Penyebaran opinimu tetap masih bisa menjadi peluangmu masuk penjara
Vonis bebas Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti menandakan bahwa elit tak selalu bisa menggugat warga sewenang-wenangnya. Namun, status quo tidak berubah berkat satu penanda positif saja, kebebasan warga berekspresi masih menjadi taruhannya
Peluang untuk merayakan sebuah kemenangan mungkin tidak sering kunjung datang dalam karier seorang aktivis HAM, advokat lingkungan hijau atau jurnalis yang tak takluk meliputi kerakusan pejabat. Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, dua aktivis yang peduli politik digugat oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan pada tahun lalu. Kasus mereka telah memicu debat semantik tentang arti istilah ‘Lord’ yang lazim diletakkan pada Luhut Pandjaitan sebagai nama panggilan sarkas.
Kedua aktivis divonis bebas pada Senin, 8 Januari 2024 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur: Panggilan sarkas ‘Lord Luhut’ tidak dinilai sebagai hinaan oleh majelis hakim. Dalam pertimbangannya, para anggota majelis hakim menegaskan bahwa seorang pejabat harus bersedia menghadapi kritik, baik secara perorangan maupun terhadap riwayat kerjanya. Pertimbangan itu juga disusul pepatah Bahasa Latin ‘cogitationis poenam nemo patitur’, yang berarti tidak ada seorang pun yang boleh dihukum karena pikirannya.
Suasana di depan gedung Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Senin, 8 Januari 2024 | Foto: Kontras via X
Putusan itu menandakan momentum kemenangan kebebasan berekspresi. Meski begitu, kemenangan kedua aktivis dan seluruh pendukung mungkin hanya akan menjadi catatan positif tunggal dalam tata demokrasi Indonesia yang kian rongrong dalam era presiden Joko Widodo.
Cendekiawan, jurnalis, aktivis, seniman dan warga yang mengangkat suara soal isu-isu publik, termasuk represi militer di Papua dan bencana alam yang disebabkan manusia, rentan menghadapi ancaman hukum. Kepentingan elit dan penguasa rupanya lebih diakomodasi ketimbang hak masyarakat untuk mengutarakan pikirannya.
Baca juga: Revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mengatur HAM kalian untuk bebas berpendapat, dibuat makin problematik dan lentur
Dalam penambahan aturan baru, negara bisa memutus akses informasi dengan dalih keamanan, aturan pencemaran nama baik makin ganas, dan pasal-pasal kacau yang sebelumnya sudah sah, masih bercokol
Aktivis kini mudah diberangus dengan alasan ‘memprovokasi massa’ dan ‘menyebar kebencian’. Kitab undang-undang hukum pidana sebatas menjadi alat perangkap. Banyak pasal karet bisa ditafsirkan sebagai peluang menjegal kreator meme yang menyebarkan guyonan ironis tentang pejabat. Perang tafsir hukum soal kebebasan berekspresi tidak berhenti pada kemenangan Haris-Fatia, dan akan diteruskan jika gaya presiden Jokowi menjadi teladan untuk sang penerus.
Jokowi, sosok yang sebelumnya dianggap sebagai negarawan, ternyata hanya mengerjakan To-Do List pribadinya di akhir masa pengabdian sebagai politisi. Politisi yang rupanya ngotot mewujudkan To-Do List itu – biarpun nilai-nilai demokrasi harus ditengkar, dan aktor-aktor yang sungguh kurang siap diberi peranan untuk melanggengkan kekuasaan satu sirkel.
Ada Kaesang Pangarep, yang tatkala ditanya oleh wartawan tentang masa Orde Baru dengan naif dan blak-blakan mengaku kepolosannya. ‘Saya sendiri kan nggak mengalami, karena waktu itu saya masih umurnya kecil. Jadi gak pengalaman,’ ia katakan pada sejumlah wartawan sebagai ketum baru partai PSI. – Untung saja, ia cukup dilindungi hukum yang berlaku di negara ini dan tidak bisa diolok habis-habisan seperti politikus di mancanegara.
Baca juga:
Lord Luhut vs Haris-Fatia: Nickname 'Lord' Luhut bukan panggilan peyoratif
Diancam pihak polisi sebelum pentas teater: Butet Kartaredjasa tak boleh bikin satir politik
Pentas seni di Sulawesi Selatan dituding tampilkan 'waria' dan unsur LGBT: Dibubarkan polisi
Kebebasan Pers: Seberapa kondusif lanskap media Indonesia dalam perbandingan mancanegara
(Perlindungan) kehormatan berlebihan pada pejabat diwariskan dari penjajah Hindia Belanda yang menanamkan kultur ‘gila hormat’ pada masyarakat pribumi. Dulu, penjajah Belanda mengandalkan haatzaai artikelen untuk memadamkan revolusi antikolonialisme. ”Barang siapa menyulut atau membangkitkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Belanda, atau Pemerintah Hindia Belanda dengan kata-kata, tanda-tanda, atau tingkah laku atau cara-cara lain akan dihukum” – begitu bunyi pasal yang diperkenalkan Gubernur Jenderal Idenburg pada 1914. Meski pasal pidana penghinaan pejabat negara sudah dihapus Mahkamah Konstitusi sejak 2006, akal sehat seorang warga negara Indonesia tentu bilang bahwa aturan lawas itu sebenarnya masih cukup kontekstual hingga sekarang.
Sebuah pentas seni dan budaya yang melibatkan tokoh spiritual Bugis Bissu di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (Sulsel) dibubarkan pemerintah dan aparat polisi (19/08/2023) | Foto: Detik SulSel
Berpuluh tahun RI mewarisi pasal-pasal kolonial Belanda sejenisnya. Pada Orde Baru pun pasal penghinaan dipakai secara obral untuk menindas masyarakat yang insaf akan demokrasi. Dalam era Jokowi, mutunya demokrasi Indonesia telah merosot, begitu pun jaminan atas hak kebebasan berekspresi. Menurut data SAFEnet, 70 persen pengadu UU ITE (2008-2020) dilaporkan oleh kaum elit dan pejabat publik.
Ruangnya untuk mengasah pikiran secara diskursif dan terbuka tentang dunia di luar kamar kos tampaknya cukup sempit, jika dibaca dari status quo kebebasan berekspresi. Tambah lagi, budaya kita gampang ditipu dengan orang-orang berkelas dan mentereng, dan juga tak berjodoh dengan satir intelektual.
Baca juga: All Eyes On Kebebasan Berkesenian
ACI-Guide: Tips jitu untuk menyelamatkan karya seni kalian dari sensor
'Survival Kit' untuk praktisi seni: Berkesenian sesuai RKUHP
Status quo tersebut mungkin tidak darurat, mengingat bahwa negara-negara lain di kawasan ASEAN seperti Thailand menjatuhkan hukuman betul-betul drakonis pada siapa pun yang berani mengejek para aktor negara. Dilindungi hukum lèse-majesté yang diberlakukan di Thailand, raja 'Rama X' tidak dapat dikritik sama sekali. Ketimbang situasi kebebasan berekspresi di Thailand, hukum di Indonesia masih tampak bak naskah keramat:
Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memberikan kesempatan kepada siapa pun warga negara Indonesia untuk mengeluarkan pendapatnya. Termasuk penyampaian kritik terhadap pemerintah.
Pasal 28F UUD 1945 menambahkan, ”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Apalagi, Pasal 28E Ayat (3) menyatakan pula, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Profesi jurnalis juga dilindungi oleh UU no 40 tahun 1999 tentang pers. Dalam UU tersebut, dijelaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Baca juga: Situasi pekerja media paling buruk di Lampung, Maluku Utara dan Papua
Meski begitu, beragam masalah politik-sosial ihwal kebebasan berpendapat muncul bertubi-tubi. Koalisi Seni, yang menganalisis kebebasan tersebut khususnya untuk pekerja seni, melaporkan sebanyak 249 korban peristiwa pelanggaran kebebasan berkesenian pada situs kebebasanberkesenian.id. Data tersebut dikumpulkan dalam rentan waktu 13 tahun terakhir.
Dalam konteks kebebasan berekspresi terdapat sejumlah kasus pencemaran nama baik yang dijerat dengan UU ITE. Data Direktori Putusan Mahkamah Agung dan Litbang Kompas mencatat sebanyak 77 putusan pengadilan terkait pelanggaran UU ITE Pencemaran Nama Baik pada tahun 2022, dan 41 putusan sepanjang 2023.
Dalam deretan berikutnya kami tampilkan beberapa kasus yang mencatat intimidasi oleh pihak yang berwenang pada warga yang mempraktik haknya untuk bebas berpendapat dan berekspresi:
(2016) Buni Yani mengunggah video pidato Basuki Tjahaja Purnama saat ia menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. Putusan: Penjara 1,6 tahun
(2017) Sejumlah kreator meme diincar polisi karena membuat dan membagi meme guyonan yang memperlihatkan sang narapidana kasus korupsi E-KTP.
(2018) Sebuah pasangan gay ditangkap hanya karena mereka mengelola grup facebook diskusi LGBTQ
(2019) Aktivis Dandhy Dwi Laksono tersangka karena cuitannya soal Papua
(2020) Ravio Patra, seorang aktivis yang kerap bersuara kritis di media sosial soal Stafsus Millennial, dijemput dan ditahan polisi
(2022) Seorang pembuat meme dilaporkan ke polisi dan diancam dipidanakan usai mengunggah sebuah meme sarkas berisi Ibu Negara Irana
Foto Irana Jokowi bersama Ibu Negara Korsel sempat menjadi meme viral | Foto: Screenshot Twitter
(2023) Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dituduh tindak pidana pencemaran nama baik | Putusan: Bebas
(2023) Pentas teater Butet Kartaredjasa diancam polisi dengan hendak untuk melarang pentasnya
Mungkin kurang memandu, tapi kalau pintu kosmu tiba-tiba pada jam tiga pagi digedor satuan polisi, mintalah surat perintah penangkapan dari mereka sebelum menggunakan jasa jemputnya. Tanya identitas petugas polisinya, dokumentasikan penjemputannya secara live di media sosial dan hubungi kontak orang yang dipercaya untuk mendampingimu.
(Marten S, 11.01.2024, ART CALLS Indonesia)