Mengapa orang berada di Jakarta punya fetish norak pada mobil sebagai simbol status
Selera orang Jakarta terhadap mobil idamannya tampak norak bagiku. Seolah sudah menjadi hal niscaya, pengemudi di Jakarta gemari mobil gede. Di kota-kota Asia Tenggara lain tiada fenomena fetish itu.
Pexels
Semua media sudah menyiasat isu polusi udara, tapi belum ada yang menamakan yang paling ‘obvious’, yang paling kasatmata dan yang paling sering terlupakan dalam isu ini. Maka ACI bangun kembali dari hibernasi publisistik untuk menghimbau warga Jabodetabek, ‘hinterland’ dan sekitarnya tentang hal-hal yang selama ini tak pernah disoroti dalam diskusi publik: Ini adalah teks pertama dari format serial mini, di mana kami mengolah pengamatan urban kami menjadi semacam cermin untuk memaparkan kelakuan bodoh dan kolektif kita semua sebagai pemukim DKI Ja-kar-ta!
ACI WITH ACCENT, 25.08.2023 – Siapa saja yang pernah sambang ke negara-negara jiran pasti tahu kalau mobilitas warga Singapura, Kuala Lumpur ataupun Bangkok tidak terdefinisi atas ukuran dan merek mobil yang mereka setir. Pasalnya, mobil itu sekadar alat fungsional, wajah kota Bangkok, KL ataupun Singapura rerata meliputi tipe-tipe mobil yang tidak harus bisa mengangkut 150 galon air sekali jalan.
Mobil MPV
Maraknya mobil MPV di Jakarta (kendaraan multiguna seperti Toyota Avanza) berkaitan erat dengan hambatan infrastruktur publik. Gunanya mengelilingi kota dengan mobil berkapasitas tujuh orang dan volum bagasi sebesar ratusan liter sebenarnya tidak ada dalam situasi sehari-hari dan hanya kunjung datang setahun sekali pas mudik. Kalau gak lagi dipake mudik, mobil-mobil seukuran membuat peserta lalu lintas yang tidak memakan luas jalan 3x6 meter merasa jengkel.
Hambatan infrastruktur kota yang inklusif menyebabkan para pengemudi mobil kurang mengenal dan kurang menghargai mitra dan peserta lalu lintas lain seperti pejalan kaki dan pesepeda (Read: Saya punya mobil gede, karena saya gak pernah kepikiran soal space yang saya merampas dari pejalan kaki dan pengemudi motor demi kenyamanan saya belaka).
Aspek tersebut dapat disambung ke hambatan ‘sosial dan kultural’ yang juga berdampak negatif (dan membuatku sebagai pejalan kaki sejati makin gereget). Budaya dan pola kolektif kita sangat terbelenggu oleh penataan hierarkis. Dalam budaya kolektif, di mana kita tidak terlalu bergaya individual, kita mengandalkan konsumerisme untuk memamerkan posisi kita dalam hierarki. Dalam ‘hukum jalanan’: Semakin mewah mobil lo, semakin tinggi gengsi lo.
#bergengsi - baca juga: Pada pembukaan pameran seni rupa khusus mereka-mereka saja, mereka berterus terang bahwa kami bukan bagian dari mereka
Mobil SUV
Masih soal tipe-tipe mobil yang kegedean untuk dipakai jalan dalam kota, kita selanjutnya menelaah mobil SUV. Mengapa mobil offroad itu banyak bisa dijumpai dalam kelautan mobil di Jakarta? Dari perspektif pengguna: Karena terkesan mewah, dominan dan gagah, kayak kendaraan lapis gaja. Andainya mobil beneran bisa menjadi makhluk hidup bak Transformers, big dick energy mobil SUV tak bisa ditanding. Sekian tentang martabat mobil SUV. Secara operasional, mobil-mobil sport dan offroad dioptimalkan untuk driving experience di luar kota. Lantas, apa gunanya mengendarai mobil yang memakan 1,5 jalur?
Biar bisa dijadikan kapal selam kala banjir? Biar seru mengarungi kota sambil sightseeing, melihat Jakarta dari posisi lebih atas dari mobil lain? Ataukah karena interior nyaman, agar enak nongkrong di dalam mobil?
Mobil Van
Mobil Van parkir di trotoar, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat (Foto: oleh penulis, 2022)
Ya, sebagai pejalan kaki hatiku kerap merana. Begitupun ketika saya melihat tipe mobil Toyota Voxy/Alphard dan perekayasaan setipe di jalanan Jakarta. Jenis mobil yang tampaknya sudah menjadi mobil armada standar bagi warga orkay di Jakarta. Segede bus sekolah yang minimum bisa mengangkut belasan bocil, kenderaan tersebut rerata hanya dibuat untuk dua penumpang saja yang menempatkan kaki dengan luas, dan duduk pada kursi pijat super empuk selayaknya singgasana.
Semua karavan kalah. Orang petualangan ke Selandia Baru, berkembara di sana pakai karavan selama setahun pun gak butuh luas mobil yang tampaknya sudah menjadi standar di Jakarta.
Baca juga: (Diagram) Lingkaran Julid
Mobil Jeep
Last but not least, kita menapaki fetish pada mobil lebih ekstrem lagi: Rubicon, Hummer dan lain sebagainya. Mobil pilihan optimal untuk cari perhatian dan membuat puluhan pasang mata melirik padanya di tengah lampu merah. Di tempat kelahiran saya, di pegunungan Austria, saya kadang melihat angkutan atau trailer khususnya ekor kuda (di mana kudanya suka terlihat santai dibawa jalan-jalan). – Wahana itu pun yang bisa mengangkut hingga dua ekor tidak berukuran sebesar mobil-mobil di Jakarta.
Alat untuk memperpanjang t*t*t
Mumpung sudah memindahkan fokus ke Eropa, ingin ku ceritakan satu pengamatan lain dari mindset warga Eropa yang tampaknya terbalik: Pemilik mobil mewah, supercars dan segala tipe mobil yang dimodifikasi biar berisik lebay kerap diolok-olok atas fetish sang pengemudi. Katanya, kepemilikan mobil seperti itu adalah semacam substitusi atas kekurangan fisik (read: panjang penis). – Agar mereka tetap mengesankan dan jantan (di mata mereka), mereka andalkan instrumen ‘Schwanzverlängerer’ (secara harfiah: alat untuk memperpanjang titit).
Baca juga: 'Small Dick Energy': Greta Thunberg bikin lawan KO
Balik lagi ke Jakarta: Kian bermarak, mobil listrik unyil pabrikan Wuling sudah makin sering tampak di ruang publik – biasa terlihat terjepit di sela mobil-mobil besar. Masa depannya sudah dimulai, pada penataan infrastruktur yang masih car-centric.
Yes, pakai mobil Avanza bisa berguna kalau mengangkut barang.
Yes, mobil SUV lebih tahan banjir.
YES, kita bodoh berkat perilaku konsumtif dan hierarkis. Industri otomobil jago memanfaatkannya.
Artinya apa: Kalau kamu miskin, pakai masker semasa hidup, kala di KRL, di angkot ataupun pas lagi jalan kaki ibarat main parcours di ruas jalan.
Artinya apa kalau kamu kaya: nothing.
Jadi, artinya apa: nothing. Tenteram aja.
ACI WITH ACCENT is the only media column in Indonesia covering all things intercultural. In ACI WITH ACCENT Marten as the initiator of ART CALLS INDONESIA reflects in personal opinions on topics related to interculturalism and feelings of belonging. Through ACI WITH ACCENT he accentuates with his very own accent and oscillates between perspectives from varying sides.
He speaks and writes in Indonesian as his third language, after German and English. ACI WITH ACCENT is the only rubric on ACI not proofread by any 'native' editorial colleague. If there happen to be any grammatical typos or syntactical mistakes it’s part of the raw accent and the linguistic logics of a foreign speaker.
'Non-natives' usually take up other roles in the Indonesian media industry (being influencers, becoming models, actors, etc). The only media platform we know of hosting journalists with autodidactically acquired Indonesian language skills is the Germany-funded Indonesian version of the 'Deutsche Welle'. ACI WITH ACCENT is one of the most read and most controversial rubrics on ACI, holding up a mirror to readers and questioning what contemporary Indonesianness could be.
Baca juga:
Apakah mengagung-agungkan bule adalah hal yang terinstitusionalisasi?
Ngobrol sama George Harliono yang raih 'standing ovations' di mana pun dia manggung
Takluk pada native speakers: Ruwetnya belajar bahasa asing
Bule seolah Epifani: Mengapa orang Indonesia merasa inferior sama bule