Takluk pada native speakers: Ruwetnya belajar bahasa asing
Art Calls Indonesia punya rubrik baru berjudul ACI WITH ACCENT. Di sini kami menonjolkan sesuatu yang pada awalnya menjadi keresahan Art Calls Indonesia sehari-hari: Yaitu 'aksen' sang pendiri. Sebagai foreigner, ia mencoba untuk berjodoh dengan identitas Indonesia dan menggenggam Bahasa Indonesia tanpa ragu bercerita dengan aksen (kental)!
The Author, Art Calls Indonesia
ACI WITH ACCENT #1 | FYI: Teks ini mengandung sarkasme.
Hari ke hari, aku mencoba untuk sedikit ‘brain jogging’ dengan meluaskan arsip kosa kata Bahasa Indonesia ku. Ketika membaca berita, kadang aliran bacaku terhenti karena menemui istilah-istilah yang bagiku terdengar ajaib, sehingga aku langsung menyelidiki di internet. Sayangnya, kosakata yang bagiku anyar itu lazim tak tertumpang lama dalam benakku. ‘Malapetaka’ adalah salah satu perumpamaan kata yang lumrah membuatku penasaran mencari maknanya di KBBI. Rupanya jarang dipakai, kata-kata seperti itu rentan amblas, sehingga yang tersisa di ingatanku menjadi ‘makapelapa atau ‘peta melaka’.
Begitupun dengan kata-kata yang tidak berbunyi amat leksikal. Tidak hanya cepat aku bisa terpeleset kalau diajak menghafalkan pembelit lidah, bagaikan tongue twister aku juga sering tersedot dalam momen-momen patut ditertawai ketika berbicara dengan orang Indonesia. Aku sudah pernah memesan ‘jus apulkat’ dan sungsang meminta ‘teh kucup’ di warung, dan pernah bingung karena pelayan ala kadar menahan ketawa.
Cikini Cah Jambret
Pada tahun pertama aku pindah ke Indonesia, aku tiba dengan kenaifan bisa menjajal kekokohan ku untuk bermukim di Jakarta. Aku menapak tanah Indonesia tanpa mampu berbicara bahasa yang domestically universal ini. Bahasa Inggris ku juga gak gimana-gimana, sehingga banyak dialog dengan penutur Bahasa Indonesia hanya aku membalas dengan ‘oh ya?’, ‘mmmh…’(nada naik sehingga fading), dan ‘hehe’. Ternyata cukup variatif dan takzim untuk mengisi bicaraan dengan tukang ojek saat dibonceng dari Cikini ke Thamrin. – Kedua kawasan yang dulu aku kerap kunjungi, sebelum kenal ‘Jaksel’.
Kala itu Cikini belum nampak dengan begitu tertata dan hijau seperti hari ini. Trotoar belum ada, terkecuali dua puluh meter jalur terubin dari kedai Tjikini sampai Bakoel Koffie. Disitu lah, selepas ngopi di dalam etalase kedai kopi, sembari memandang ondel-ondel dan tukang roti keliling lewat, HP ku (yang baru kubeli) dijambret. Usai segelintir detik dalam shock, aku berusaha melafalkan apa yang baru saja terjadi pada orang-orang di sekitar. Bodohnya, aku belum mengenal istilah ‘jambret’, ‘maling’ ataupun ‘tolong’, sehingga aku melompat-lompat di bahu jalan dan berkoar-koar abstrak dan bisu bak manusia purba.
Pengembaraan smashing
2023 menjadi tahun kelima dari pengembaraan aku di Indonesia. Jangan tanya kerjaanku apa karena ala kadar praktisi seni pada umumnya, tiada penyebutan jelas dan smashing yang bisa ku sematkan, seperti contohnya ‘dokter kulit’ atau ‘pilot pesawat tempur’. Tanpa menyuguhkan terlalu banyak detail, intinya sanak saudaraku berasal dari indonesia
FAQ santun dan bermarwah
Salah satu FAQ yang sering aku terima menjurus ke persoalan perbedaan budaya. Apakah aku pernah merasakan culture shock? – Kaget dengan hal-hal yang bagi orang lainnya niscaya? Of course! Bukan aku saja sebagai perantau kelahiran Eropa, tentu semua yang berpindah ke penjuru kota manapun akan terkena fenomena culture shock. Bagi ku, setiap zebra cross di Jakarta menjadi tempat peraduan antara pejalan kaki dan pengemudi mobil yang tak selalu bersantun dan bermarwah.
Aku tidak merasa bertikai dengan pengemudi nekat, akan tetapi dengan hasil buah pikiranku: Masa iya kodratnya orang mau lewat aja pake permisi-permisi nunduk pala, tapi kalo pejalan kaki mau nyebrang jalan, pengemudi mobil cuek aja, sengaja mau nabrak? Masa harus make telapak tangan kayak mau mengawal kelas anak SD?
Dari situ aku belajar tentang budaya kolektif – anasir sosial Indonesia yang tak aku kenal dari Eropa. Untuk si pengemudi mobil di balik kaca yang tergelapkan tidak ada kepentingan mengerem untuk pejalan kaki anonim. Fenomena ‘kolektif’ lainnya yang tampak aneh bagi ku adalah budaya konsumerisme di kalangan berduit Jakarta. – Atau lebih tepat, kehampaan budaya tersebut, di mana konsumsi menjadi sebuah keunggulan. Apa yang setala antara para pewaris harta, kaya baru ataupun old money rich? Hanya saja kemampuan ekonomis mereka yang menuntun mereka untuk sebuah kecemburuan konsumtif, sehingga kota gemerlap ini memperlihatkan banyak sekali mobil SUV mewah di ruang publik. Jika ada yang bisa memberiku satu pun alasan saja apakah gunanya memakai mobil SUV di kota sempit ini, akan ku mencarik-carik lalu membakar kartu busway ku.
Adegan yang tentu tidak asing bagi warga Jakarta (Foto: Author)
Kembali ke bahasan culture shock, sekian saja benda percontohan yang membuatku bertanya WTF. Terkadang aku masih mencengangkan hal-hal subtil seperti itu.
Losmen Syariah
Pada kala aku masih TK, ibuku pertama kali membawa ku ke Indonesia, mengenalkan ku dengan kekhasan atar AC kamar losmen Syariah tanpa jendela. Sayangnya, ia tidak mengenalkan ku dengan Bahasa Indonesia. Keadaan yang nantinya ternyata menjadi kelemahan ku.
Kita menghabiskan waktu libur musim panas di Jakarta, kota asal ibuku. Ketika ibuku, si perantau interkontinental, tiba dengan sang putra baginda, semua anggota keluarga kami ibaratnya menjadi tukang cuci piring dan pengawal kami. Masih tersimpan dalam kotak-kotak foto jadul, terlihat kami naik delman di Monas, nongkrong di Dunkin' Donuts Jalan Sabang dan makan di Mekdi Sarinah, yang masih hingga circa 2019 merupakan majelis dengan harga terjangkau bagi para disiden pola society ‘normal’.
Mabar
Bocah semua bangsa … kalau mereka mabar pasti seru-seru aja. Terlepas dari bahasa ibu, anak-anak kecil lancar berkomunikasi dan belum menyadari tembok imajiner antara orang dewasa. Serasinya, aku sibuk bermain dengan anak-anak tetangga usai dibelikan stetoskop plastik oleh ibu. Dengan mengenakan stetoskop mainan itu, aku memeriksa semua gadis dari gang kami. Pantas, aku kerap dipanggil nakal.
Terkadang, ibu masih suka mengenang masa lalu ketika aku masih menjadi travel buddy antar-samudra dia. Bagi aku, kenangan kami tentang menghabiskan masa summer time di Jakarta (udah mau kayak lyrics lagu ‘High School in Jakarta’) tersimpan sebagai mitologi, terisi oleh ansambel keluarga Indonesia kami dan para kerabat ibuku – tokoh-tokoh autentik yang sesekali ibu kisahkan.
'Medical Check-Up' (Foto: Author)
Ramayana sudah hilang
Beberapa hari lalu aku menapak tilas di Jalan Agus Salim, biasa disebut Jalan Sabang, di Jakarta Pusat. Tumpangan kami pada masa lalu, seperti kedai Dunkin' Donuts, sudah tidak ada. Begitupun toko belanja Ramayana. Suguhan suasana masih lekat dalam ingatanku: Papan-papan pudar yang memperlihatkan model-model dari awal 2000an. Dan musik dangdut berbunyi nyaring, mempermanis pengalaman membeli stetoskop plastik.
Mengingat sebuah aroma atau karakteristik khas masa lalu, Linda Christanty dalam buku ‘Don’t write that we are terrorists’ juga mencatat pengalaman serupa: ‘My grandfather never missed any of his five daily prayers and went to the mosque every Friday. I'm not sure why, to this day, whenever someone says "Friday," I smell my grandfather's perfume. Don't think it was Salvatore Ferragamo or Hermès. He always bought it at the market near his home.’
Menjadi selebgram
‘Orang Indo pengennya bisa tinggal di Eropa, kamu malah mau tinggal di Indonesia, gimana sih? Panas. Macet. Banyak orang.’ – Layaknya sebuah aksioma bahwa semua orang Indonesia cenderung ingin berpindah ke negara maju, kerap aku ditanya mengapa aku memilih bermukim di negara ter…– semi-maju. Sebenarnya hanya ada satu cara untuk meloloskan diri ku dari pertanyaan tersebut: Menjadi selebgram. Anak-anak blasteran yang muncul di skena media hiburan, berciri jumawa dan tidak menyamarkan kepamrihan mereka, pasti tidak terkena pertanyaan tersebut.
Hasratku untuk melanglang Indonesia berakar pada kebingunganku terhadap suatu pertanyaan yang pada masanya akan mengusik benak semua remaja: Siapakah aku? Dan dalam kasus ku: Ada berapakah versi dari aku?
Sarah Sechan
Circa 2016, waktu aku baru beranjak dunia dewasa kulon, dan NET TV masih merupakan media papan atas, aku sering menonton acara Sarah Sechan di YouTube. Begitu, aku ternganga melihat bintang tamu bule jago berbahasa Indonesia. Sebagai anak kelahiran akhir 90an, kelahiran di sebuah kampung terkawal gunung-gunung di tengah-tengah Eropa – pada tempo dunia ini belum terglobalisasi – aku dibesarkan hanya dengan Bahasa Jerman. Tepatnya, Bahasa Austria yang semacam merupakan cabang dialektik teranaktirikan dalam naungan Bahasa Jerman.
Mendengarkan ibu teleponan dengan sanak keluarga di Indonesia jaman masih biasa menggunakan kartu prepaid, telah menjadi momen-momen mimesis bagiku. Momen-momen, yang dari kecil sudah mengenalkanku dengan melodika dan onomatopoeia Bahasa Indonesia. ‘Duit’, ‘gue’, ‘yaudah’ antara lain merupakan snippets yang telah ku kenal.
Masa remaja, harapan klandestin itu untuk dapat meluaskan identitasku semakin bertumbuh. Aku berimajinasi bisa punya teman-teman di Jakarta, berimajinasi bisa mengelilingi mall dan mempunyai pacar cantik. Aku mengisi ratusan helai dengan pikiranku yang telah basi dalam benakku. ‘If / If only / If I were’ adalah kata-kata yang menusukku waktu itu, dan menjadi kasau dari karya-karya ku.
Amfibi
Sebagai pengarang naskah teater, aku waktu dahulu getol mengikuti lomba dan festival teater untuk mementaskan karya tulisku. Terpenetrasi dengan pikiran-pikiran interkultural, naskah-naskah ku membahas segala versi kisah coming-of-age dari sudut pandang universal para anak imigran hingga third-culture-kid. Dalam teater, aku menemui ruang aman untuk ‘mengindonesiakan’ identitas barat ku semacam hewan amfibi yang tidak bernegara di hanya satu tempat saja. Sayangnya, walau mereka telah menyaksikan pentas gagasan-gagasan ku, orang tua ku kala itu tidak mengerti maksud yang ku pentaskan, sehingga pada satu momen aku bertanya pada ibuku mengapa dia tidak izinkan aku tinggal di Indonesia.
Kenapa –
Karena kamu bukan orang Indonesia –
Kenapa –
Karena kamu ga bisa Bahasa Indonesia –
Ya kenapa, coba –
Karena kamu ga pernah belajar –
Kenapa –
Yaudah, kamu kursus aja dulu –
Kenapa –
Karena kamu ga pernah minta ibu ngajarin Bahasa Indonesia –
Kenapa –
Baru sekarang kamu pengen belajar Bahasa Indonesia, seharusnya udah dari dulu –
Kenapa –
Ya ide bodoh itu kamu mau tinggal di Indonesia –
Kenapa –
Karena di Indonesia bahaya, nanti kamu salah pergaulan, narkoba –
Kenapa –
Bahaya, nanti dipenjara –
Kenapa –
Karena kamu bukan paspor Indonesia –
Kenapa –
Karena kamu bukan orang Indonesia –
Kenapa –
Seharusnya udah dari dulu kamu pegang paspor Indonesia –
Kenapa –
Gimana mau tinggal di Indonesia tanpa paspor sana –
Kenapa –
Kalo ga, ya harus nikah sama orang Indonesia –
Kenapa –
Biar bisa tinggal di Indonesia, cari cewe dulu.
Aksen sexy
Menurut teman-teman ku, aku memiliki aksen ketika berbicara Bahasa Indonesia. Sayangnya logat ku bukan sekirana dan elegan selaras laki-laki Perancis dan juga tidak sesexy aksen Bri’ish. Melainkan, aku katanya berdialek lebih medok dari orang Jawa dan lebih kental dari orang Batak. Logat ku sering sekali menjadi bahan tiruan kawan-kawanku. Mendengar ejekan yang terlontar dari mulut teman, aku pun geli. Caranya aku berbicara serta berpikir dalam Bahasa Indonesia senantiasa dituturkan dengan sedikit nada kekhasan Jerman. Menurutku, aksen paling tidak seksi karena berbunyi kebal dalam setiap vokal terucap.
Tapi, aku tidak malu bertutur kata dengan aksen. Yang penting bisa ngomong, ya kan? Bagiku, Bahasa Indonesia ibaratnya masih seperti suatu mapa–.. paka–… MALAPETAKA! Tidak otomatis aku terlahir ahli dalam bahasa ini, masih merangkak untuk menggenggam bahasa ini.
Pakai feeling
‘The mother tongue is as natural as a walk, the foreign language as difficult and artistic as a dance.’ – Kata pengarang asal Slovenia Ana Marwan. Oh yes, I second that! Kurangnya arsenal kosakata dalam bahasa asing terkadang bisa menjadi keunggulan sang mitra penutur bahasa. Menyusuri arti setiap kata, tiada yang terbukti dan niscaya. Malahan, banyak blunder. Saat menulis, aku harus meraba-raba setiap istilah sampai menjadi bagian dari tulisanku, walau kadang masih aku tidak sadari makna tepatnya dan hanya memakai feeling saja. Bersama penuntunku, leksika KBBI, aku menyiasat hierarki, relasi, antagoni dan disharmoni di dalam benak ku antar semua bahasa yang ku fasih.
Sekian saja dari penulis handicapped Art Calls Indonesia, yang tak lelah menulis bermacam artikel di sini, walau penuh ralat sintaksis. (Kami masih mencari penyelaras bahasa full-time, agar penerbitan kami tidak berbunyi seperti google translate, hiks – tapi jangan salah paham huhu, teks ini bukan dikompilasikan dengan google translate, dijamin 100 persen hand-crafted dalam basa endonesa)
Nantikan kisah berikutnya tentang faktor cringe dari Jakarta Uncensored, kekhasan humor di Indonesia dan banyak observasi lainnya!
Kerabat Kerja:
Naskah: Marten | Jakata
Penyelaras Bahasa: Graciella | Pontianak
(Copyright by Art Calls Indonesia. All rights reserved.)