PELARANGAN 'WARIA'

Pentas seni di Sulawesi Selatan dituding tampilkan 'waria' dan unsur LGBT – dibubarkan polisi

'Bissu dilarang tampil di sini, Bissu adalah bagian waria, dan waria adalah LGBT'

Ilustrasi Bissu - Foto via 'Counterpoint Navigating Knowledge'

Ilustrasi Bissu - Foto via 'Counterpoint Navigating Knowledge'

Article Image Title
Editor: )))
25.09.2023

Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan – Sebuah pagelaran kecil-kecilan di Sulawesi Selatan dituding menampilkan unsur LGBT karena melibatkan tokoh spiritual Bissu.

Sekilas, orang Bissu merupakan satu antara lima gender yang dikenal masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Warisan sejak ratusan tahun, orang Bugis tidak menganggap manusia hanya terlahir secara biner dalam dua jenis kelamin, namun dalam variasi lebih beragam. Salah gender dalam spektrum masyarakat Bugis adalah Bissu – yang secara umum disebut ‘waria’ dengan konotasi peyoratif. 

Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan, sebuah komunitas seni dan budaya asal Bone telah mempersiapkan serangkaian pentas seni diusung dengan tema ‘Merdeka Negeriku, Merdeka Budayaku’. Dirancang dipentaskan pada 19 & 20 Agustus 2023 di Watampone, acara tersebut dibubarkan Pemerintah Kabupaten dan aparat kepolisian setempat. 

Bone 169

Pentas seni dan budaya yang melibatkan tokoh spiritual Bugis Bissu di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (Sulsel) dibubarkan pemerintah dan aparat polisi (19/08/2023) | Foto: Detik SulSel

Mengaku heran acaranya dibubar dadakan, seorang anggota komunitas seni Lasaliyu Batara Bone merangkum kata pihak otoritas tatkala pembubaran terjadi: ‘Bissu dilarang tampil di sini, Bissu adalah bagian waria, dan waria adalah LGBT. Itu kata Kesbangpol (Kesatuan Bangsa dan Politik).’

Menyalahkan birokrasi 

Menurut pemerintah Kabupaten Bone dan polisi setempat, panitia acara tersebut belum mengantongi izin yang sesuai aturan untuk pelaksanaan pentas itu. Kendati otoritas berdalil panitia belum menaati aturan perizinan, alasan nyatanya pembubaran perhelatan itu tampaknya cukup jelas. 

"Perizinan pemerintah setempat sudah ada, seperti Kesbangpol, Pemda, dan pihak kepolisian. Tapi pas mau ditampilkan langsung dicegat dan dilarang, karena ada Bissu di dalamnya dan dalil bahwa pemerintah Gubernur Sulawesi Selatan mencekal yang namanya Bissu sehingga kami dilarang,” ungkap Bahrudin La Kamakuraga, anggota komunitas Lasaliyu Batara Bone.

Menurut Serikat Jurnalis untuk Keberagaman aksi peragaan kekuatan itu oleh otoritas adalah ‘bentuk perampasan hak berbudaya dan kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi RI’. 

Masa depan Bissu yang teraniaya di masa kini

Dalam suku Bugis, orang Bissu menduduki posisi spesial dalam sistem pengakuan gender yang sendiri sudah cukup spesial. – Setidaknya bagi masyarakat Indonesia yang cenderung tidak bertoleransi tinggi dengan kelainan apapun dari norma. Orang Bissu dipandang sebagai rohaniawan pria-wanita dalam masyarakat Bugis. 

Budaya Bugis tidak mengenal konsep terlahir dalam tubuh yang salah

Filosofi, adat dan budaya tak-benda suku Bugis sudah terwaris sejak jaman pra-Islam. Masyarakat Bugis mengakui lima gender berbeda. Menariknya, warisan pengetahuan kuno dari Sulawesi Selatan cukup berselaras dengan penalaran orang ‘Barat’ pada masa kini. Dalam masyarakat Bugis adanya gender makkunrai dan oroani, sesuai dengan konsep Barat cis female dan cis male. 

Calalai dilahirkan dengan tubuh perempuan, tetapi berciri rada maskulin. Calabai dilahirkan dengan tubuh laki-laki, tetapi berciri feminin. Gender kelima dalam budaya Bugis adalah Bissu. Mereka mewakili keseluruhan spektrum gender, berkat tidak dianggap baik laki-laki maupun perempuan. Bissu mewujudkan kekuatan semua gender sekaligus, dan mencampurkan elemen-elemen yang dianggap feminin dengan unsur maskulin.

Istilah Bissu juga memiliki implikasi di luar konteks biologi. Budaya Bugis tidak mengenal konsep terlahir dalam tubuh yang salah. Sudah pada abad ke-16, para pelaut dari Eropa mencatat dan merefleksi pada keragaman gender di Sulawesi Selatan. 

Baca juga | Bupati Maluku Tenggara diduga melakukan kekerasan seksual terhadap seorang perempuan berusia 21 tahun - Jangan diperhalus: Ngomongnya 'rudapaksa', maksudnya 'perkosa'

Dikejar-kejar, diburu, dibunuh dan dipaksa menjadi laki-laki

Doktrin penolakan ‘kelainan’ gender dan penolakan ‘waria’ sudah menjadi pengalaman traumatis Bissu sejak puluhan tahun. Sejak tahun 1950an mereka menjadi sasaran kekerasan, lantaran dianggap bertentangan dengan Islam. Bissu diintimidasi, dikejar-kejar, diburu, dibunuh dan dipaksa menjadi laki-laki. Dari lama sudah dikucilkan, warisan peradaban masyarakat Bugis terancam punah di masa depan.

2023 06 13 M T Beitragsbild Martha Bugis 1140x855

Kronologi masa kini pelarangan pagelaran Bissu

2017Acara Porseni Waria-Bissu se-Sulsel yang digelar di Kabupaten Soppeng, pada 19-22 Januari 2017 lalu, batal digelar karena dilarang dengan alasan tidak memiliki ijin dari pihak kepolisian.

2022 – Komunitas Bissu Bone tidak diikutkan dalam Hari Jadi Bone (HJB) ke-692. Perayaan ini menghilangkan peran bissu dalam prosesi ritual Mattompang Arajang merupakan pesta adat yang dilaksanakan tahunan oleh pemerintah Kabupaten Bone untuk membersihkan benda-benda pusaka warisan Kerajaan Bone.

2023 – Pentas seni ‘Rindu Bissu’ di Watampone, Bone dibubarkan oleh aparat polisi dan pemerintah Kabupaten Bone. 

(Marten Schmidt, Art Calls Indonesia, 25.09.2023)

Gender Bissu dan Masyarakat Bugis: 

Lontar Media Nusantara (Indonesia): Bissu Setelah Islamisasi Bugis

Counterpoint Magazine (Jerman): Beyond Gender Categories: The Bissu of Sulawesi

(Foto Header: Ilustrasi Bisu, Counterpoint Magazine | Foto No. 2: Dokumentasi pembubaran pentas seni 'Rindu Bissu', Detik Sulsel | Foto No. 3: Ilustrasi Bissu, MeinTestgelaende.de)