Berani dan konsekuen, tapi sedikit old school
Perupa legendaris Yos Suprapto berhasil mengakumulasi perhatian publik usai dia menjadi sasaran sensor. Potret dari seorang 'Antihero' yang rupanya terjebak dalam 'simbolisme'
“Saya sebagai seniman, pihak Galeri Nasional, dan mantan kurator (...) belum menemukan titik temu. Jadi, pameran ini tidak bisa dilanjutkan (...),”
kata Yos Suprapto, saat menurunkan karya-karya miliknya di Galeri Nasional Indonesia (23/12). Yos Suprapto secara resmi sudah mengundurkan diri.
(Opini) – Polemik antara Yos Suprapto dan Galeri Nasional telah berkumandang luas. Galeri Nasional sebagai fasilitator ruang pameran menjadi sasaran kritik pedas. Kurator pamerannya dicap sebagai "pengecut," sementara Menteri Kebudayaan Fadli Zon dianggap tidak memahami seni. Pembredelan karya Yos Suprapto ini telah memicu backlash atau blunder terbesar di dunia seni lokal dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan presiden Prabowo yang baru saja dilantik dua bulan lalu, insiden penyensoran ini membuat banyak pegiat seni semakin waspada terhadap potensi pembatasan kebebasan berkesenian. Secara mendadak, polemik ini menarik perhatian generasi muda pun di jagat maya. Yos Suprapto pun menjadi semacam 'Antihero' yang memperjuangkan kebebasan berekspresi di tengah kekhawatiran akan masa depan seni yang kian terancam.
Kebebasan berkesenian tampaknya belum mendapat perhatian yang cukup penting di Tanah Air, sebagaimana tercermin dalam pemilihan sosok untuk jabatan Utusan Khusus Presiden Bidang Pekerja Seni. Si paling nampol: Raffi Ahmad — pengusaha, entertainer, dan kini juga agen publik bagi para pekerja seni. Bagaimanapun, jangan berharap terlalu tinggi pengisi acara Gaspol (SCTV) ini mampu memperjuangkan kepentingan para pelaku seni.
Nama Fadli Zon pun ikut terseret dalam polemik pembredelan karya Yos Suprapto. Menteri Kebudayaan ini menganggap beberapa karya Yos, termasuk lukisan Konoha 1 dan Konoha 2, tidak layak dipajang di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, karena mengandung unsur-unsur vulgar. Lukisan-lukisan tersebut memang menggunakan bahasa simbolik yang cukup gamblang.
Alhasil, pameran tunggal Yos Suprapto di Galeri Nasional dibatalkan oleh senimannya sendiri – secara resmi, ia sudah mengundurkan diri.
“Kalau [pameran] ini tetap tidak bisa diakses oleh masyarakat luas, tetap dikunci dengan alasan apa pun juga, (...) lebih baik tidak perlu harus ada pameran,”
ujar Yos pada 21 Desember. Malam hari tanggal 23 Desember, karya-karya yang sebelumnya sudah dipajang di Galeri Nasional diturunkan dan dibawa pulang ke Yogyakarta.
It's wild out there. | Ilustrasi oleh ACI
Sarat Simbolisme
Pendekatan dan respons Yos Suprapto dalam polemik ini sarat dengan simbolisme, mencerminkan jiwa aktivis sosialnya yang kuat. Dalam pernyataan pembatalan pamerannya, Yos menegaskan bahwa ia berencana menempuh jalur hukum untuk menuntut akses ke Galeri Nasional.
Kemampuan Yos dalam berbahasa simbolis tampak jelas dalam karya-karyanya. Sepasang lukisan bertajuk Konoha memuat simbolisme yang gamblang dan menggugah: sejumlah figur tampak menjilat anus dari sosok yang mengenakan mahkota. Menanggapi tuduhan vulgarisme, Yos menjelaskan bahwa unsur ketelanjangan dalam lukisannya adalah bentuk majas simbolis yang harus dilihat melalui kacamata seni. "Dalam bahasa seni rupa (...) ketelanjangan itu simbol kepolosan (...)," ujar Yos dalam konferensi pers sehari setelah pernyataan pembatalan pameran.
Simbolisme dalam karya dan tindakan Yos memang konsisten dan berani, meski mungkin terasa sedikit old school.
Konferensi pers di gedung YLBHI-LBH Jakarta pada 21 Desember 2024, Yos Suprapto menegaskan bahwa ia tidak bersedia membatasi hak kebebasan berkesenian. | Foto: Art Calls Indonesia
Out of the box
Yos Suprapto, yang pernah tinggal di Australia selama lebih dari 25 tahun, semestinya melobi untuk tetap menggelar pameran tunggalnya – dengan mengikuti saran kurator dan permintaan direksi Galeri Nasional untuk menutupi karya-karya yang dianggap kontroversial. – Yes! – Jika karya-karya tersebut ditutupi kain hitam namun tetap dipajang, justru akan tercipta simbol yang lebih lantang untuk menyuarakan kritik dan keprihatinan. Dengan bargaining power yang dimilikinya, Yos sebenarnya bisa memanfaatkan kesempatan ini secara out of the box.
Meskipun tertutup, karya-karya yang tersensor itu sebenarnya masih dapat berfungsi sebagai medium perlawanan sekaligus renungan kolektif atas rapuhnya kebebasan berkesenian di Indonesia. Coba deh, kalau sang perupa legendaris itu menutupi karyanya dengan sengaja, sambil menyertakan kode QR yang bisa dipindai oleh pengunjung Galeri Nasional. – Melalui kode tersebut, pengunjung bisa mengakses karya yang telah tersebar luas di jagat maya, di mana hak kebebasan berekspresi dikawal ketat oleh netizen Tanah Air.
Yos sebenarnya terlihat cukup terbuka terhadap bentuk-bentuk aktualisasi seperti itu, sebagaimana tercermin dari gaya bertuturnya yang sering mencampurkan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Baca juga: Profil Yos Suprapto: Pelukis berani dengan oeuvre penuh makna
Bayangkan jika pamerannya tetap terlaksana: para pengunjung berdatangan berbondong-bondong, rela mengantri untuk menyaksikan karya yang disensor. Mereka berdiri di depan tirai, dan lukisan tertutup itu menjadi instalasi audio. Pengunjung diberikan headset untuk mendengarkan suara truk molen melintasi kawasan IKN, desahan penuh kepuasan dari penguasa yang di-rimming, hingga suara menyesap dari para penjilat.
Namanya bukan Galeri Nasional kalau tidak ada chibi-chibi Jabodetabek berpose di setiap pojok galeri, begitu pun di depan karya tersensor itu. – Justru, ini yang bisa menjadi statement yang mungkin tidak se-gamblang lukisannya sendiri, namun lebih ironis.
Baca juga: Apa sih gunanya bikin pameran seni rupa tanpa mengedukasi pengunjungnya?
Selfie-Esteem bukan Self-Esteem: Suasana di pameran ‘Melik Nggendong Lali’ oleh seniman interdisiplin Butet Kartaredjasa di Galeri Nasional Indonesia | Foto: ACI
Konseptualisasi seperti ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan sebelum pameran dibatalkan; kesempatan untuk menghadapi persoalan kebebasan berekspresi di Tanah Air secara langsung—layaknya "taking the bull by the horns." Sebuah aksi yang bukan hanya menggugah, tetapi juga menyadarkan masyarakat tentang betapa terbatasnya hak berekspresi bebas di negeri ini.
Narasi kemesuman
Supaya tak ada yang merasa terganggu, seni lokal kudu sesuai kaidah Ketimuran. Buku-buku sastra misalnya kerap dicurigai berisi racun subversif untuk menanamkan pikiran aneh-aneh di benak pembaca. Seni di Indonesia kerap 'diharamkan'. Patung instalasi berbahan dasar bambu di Halte Bundaran HI, Jakarta Pusat, misalnya pernah dicap mesum karena bentuknya mirip orang bercinta. Apalagi relief-relief pada Candi Sukuh di Gunung Lawu, Jawa Tengah, yang sejak ratusan tahun menampilkan adegan seks? Dan phallus bebatuan segede Gaban di Candi Cetho!
Tuduhan bahwa karyanya terlalu mesum sudah ditepis oleh Yos: “(...) orang yang menyatakan itu sanggama, berpikirnya sebatas itu,” tegas Yos. Celakanya, Yos juga terperangkap dalam narasi kemesuman itu dengan menanggapinya secara artistik, sehingga ia termanuver ke dalam jebakannya Fadli Zon. Fokus pada isu ‘vulgarisme’ membuat publik melupakan masalah utama yang sebenarnya menjadi alasan karyanya disensor—bukan masalah ketelanjangan figur dalam lukisan, melainkan kritik tajam terhadap pemerintah.
Baca juga: Rule of thumb untuk menyelamatkan karya seni kalian dari sensor
Di luar kaidah Ketimuran, dan terlalu vulgar? Karya berjudul 'Konoha' oleh Yos Suprapto | Foto: Istimewa
Kebebasan berekspresi masih menjadi taruhannya
Kita semua tahu bahwa tata demokrasi di Indonesia rongrong sepanjang era presiden Joko Widodo, dan terus rapuh di masa Presiden Prabowo. Seniman-seniman Indonesia sudah biasa merasa dicekal, mereka menguasai seni menyensor diri sendiri. Para aktivis mudah diberangus dengan dalih “memprovokasi massa” atau “menyebarkan kebencian”. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sering kali berfungsi sebagai alat untuk menjebak. Banyak pasal karet yang dapat ditafsirkan sebagai peluang untuk menjerat seniman, kreator meme, jurnalis, dan lainnya yang berani menyampaikan kritik atau guyonan ironis tentang pejabat publik.
Status quo tersebut mungkin tidak darurat banget, mengingat bahwa negara-negara lain di kawasan ASEAN seperti Thailand menjatuhkan hukuman betul-betul drakonis pada siapa pun yang berani mengejek para aktor negara. Dilindungi hukum lèse-majesté yang diberlakukan di Thailand, raja 'Rama X' tidak boleh dikritik sama sekali. Ketimbang situasi di Thailand, keadaan di Indonesia masih lebih bersahabat dengan kebebasan berkesenian. – Cuman, mungkin saja tidak di Galeri Nasional … mereka mungkin cukup mengurus hal-hal nasional, martabat nasional, dan aktualisasi budaya nasional saja.
Sehat selalu, Pak Yos Suprapto! (MS, Art Calls Indonesia, 24.12.2024)
Tentang Yos Suprapto:
Yos Suprapto (lahir di Surabaya, 1952) adalah seorang pelukis yang dikenal sebagai sosok nan berani dan lantang dalam menyuarakan gagasan melalui karyanya. Yos menyandang gelar PhD dalam bidang Sosiologi Kebudayaan dari Southern James Cook University, Australia. Selama lebih dari 25 tahun, ia merantau di Negeri Kanguru, namun tetap produktif berkarya berperspektif Nusantara. Gaya lukis Yos dikenal sebagai ekspresi gamblang namun sarat makna simbolis. Baca selengkapnya di sini.