Bukan hanya di sepak bola saja Indonesia buang peluang emas, serupa pun sudah terjadi pada 'piala dunia' kesenian
Kegagalan Indonesia dalam penyelenggaraan U20 menyerupai pil pahit ajang seni 'documenta' pada tahun 2022 silam
FAZ, common use
Ruangrupa, sebuah kolektif seni prestisius dari Jakarta, telah mendapatkan kesempatan yang hanya kunjung datang sekali dalam hidup. Mereka dinobatkan dengan salah ganjaran paling prestisius yang bisa diraih di dunia seni: Sebagai kolektif bintang tamu sekaligus tim kuratorial ajang seni ‘documenta’ mereka sempat menduduki singgasana dunia kesenian. – Sebuah peluang emas yang sayangnya bermuara pada persepsi negatif dari publik mancanegara dan kasta politik terhadapnya. Selaras dengan kegagalan Indonesia pada pengelolaan ajang sepak bola U20, lika-liku penyelenggaraan documenta juga bersangkut paut erat dengan isu Israel.
Entah karena kenaifan politis atau kenaifan kultural, dalam kedua ajang internasional tersebut Indonesia disingkirkan usai gagal mengelilingi isu Israel tanpa berdiskriminasi terang-terangan. Namun, berbeda dengan U20, ajang seni documenta tidak dicampur adukkan dengan urusan intrik dan populis oleh para politikus Indonesia. Perkara documenta dan ruangrupa tampak lebih sepele: Sebab beberapa karya seni yang dipamerkan memungut karakteristik gambaran anti-Yahudi (hidung mancung dll; estetika yang erat dengan karikatur rasis oleh Nazi).
Documenta digelar setiap empat tahun oleh pemerintah Jerman. Dalam kultur yang begitu waswas dan sadar akan tanggung jawab kasatmata negara terhadap zaman Nasional Sosialisme, tak heran jika lukisan-lukisan bernuansa rasis dituai kritik keras. Media seni dan pejabat hingga kanselir Jerman himself sempat turut mengkritik documenta atas karya-karya seni diskriminatif terhadap kaum Yahudi. Berbeda dengan U20, di mana segelintir sosok politik regional tampaknya naif memahami unggulnya olahraga sebagai kekuatan lunak, documenta dan ruangrupa sempat gagal menjemput rezeki berkat kelalaian ‘interkultural’ (atau kesadaran atas nilai-nilai dan amanah politis pada negara lain).
Baca juga: Stadion sepak bola di Indonesia lebih aman dipakai buat konser K-pop aja deh
Kita belum berjodoh dengan komunikasi antarbudaya
Dalam perbandingan kedua kasus ini, muncul anggapan bahwa kita belum begitu berjodoh dengan komunikasi antarbudaya. Kita tampaknya hanya mengenal dengan komunikasi koersif, komunikasi dari atas ke bawah dan komunikasi satu arah. Sehingga Erick Thohir selaku utusan Indonesia diberangkatkan ke Qatar dan Swiss dengan pola bahwa semua masih bisa dilobi, atau dikomunikasikan dengan paksa.
Usai skandal documenta pada tahun 2022 silam, ruangrupa malah memilih untuk berdiam saja seolah mereka tidak sadar akan instrumen komunikasi interkultural. Para anggota ruangrupa sudah diperoleh banyak kesempatan jelang documenta untuk berbaur dengan konteks lokal dan skena seni di Jerman. Walau diberi perhatian segenap lanskap media internasional untuk memecahkan semua tuduhan rasis, ruangrupa sempat tampak bak belum siap membela diri sendiri melalui wacana dan aduan perspektif.
Konsekuensi
Politikus-politikus yang menyibak pegiat sepak bola dan publik Indonesia berkat manuver naif dalam diplomasi pada panggung internasional. — Pelaku-pelaku seni yang tak siap beradu secara retoris dalam sirkuit interkultural. — Pada taraf internasional, Indonesia akan seterusnya menghadapi momen-momen di mana adanya pertikaian dengan budaya lainnya yang tidak bersekutu dengan amanah anti-kolonial kita. — Baik politikus yang berkoar tanpa memikirkan konsekuensi, maupun seniman yang memilih untuk berdiam saja karena takut konsekuensi, dua-duanya bukanlah cara jitu untuk membela ideologi kita tanpa ujung-ujungnya malah dikucilkan.
Baik Piala Dunia U20 maupun pameran seni documenta sudah menjadi pengalaman pahit bahwa kita gagal mengonversi peluang emas menjadi prestasi. Kedua kesempatan tak akan kunjung datang lagi. Semua bangsa lainnya (baik yang demokratis maupun anti-demokratis) akan memperoleh kesempatan terlebih dahulu.
Walau karya-karya seni yang dipamerkan pada documenta fifteen sangat memukau, dan pemain sepak bola timnas U20 berhasrat berlaga di taraf internasional, kesempatannya sudah musnah. Dengan asumsi bahwa komunikasi interkultural adalah komponen yang sangat berpengaruh untuk menghindari kegagalan.
You were reading an article from our new rubric ACI WITH ACCENT, in which Marten Schmidt, founder of ART CALLS INDONESIA, reflects within personal opinions on topics related to interculturalism and feelings of belonging. Through ACI WITH ACCENT Marten accentuates with his very own accent and oscillates between German, English and Indonesian.
More articles from this rubric:
Dear Bules, inilah manual teruntuk kalian agar dicintai warga Indonesia
Apakah mengagung-agungkan bule adalah hal yang terinstitusionalisasi?
Bule seolah Epifani: Mengapa orang Indonesia merasa inferior sama bule