Bagan dan meme yang bisa kalian tunjukkan untuk membantah mindset orang yang ke mana-mana masih memilih naik mobil
Panduan ACI supaya kita gak selamanya ketinggalan
Tulisan dari rubrik ACI WITH ACCENT – Pidato Polusi (2)
Artikel ini bukan hanya semacam circle-jerk bagi kawan-kawan frugal yang mau tak mau terbiasa naik transportasi umum. Juga bukan semacam surat terbuka pada aktor-aktor politik yang merugikan kesehatan kita. Ini adalah naskah sci-fi. Bayangkan, Jakarta sebenarnya bisa menjadi jauh lebih layak untuk dihuni – apabila kita semua sadar akan pentingnya untuk menuntut penyediaan infrastruktur transportasi rendah emisi.
Infrastruktur tersebut tak harus langsung berupa kereta layang yang memakan waktu sedekade lebih untuk dibangun. Kuncinya adalah bagaimana kita menggunakan infrastruktur yang saat ini sudah ada.
YTTA: Let’s say, kamu berada di kawasan Thamrin dan perlu menuju Mega Kuningan. Opsi yang tersedia adalah:
- Jalan kaki. Masalahnya: Kejauhan.
- Naik TransJakarta atau MRT dulu sampai Bendungan Hilir, lalu jalan kaki. Masalahnya: Jalan Satrio sungguh bukan esplanada untuk pejalan kaki.
- Naik mobil atau motor pribadi maupun online. Enaknya: Bisa tempuh sampai tujuan tanpa ribet, asal bisa bersabar pas macet.
- Atau opsi paling science-fiction: Naik sepeda. Keringatan dikit (ya gak harus balapan juga sih), tapi enak – bahkan bisa sambil ngebat dan berkontemplasi tentang zaman kolonial kala Batavia meluncurkan kereta trem.
Menikmati kesantuyan saat gowes cukup menggoda, tapi mengapa warga Jakarta tetap tak memilih opsi hijau ini? – Kita menganggapnya jamak memprioritaskan kendaraan mobil pribadi, dan secara intuitif menganggap semua opsi lain sebagai pilihan orang miskin (Bukti anekdotal: Pengemudi mobil di Jakarta rerata tidak berhenti di Zebra Cross, padahal wajib secara hukum).
Tergantung moda yang telah kamu pilih, kamu turun cantik di Lobby Menara Oakwood – atau melalui pintu samping bak tikus
Okay, kamu sudah sampai di tujuan. Mega Kuningan – in all its beauty. Ubin trotoar yang tak diurus, dan dua hotel mewah yang dikawal ketat oleh petugas keamanan. Tergantung moda yang telah kamu pilih, kamu sedang turun cantik di Lobby Menara Oakwood – atau melalui pintu samping bak tikus, dan merasa terpaksa melarikan diri ke toilet umum dulu untuk touch-up. Mengarungi paparan polusi, muka lu udah kusam. Outfit lu bau apak.
Selepas rapat, kamu sudah ditunggu pacarmu yang nemu cafe instagrammable baru di SCBD. Benakmu memperkirakan rute dan moda optimal untuk berjalan dari Mega Kuningan ke SCBD. Lewat Mampang: Macet. Lewat Sudirman: Macet. Putarnya jauh banget pula – padahal secara jarak udara super dekat. Lagi-lagi, pilihan yang tersedia cukup monoton: Mobil (lama), motor (bawa baju ganti, gak?), jalan kaki (kayak main parcours sama tiang listrik), atau naik transportasi umum (dengan segala keterbatasan). Lagi-lagi, bersepeda sambil ngebat dan berkontemplasi tampak sebagai opsi paling masuk akal. – Lagi-lagi, sayangnya opsi ini hanya science-fiction.
Bayangkan saja kita sepedaan bareng, dan berkeliling santai sebagai rombongan ekspedisi. Ikuti aku saja, sepedaku yang terpasang bendera kecil bertulisan ACI (Abandoned Cyclists Indonesia).
Hak istimewa
Wajah kota Jakarta masih sangat dipengaruhi kehendak para pengemudi mobil seolah urban space itu ekuivalen dengan jalanan mobil. Walhasil, pengguna transportasi umum terpaksa mengikuti kehendak industri otomobil. ‘Maceet, Maceeeet’ adalah adagium atau peribahasa paling lumrah di Jakarta.
Kita hidup di tengah udara di atas ambang batas normal dan baru menyadarinya sekarang. Kita hidup di kota yang kedodoran dan menanggapinya normal saja bahwa hanya orang berprivilese bisa berpindah tempat dalam kota. Sepupu saya yang berusia 35 tahun, lahir besar di Jakarta, tapi belum pernah sekalipun melihat atau melewati Bundaran HI.
WHO memperkirakan 70 persen penduduk kota di dunia pernah menghirup udara kotor akibat emisi kendaraan bermotor. Dengan mengutamakan kehendak golongan otomobil, kita semua tidak hanya membiayai aspal untuk jalanan dan tempat parkiran, tapi juga perawatan penyakit akibat kotornya udara (kanker, asma, pneumonia, ...).
Sumber: Centre for Research on Energy and Clean Air
Lobby to Lobby
Kita tak butuh influencer dan artis ningrat yang pamer foto mereka saat berpose di depan halte busway untuk mengingatkan kita-kita orang biasa soal daruratnya paparan polusi. Kita tak butuh pejabat yang hanya naik transportasi umum saat peresmian saja. Kita butuh afirmasi warga kelas menengah dan atas yang masih terlalu komfortabel diantar dari Lobby ke Lobby, daripada dari Halte ke Halte.
Berikut, dear Abandoned Cyclists, kita melawat ke Bangkok, mengintip penataan ibu kota Negeri Gajah Putih.
Bangkok: Ruang hijau menjadi zona integral
Sedapnya pengalaman jalan kaki di Jakarta selalu menguji inner Zen-mode kamu (dan juga toleransi paru-paru kamu): Limbah plastik dibakar sembarangan, trotoar dihalangi banyak tiang, dan bahumu senantiasa terancam menjadi target tabrakan spion mobil. Untuk membuka perspektif, berikut beberapa contoh hijau bagaimana kota Bangkok (yang juga sama-sama macet) cukup mementingkan Zen-mode warga setempat.
Wajah kota Bangkok dihiasi banyak taman kecil, tempat tongkrongan murid sekolah. Banyak murid diperlihatkan bernaung di bawah pohon-pohon rindang. Taman-taman di Bangkok berfungsi sebagai lokus multiguna. Warga dapat berolahraga dan membaur diri dengan manusia lain. | Foto: Oleh penulis | Atas: Taman Benchasiri, Bawah: Taman Lumphini
Taman pada foto ini memperlihatkan contoh arsitektur urban yang sangat diterima warga. Taman Centenary di Bangkok, Thailand, sebelumnya merupakan jembatan fly-over yang kemudian dialihfungsikan menjadi ruang publik hijau.
Kopenhagen: Lalu lintas tanpa hierarki
Mengintip kebebasan pesepeda di Denmark, kita sambang ke Kopenhagen. Let’s say, kalian belanja di pasar dan mengantar stok bahan masak kalian ke rumah. Opsi di Jakarta: Motor dan mobil. Orang Kopenhagen dimanjakan dengan infrastruktur yang mementingkan pesepeda. Banyak warga Kopenhagen menggunakan sepeda kargo untuk membawa paket ataupun si kecil. Coba kalian bergaya seperti itu di Jakarta, fix dikira jualan tahu bulat atau Yakult.
'Hygge' dapat diterjemahkan sebagai perasaan nyaman dan ekspresi kenikmatan terhadap hal-hal kecil dalam kehidupan – seperti naik sepeda.
Orang Denmark kerap dijuluki bangsa paling antusias bersepeda. Di sana, alat transportasi tersebut sudah menjadi wahana paling utama. Kota Kopenhagen dan Aarhus berada di papan paling atas dunia dalam aktraktivasi penggunaan sepeda bagi warga.
Bersepeda lebih dari sekadar kegiatan menempuh dari A ke B belaka. Bagi orang Denmark, kegiatan bersepeda menyampaikan perasaan nyaman. Warga Denmark konon salah satu bangsa paling bahagia di dunia. Konsep perasaan ‘hygge’ juga melekat dengan kesantuyan yang dialami saat bersepeda. Hygge dapat diterjemahkan sebagai perasaan nyaman dan ekspresi kenikmatan terhadap hal-hal kecil dalam kehidupan – seperti naik sepeda.
Potpourri of modern times
Rendah mutunya kota mobil
Jadikanlah meme ini senjata pamungkas bagi teman cowok yang masih percaya bahwa aset paling menawan adalah mobil. Tunjukkanlah meme ini kepada si teman yang bergaya ala kadar atlet sepeda, dan suka pamer foto celana ketat. Gowes itu bukan sekedar hobi akhir pekan, tapi solusi sangkil dan mangkus.
Sudah tahun 2023, baru sekarang Jakarta punya kereta LRT. Kesiapan menangkal polusi dengan sistem angkutan umum yang mendamai masih akan menghabiskan puluhan tahun hingga efektif. Ruang terbuka hijau harus diluaskan. Infrastruktur yang sudah ada sebenarnya bisa dialihfungsikan. Setiap individu yang mampu semestinya turut menangkis dampak polusi: Jakarta harus bisa bersepeda.
Bukan hanya pada Car Free Day. Bukan hanya di dalam komplek. Dan juga bukan hanya dengan ngangkut-sepeda-lu-balik-ke-dalam-SUV-yang-lu-parkir-di-GBK-selepas-udah-kelar-sepedaan-dan-ngafe-di-minggu-pagi.
(Marten Schmidt, Art Calls Indonesia, 01.09.2023)
Kajian Centre for Research on Eneryg and Clean Air mengenai polusi di Jakarta (Agustus, 2020)
Baca juga:
Mengapa orang berada di Jakarta punya fetish norak pada mobil sebagai simbol status
Moda transportasi urban yang sempat ada di Jakarta, namun menghilang lagi