Apakah generasi muda di Indonesia insaf akan demokrasi seperti penduduk muda Thailand?
Generasi muda di Negeri Gajah Putih berhasrat bisa hidup dalam tatanan demokrasi tak kalah dengan Indonesia. Sedikit lebih mujur, anak muda di Tanah Air tak perlu memafhumi lagi susah payahnya perjuangan demokrasi 25 tahun silam. Menjelang 'pesta demokrasi serentak' pada 2024 kelak, bagaimana dengan Gen Z dan Milenial di Indonesia? Pada polos, bandel atau masa bodoh terhadap maslahat demokrasi?
Art Calls Indonesia
Kolom Opini ditulis dan dilaporkan dari Bangkok, Thailand
Kendati tatanan politiknya sarat kacau, generasi Milenial dan Gen Z di Thailand kian bersama-sama memanuver salah partai paling progresif pada peringkat #1 melalui perolehan suara dalam pemilu Thailand (14/05). Sadar akan betapa berharganya hak pilih mereka, generasi muda di Thailand menyalurkan pesan lantang pada aparat militer yang tidak hanya menjaga kedaulatan negara, namun tamak akan kekuasaan; ikut campur tangan dalam urusan politik pun di Thailand.
Tak disinggung lagi oleh ikhtiar susah payahnya para aktivis 98, generasi muda di Indonesia rupanya bisa absen saja dari keribetan demi demokratisasi. Golongan Gen Z dan Milenial Negeri Gajah Putih melek pada tatanan demokrasi yang sudah kita menganggap b aja di Indonesia.
Tertinggal dalam kualitas hidup, unggul dalam mutunya demokrasi
Berkelana lintas Asia Tenggara dan mengunjungi pusaran urban seperti Kuala Lumpur atau Bangkok, secara otomatis akan muncul suatu pikiran yang mengusik benakmu, sehingga tak bisa dipungkiri: Kenapa sih Jakarta tertinggal banget dibanding ibukota lainnya di kawasan ASEAN? – Dalam mutunya kehidupan warlok dan penataan kota yang lestari. Tumpukan sampah berserakan, masih dibakar sembarangan di pinggir jalan. Warga kota yang sadar akan bahayanya partikel-partikel plastik, sudah terlatih menahan nafas saat melewati bau kebakaran bungkusan styrofoam. Dalam ruang publik, kasta paling miskin rupanya hanya tampak di depan lampu merah di sela mobil-mobil SUV. Jakarta sudah terkenal di seluruh dunia sebagai gelagat kota yang dicap paling fail, berkat gagal menyelamatkan ibukota dari ketenggelaman.
Karya oleh Zillv, seniman visual asal Thailand | Foto: Art Calls Indonesia
Bagaimanapun, walau Jakarta baru punya setengah koridor MRT saja, namun jutaan pengemudi mobil abal-abalan, kota ini adalah monumen progresif. Lokus demokrasi paling sejati di Asia Tenggara. Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja, Laos, Filipina, Myanmar dan Thailand – semua sungguh bukan negara yang bersifat demokratis murni pada asasnya.
Tautan ini memperlihatkan seorang pria mengenakan topi bertulisan Nokia dan mengibarkan bendera Indonesia. Gaya pria tersebut, yang sekarang mungkin sudah berusia nyaris 50 tahun, tampaknya bagi saya bak anak muda yang suka thrift shopping dan biasa ditemui di Pasar Santa di Jakarta Selatan. Kalau tidak diingatkan di media sosial melalui foto-foto ‘lawas’ dan template desain Canva, siapakah tersadar bahwa Reformasi 1998 sudah berulang tahun ke-25 pada bulan Mei ini. Tepatnya pada 21 Mei 1998 Soeharto lengser dari jabatan presiden. Sudah seperempat abad yang lalu.
Buah reformasi 1998
Generasi saya baru ‘mbrojol dari rahim ibunya di ranjang persalinan’ (Butet Kartarejasa) tatkala Soeharto dituntut turun dari jabatan yang ia mencengkram selama tiga dekade. Lantas, generasi saya baru mulai mengembangkan kesadaran politik tatkala Indonesia sudah dikendali empat nahkoda pilihan masyarakat sipil. Golongan Gen Z pun, dari jaman mereka belum puber hingga sekarang, baru kenal dengan era presiden Jokowi saja. Kita-kita baru hadir di dunia yang hopeless ini beberapa bulan atau tahun menjelang/usai generasi sebelumnya sudah mendorong pengejawantahan demokratisasi Indonesia.
Para aktivis 98 kini sudah berumur menuju 50 tahun atau lebih. Mereka pernah mengalami bekukan polisi berkat memakai stiker dengan tulisan ‘Saatnya Soeharto Berhenti’. Aksi-aksi sepele itu sudah mengakibatkan ancaman penjara bertahun-tahun– jika reformasi pada waktu itu tak kunjung datang.
Hanya saja, koneksi pada generasi penerusnya rupanya kurang dibangun.
Sumber: Wiki Commons / BBC
Beberapa aktivis dari zaman dulu masih mengamalkan idealisme mereka. Berlangsung di ITC Fatmawati (Jakarta Selatan) hingga Juni besok, segelintir seniman generasi kelahiran 1960-70an sedang mengadakan pameran seni untuk mengenang reformasi 98. Hanya saja, koneksi pada generasi penerusnya rupanya kurang dibangun. Lantaran pameran tersebut tampaknya tidak mencari eksposur di laman-laman media anak muda, saya sendiri pun hanya dapat infonya karena kerutinan menelusuri berita event seni sampai ke pelosok internet.
Padahal seni itu patut menjadi muara (mini) untuk pendidikan alternatif; nokta merah (mini) dalam kehidupan penuh norma yang harap dipenuhi anak muda; selasar (mini) untuk membayangkan hal-hal utopis dan nyeleneh.
Thailand masih dikuasai militer yang bersangkutpaut dengan monarki. Generasi muda berhasrat mengubah sistem patronase lama
Sebagian masif dari masyarakat (muda) Thailand memilih untuk menghendaki penegakan demokrasi. Dukungan pada tata progresif itu ditunjukkan dalam pemilihan umum Thailand (14/05) dengan memberikan suara kepada dua partai oposisi, yang ingin menyingkirkan dominasi militer dalam politik. Kedua partai pro-demokrasi itu memimpin perhitungan suara (yang baru akan diresmikan dua bulan usai pemilu) dan memiliki basis dukungan yang tumpang tindih.
Pita Limjaroenrat telah memanuver partai bernama 'Move Forward', yang ia ketuai, pada peringkat satu dalam pemilu di Thailand (14/05) | Sumber: Thailand Postsen
Pita Limjaroenrat telah memanuver partai bernama ‘Move Forward’, yang ia ketuai, pada peringkat satu dalam pemilu Thailand kemarin. Pita baru berusia 42 tahun dan menyebarkan esprit, ketulusan dan semangat dalam agenda liberal ia tawarkan; termasuk mereformasi undang-undang ‘Lese Majeste’ yang melarang penghinaan terhadap monarki, serta mereduksi kebebasan berekspresi di Thailand secara ketat.
Berangkat dari gelombang demonstrasi tiga tahun lalu, yang sempat mempertanyakan kemaslahatan monarki, generasi muda Thailand telah membawa medan pertempuran politis pada urgensi untuk mereformasi sistem negara dan konstitusi. Dengan kemenangan partai-partai pro-demokrasi, Thailand berada di sebuah persimpangan: Apakah militer tetap merangkap ranah politik – atau suara masyarakat sipil akhirnya hendak dihormati. Tersandung dalam sistem politik nan ruwet, kemenangan kedua partai oposisi tersebut belum berarti mereka akan menaikkan tampuk kekuasaan. Petahana yang saat ini masih berkuasa selaku Perdana Menteri berkemungkinan dapat merampas ‘mandat sipil’ partai Move Forward, dan melanggengkan ‘politik lama’ dengan dukungan militer.
Suara masyarakat muda Thailand berkumandang. Para seniman muda dan bahkan tempat hiburan seperti kelab malam turut berekspresi dalam pertarungan politik ini.
Aksi seni di Bangkok, Thailand yang dipadukan dengan 'slacktivism' untuk menguntarakan pesan humoris. Dibagi oleh akun Instagram kelab malam 'Mischa Cheap'.
Segelintir aktivis Thailand di depan Bangkok Art & Culture Center, Bangkok, Thailand | Foto: Art Calls Indonesia
You have slayed an enemy
‘Cinggg – an enemy has been slayed!’. – Semboyan ini sudah akrab di telinga, kalau kamu bermain Mobile Legend. Kalau diminta pendapatnya generasi boomer pada hari-hari besar kenegaraan terhadap anak-anak Gen Z, jawaban massa mungkin bisa diringkas dengan ‘pecandu main game’ dan ‘pemalas’.
Para 70 hingga sekitar 80 juta penduduk di Indonesia yang tergolong dalam skuat Gen Z, yang mungkin baru putus sekolah atau sudah melamar kerja sana-sini, menjadi kelompok paling besar secara usia di Indonesia. Mereka dipersilakan berturut dalam game nyata. Dipanggil kerja; di-lay off; ngojek; bini sakit; gak punya BPJS; handphone dijual; kalau gak ngekos di tengah-tengah kota, sampe tua terpaksa commute naik KRL dari ujung ke ujung; dorong-dorongan dengan ribuan penumpang lainnya, yang stuck dalam roda yang sama.
Apakah permintaan generasi muda pada politik demi perbaikan kehidupan mereka?
Berbeda dengan Thailand yang memiliki medan demografi di umur lebih maju, Indonesia didominasi pemilih muda. Demi urusan ekonomi nasional, keunggulan nominatif itu kerap menjadi bahan promosi betapa manjur dan ampuh SDM Indonesia. Namun, apakah overhang persentase anak muda itu juga bisa menjadi senjata pamungkas untuk memajukan negara ini secara politis dan sipil?
Gak tau. Artinya apa, bang Messi? Kemampuan menafsirkan peruntukan berita dan literasi digital masih tidak terlalu tinggi di Indonesia. Kita cenderung membaca berita di akun tuyul di Instagram dan terpancing dalam aduan siapa-yang-beritakan-duluan antara si akun-akun tuyul itu. Folkative dan kawan-kawan sudah berlomba. Pengetahuan kita tak berekspansi dari satu topik per minggu. Linglung. Minggu lalu masih Coldplay, sebelum itu ‘Bima si anak Lampung’.
Bahan bacot
25 tahun setelah reformasi, jauh dari masa lampau di mana jurnalis hanya bisa menjadi jurnalis kalau gak bandel, apa saja yang dicapai dalam mencerdaskan publik? Keterbukaan akses informasi, senjata sipil dari bangsa yang melek kebenaran, kian paling digunakan untuk mengamalkan tekanan viral pada penguasa. HARUS DIVIRALIN DULU. Jika tema yang dibicarakan tak cocok diviralkan, berkat kurang emosional, kurang gila, dan kurang mampu menerobos toleransi kita yang semakin luas pada hal-hal ajaib, maka temanya tidak eksis.
Kalau ingin nge-slay seorang lawan, katakan saja sok tau lu!
Media sosial adalah satu-satunya tempat untuk orang biasa bisa membagi pendapat, walau hanya di bawah postingan berbayar oleh para influencer. Di internet kita bacot, tapi dari sekolah pun kita masih menerapkan pola lowkey. Kalau ingin nge-slay seorang lawan, katakan saja sok tau lu! Karena ketenaran, tabungan sang papi, umur dan kasta menentukan seberapa bernilai opini Anda.
Saban lima tahun menjelang pemilu capres
Presiden RI Joko Widodo dan kasta papan atas pejabat RI dijuluki ragam nama panggilan lucu dan sadis. King of Lip-Service ataupun Lord Luhut. Hanya kadangkala saja, jika olokan pada pejabat dan kerabat mereka yang sedang berkuasa sudah dianggap terlalu bengis, atau sebuah pesan dituju pada demigods tertentu yang tak mempan menerima kritik, barulah keterbatasan kebebasan berekspresi di Indonesia disorot kembali.
Foto Irana Jokowi dan Ibu Negara Korsel sempat menjadi meme | Foto: Screenshot Twitter
Hari ini kita bisa menghirup udara kebebasan, kita merdeka dalam berpikir, lumayan merdeka dalam berkesenian (asal gak terang-terangan amat, dan pandai menopengi kritik dalam bahasa sandi). Kawan-kawan di Thailand tak memiliki kebebasan yang kita miliki. Kritik dan candaan halus atau konyol pun terhadap monarki Thailand, ya bahkan pada anjing peliharaan sang raja, bisa mengantarmu langsung saja ke hotel prodeo. Dengan hukuman penjara selama puluhan tahun.
Indonesia sudah tidak beraroma tentara, tidak dikendali nomenklatur dwifungsi. Namun, negara dengan kian banyak penduduk muda ini dikuasai generasi boomer yang jagonya main politik identitas saja (piala sepak bola U20). Sekalinya ada anak muda hadir dalam permainan politik, yang pasti adalah dia itu anak siapa gitu. Menyambut priayi paling anyar: Anaknya Puan Maharani dan Ahmad Al Ghazali. Gimana gak mau mager soal pengembangan mutunya politik dan keikutsertaan sipil, walaupun demokrasi kita masih jauh dari level yang OK.
Berinisiatif swadaya
Aspirasi generasi muda di Negeri Gajah Putih sudah mengendarai suksesnya salah calon Perdana Menteri yang berdarah muda, dan telah mengalahkan kandidat senior lainnya. – Aspirasi anak muda Indonesia tampaknya perlu diartikulasi dan dibenahi terlebih dahulu sebelum ada yang bisa mewakilinya dengan penuh karisma.
Lebih dari 100 tahun yang lalu, segelintir pemuda-pemudi Hindia Belanda mendirikan organisasi 'Pemuda Boedi Oetomo' untuk memajukan pendidikan orang pribumi. Beberapa anggota kemudian mendirikan gerakan 'Indische Partij'. Salah satu contoh proyek edukatif masa kini yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan generasi muda tentang urusan politik Indonesia adalah Bijak Memilih. Hadir menjelang pemilu tahun depan, inisiatif tersebut menyediakan semacam kompas seputar agenda yang dibawa masing-masing partai politik.
Seandainya anak muda dari keluarga biasa saja juga bisa menjadi sosok-sosok 'inspiratif' seperti Maudy Ayunda, yang katanya menjadi sukses karena rajin bangun pagi.
Trik-trik politik identitas
Terlepas dari agama dan domisili, potensi guncangan yang bisa membuat orang muda atau keluarga muda jatuh miskin, kian bertambah banyak. Lapangan kerja, inflasi, kesehatan dan perubahan iklim, dan penuntasan korupsi merupakan hanya beberapa saja antara banyak perkara yang menghalangi kehidupan generasi pendatang baru.
Seandainya ada partai yang benar-benar mewakili generasi muda dan kebutuhan mereka, maka bukankah partai idealistis itu semestinya sukses di negara dengan mayoritas anak muda ini?
Seandainya PSI bisa berjiwa progresif dan bernas, seperti gerakan Move Forward di Thailand, bukankah akan timbul potensi untuk lekas meluas dan memperoleh lebih banyak suara?
Seandainya ada partai yang mengaktivasi generasi muda untuk bersama-sama mendorong lompatan agar kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan meningkat?
Seandainya ada partai yang tak melanggengkan nepotisme.
Seandainya ada partai yang tak memanen klan sendiri demi meraup kekuasaan saja dengan trik-trik geneologis.
Seandainya ada partai yang tidak hanya cari interaksi dengan masyarakat saat berkampanye saja.
Seandainya ada partai yang tak punya kader sibuk berggandeng dengan influencer demi… – untuk apa sih sebenarnya?
Seandainya kebinekaan berarti, terlepas dari status orang tua dan asal kita, semua anak bangsa bisa mengakses kualitas pendidikan yang setara.
Seandainya ada partai tanpa kubu-kubu oportunis berpaling untuk bersiap-siap lompat pada bandwagon politik identitas.
Seandainya anak muda dari keluarga biasa saja juga bisa menjadi sosok-sosok ‘inspiratif’ seperti Maudy Ayunda, yang katanya menjadi sukses karena rajin bangun pagi.
Seandainya Reformasi 98 merupakan lebih dari urusan usang. Tetapi, persepakatan antar-generasi untuk bersiap lari maju mengejar ketertinggalan negara ini.
Sumber: Mischa Cheap / 'Dudesweet' melalui Instagram
Udah ah, terlalu abstrak
Apa yang dicapai masyarakat Thailand melalui pemilu kemarin adalah substansi abstrak. Mempersandingkan demi masa depan yang lebih progresif.
Kita-kita generasi muda di Indonesia tak perlu berikhtiar lagi untuk mengerti cetusan dan zat-zat abstrak itu. Dari generasi batch Sumpah Pemuda hingga generasi batch ‘98, mereka yang sudah melancarkan jalannya bagi kita. Pemuda-pemudi Thailand tentu iri dengan hal-hal yang sudah tersumpah dan ditarungkan di Indonesia, sedangkan generasi muda di Negeri Gajah Putih itu masih menghadapi kegoyahan politik yang jauh dari keadilan.
Syukurlah, kita tinggal di negara yang tidak renyah total, tanpa penguasa yang tak melengser (walau sempat diwacana), di mana kebebasan berekspresi setidaknya memberi cukup oksigen intelektual untuk nafas dalam ruang-ruang tertentu.
Orang Indonesia konon suka numpang berbangga dengan prestasi individu lainnya. – Jika ada yang keterima kuliah di sepuluh universitas di luar negeri dan tak enggan memamerkannya, rupanya satu negara ikut bersalut di media sosial. Timnas bocah U11 sepak bola sekali menang – Jalan Sudirman kemudian macet total imbas arak-arakan ribuan fans.
Bagaimana dengan perjuangan kolektif generasi sebelumnya? Nyawa reformasi, kesadaran atas keunggulan kita punya di dalam ASEAN, langkah mula yang diperjuangkan oleh generasi sebelumnya dan seyogianya terus ditekuni, lembaga-lembaga hasil reformasi, demokrasi. Bla bla bla. Abstrak. Artinya apa bang Messi?
Tema-tema bercampur agama atau orientasi seksual kerap menutupi perkara-peraka real. Realitas kadangkala tampaknya lebih abstrak untuk dipahami.
(Demi kejernihan jurnalisme di papan media mini ini: Teks ini ditulis dari bayangan lugu saya. Saya sendiri tak boleh ikut nyoblos di Indonesia. Anggap saja saya pengamat hobi-hobian. Ikutan sok-sokan saja. Panggil saya buzzer liberal, yang melamun tentang demokrasi di seantero ASEAN. Cinggg! I have been slayed!)
ACI WITH ACCENT is the only media column in Indonesia covering all things intercultural. In ACI WITH ACCENT Marten Schmidt as the initiator of ART CALLS INDONESIA reflects in personal opinions on topics related to interculturalism and feelings of belonging. Through ACI WITH ACCENT he accentuates with his very own accent and oscillates between perspectives from varying sides.
He speaks and writes in Indonesian as his third language, after German and English. ACI WITH ACCENT is the only rubric on ACI not proofread by any 'native' editorial colleague. If there happen to be any grammatical typos or syntactical mistakes it’s part of the raw accent and the linguistic logics of a foreign speaker.
'Non-natives' usually take up other roles in the Indonesian media industry (being influencers, becoming models, actors, etc). The only media platform we know of hosting journalists with autodidactically acquired Indonesian language skills is the Germany-funded Indonesian version of the 'Deutsche Welle'. ACI WITH ACCENT is one of the most read and most controversial rubrics on ACI, holding up a mirror to readers and questioning what contemporary Indonesianness could be.