ACI WITH ACCENT #4

Apakah mengagung-agungkan bule adalah hal yang terinstitusionalisasi?

Bukan sekedar orang desa saja yang merasa kecil ketika melihat bule, institusi-institusi negara juga memanifestasikan pola semacamnya

antaranews

antaranews

Article Image Title
Editor: Marten S.
17.03.2023

Ibu saya adalah tipe orang yang biasa berselancar di internet saat ia makan. Makan sambil ditemani YouTube, ia menonton susunan berita nyeleneh (yang pakai voice-over suara Google-Translate itu lho) tentang status terbaru Nikita Mirzani, dan kerap menyimak konten YouTube dari seorang laki Indonesia yang dikawin sama kakek-kakek Jerman (dan juga kebalik: ibu-ibu janda sekaligus YouTuber Indonesia yang nikahi brondong bule). Kadangkala ibu saya juga tonton santapan ragam YouTuber bule yang jalan-jalan di Jakarta, sambang ke Jalan Sabang, dan mencoba nasi goreng. 

Konten se-remeh temeh memperlihatkan orang asing sedang mencicipi makanan Indonesia laris manis di jagat maya. Tak hanya reaksi pemain sepak bola internasional pertama kali mencoba local cuisine Padang menjamin keriaan berlebih dari warganet Indonesia, video-video bule random makan nasi rames juga ramai ditonton orang lokal. Sebenarnya keren, karena mendorong interkulturalisme. Namun, indikasi kita memelihara perasaan inferior terhadap orang bule ketika aksi kosong melompong dari bule sudah membuat kita euforia.

[Baca juga] Bule seolah Epifani: Mengapa orang Indonesia merasa inferior sama bule

Ketika Indonesia diberi cameo di panggung internasional …

… prestasi itu disambut dengan gembira oleh warganet Indonesia – seperti di dalam series ‘The Last of Us’ di mana Jakarta disebut sebagai sumber ragam virus. Cool. Tak wajib meliputi aktor-aktris sohor untuk mencari perhatian di Indonesia, bule ini ngonten dari negara yang ia tinggal (UK) tentang hal-hal khas Indonesia. Ia mewawancarai kawan-kawan londo tentang pengetahuan mereka seputar Indonesia (‘wow, I didn’t know Indonesia is so big’), dan menyuguhi makanan Indo pada bule lainnya (‘oh, I tried this one back then in Bali!’). Konten buatan kreator tersebut merajalela di Indonesia, seolah kita diberi ‘pengakuan’ dari bule.

Bule mengincar cuan, bukan memeluk budaya kita 

Rupanya kita gampang dieksploitasi. – Santapan konten seolah bule makan pempek atau melafalkan ‘pempek’ (pem-pee, pem-pey, m-peh?) sudah cukup untuk membuat kita mendongkak-dongkak dan bergirang. Sebuah taktik pemasaran produk yang mudah dan efektif di negara dengan pengguna YouTube terbanyak keempat di dunia. 

Indonesia hanya punya satu keunggulan: Banyak penduduk

Atau dengan kata lain: Banyak penonton potensial. SDM sebesar 280+ jiwa. (Tebakan saya) 10 juta Agus, 5 juta Siti, 12 juta Nur, dan 2 juta Kevin. Tak perlu berbait-bait, yang menjual hanya clickbait. 

5

Lucunya, Dr. Desra Percaya (atas kiri), Duta Besar RI Indonesia untuk Inggris tampaknya juga menggemari content creator Laurence Benson. (Foto atas dan bawah: Screenshot Instagram Laurence Benson)

6Mengagung-agungkan bule adalah hal terinstitusionalisasi

Teks ini sebenarnya bukan menyindir orang-orang yang senang nonton konten ‘interkultural’. Karena pertukaran budaya (jika terkuras secara setara) sangat bermanfaat. Menurut saya, fenomena merasa inferior dengan bule (yang sudah kami membahas lebih akurat di sini) juga termanifestasi di kasta politik. Dengan setiap adanya pemain sepak bola dari luar negeri diajak untuk merumput di Indonesia dan dinaturalisasi oleh presiden RI langsung, kita menciptakan rasio seolah ‘mendewakan’ pendatang-pendatang dari luar adalah hal berbudi. 

Kembali ke genre hiburan ‘bule mencicipi makan Indonesia’. Elkan Baggott, pemain Timnas sepak bola yang telah menjadi WNI pada tahun 2021, tampaknya tidak bisa berbahasa Indonesia (Interviewer: 'Guess, what is the meaning of sepak bola?' – Elkan Baggott: 'I guess it got something to do with football?'). Seperti banyak atlet ternaturalisasi sebelumnya. Ia ibaratnya sudah cukup mencoba makan setusuk sate taichan untuk membuat warganet berbangga dengan sate taichan, Elkan dan sekaligus Indonesia. 

Pertukaran Budaya adalah kunci 

Sebagai negara pasca-penjajahan yang memiliki warisan takbenda di dalam dan luar negeri, sektor kebudayaan dan skena seni sebenarnya bisa bantu menciptakan rasa ‘percaya diri’. Selama saya sudah getol memantau dunia seni, saya belum berkesempatan mengikuti acara seni (di Indonesia) yang menghubungkan kita dengan kawan-kawan diaspora Indonesia, dan orang-orang ‘Mestizo’ (darah campur) di Belanda dan manapun di dunia untuk bertukar perspektif secara setara.

Memanglah cukup rumit untuk menelusuri pertukaran budaya tersebut. Saya sendiri dari dahulu ingin membaca buku-buku dari Tjalie Robinson, seorang pengarang yang bermukim di Batavia pada zaman penjajahan, dan mengaji secara prosa apakah itu ‘Keindonesiaan’. 

Tanpa pertukaran budaya, setiap bule bikin unggahan TikTok tentang betapa ia ngebet makan nasi goreng masih menjadi sensasi viral tersendiri. Kita cenderung bergirang berlebihan dengan hal remeh-temeh (om telolet) yang dicap ‘From Indonesia’. Bila kita lebih mengenal dengan negara ini (misal, keunikan bahwa Indonesia merupakan satu-satunya demokrasi yang vital di Asia Tenggara), maka rasa percaya diri bisa timbul.

(Meriset untuk teks ini, saya ngakak membaca komen-komen di bawah postingan influencer Laurence Benson, di mana salah satu penggemar membagi pukauan nya: ‘I am from Indonesia but I didn’t know my country is so big and has 3 time zones. Thank you for educating me sir! Thank you for introducing Indonesia to the world!’ – Masa iya taunya bukan dari guru sekolah atau setidaknya acara traveling di TransTV, tapi dari Youtuber bule?!)

 

You were reading an article from our new rubric 'ACI WITH ACCENT' ...

... in which Marten Schmidt, founder of ART CALLS INDONESIA, reflects within personal opinions on topics related to interculturalism and feelings of belonging. Through ACI WITH ACCENT Marten accentuates with his very own accent, his very own hybrid 'code' and 'Creolian' mix between German, English and Indonesian. 

More articles from this rubric:

Layaknya stimulasi sel otak: Kami berhasil mendapatkan dukungan (bukan di Indonesia, tapi malah) di Thailand

Takluk pada native speakers: Ruwetnya belajar bahasa asing

Bule seolah Epifani: Mengapa orang Indonesia merasa inferior sama bule