yang masing-masing membawa agenda tersendiri. Mungkin itulah alasan banyak anak muda di Indonesia malah lebih getol membaca berita enteng dan berupa clickbait saja (ala kadar 'Momen anak kucing loncat dari lantai 5' atau '100 hari lagi sudah Tahun Baru').
Bisakah kita secara 100 persen percaya media lokal? Semakin luas pandangan kita, semakin... setidaknya semakin kita sadar akan bias dalam pendapat kita.
Pada umumnya, peliputan media berfokus pada kontekstualisasi peristiwa kontemporer berpotensi mengubah sejarah (seperti sekarang di Gaza dan Israel), bukan sekadar mewartakan insiden kronik (kecelakaan motor).
Ada banyak peristiwa yang kurang di-kontekstualisasi oleh media di Indonesia, walau sama-sama layak disoroti seperti nasib kaum Palestina.
Myanmar? Berjarak lebih dekat dengan Indonesia daripada belahan dunia Barat. Namun, kepasifan pemerintah Indonesia untuk menamakan sosok-sosok pelanggar HAM di Myanmar kurang diwacana dalam media lokal. Pada kesempatan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pun beberapa waktu lalu, hal yang paling disoroti media lokal bukan ketidakhadiran Myanmar, namun bagusnya lampu-lampu kelap-kelip kala acara makan malam para petinggi ASEAN di GBK.
Baca juga: Q&A seputar Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN dan kunjungan Kamala Harris
Timor Leste? Bagaimana pemilu tahun depan dapat berkaitan dengan masa gelapnya Indonesia sebagai agresor di Timor Leste? If you know what I mean, you know what I mean.
Myanmar dan Timor Leste jarang diperhatikan media (bias) Barat. Namun juga jarang diperhatikan media (bias) lokal, walau berkaitan langsung dengan kita secara politis dan historis. IMHBO, in my humble biased opinion.
(Marten Schmidt, 10.10.2023, Art Calls Indonesia)
ACI WITH ACCENT (Opinion column) – The only media column in Indonesia covering all things intercultural. In ACI WITH ACCENT Marten as the initiator of ART CALLS INDONESIA reflects in personal opinions on topics related to interculturalism and feelings of belonging. Through ACI WITH ACCENT he accentuates with his very own accent and oscillates between perspectives from varying sides. He speaks and writes in Indonesian as his third language, after German and English. ACI WITH ACCENT is the only rubric on ACI not proofread by any ‘native’ editorial colleague. If there happen to be any grammatical typos or syntactical mistakes it’s part of the raw accent and the linguistic logics of a foreign speaker.
ACI WITH ACCENT is one of the most read and most controversial rubrics on ACI, holding up a mirror to readers and questioning what contemporary Indonesianness could be.
Follow the Marten on Instagram