Revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mengatur HAM kalian untuk bebas berpendapat, dibuat makin problematik dan lentur
Dalam penambahan aturan baru, negara bisa memutus akses informasi dengan dalih keamanan, aturan pencemaran nama baik makin ganas, dan pasal-pasal kacau yang sebelumnya sudah sah, masih bercokol
Arsip ACI
Sekilas
- Pada awal Januari presiden Joko Widodo menandatangani (mengesahkan) revisi naskah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
- Revisi itu masih memuat pasal-pasal kontroversial yang lama tentang pencemaran nama baik, ujaran kebencian dan informasi palsu
- Pertahanan pasal-pasal kolot itu memperpanjang situasi rapuh bagi semua orang yang mengeluarkan pendapatnya. Pasal-pasal itu rupanya kian efektif untuk menjerat dan membungkam warga, demi kepentingan elit.
- Tambahan aturan baru pun dianggap berbahaya dan membuka peluang untuk dipakai sewenang-wenangnya
Masih dalam suasana berpesta atau juga hibernasi setelah natal dan pergantian tahun, saat warga Tanah Air belum kembali ke realitas nan groggy, Presiden Joko Widodo rupanya sudah menggunakan momen-momen sunyi itu untuk mengesahkan sejumlah aturan baru dalam UU ITE. Revisi itu membuka peluang bagi elit dan pejabat untuk semakin melindungi diri mereka dari warga yang rese dan kritis. Revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE resmi diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Januari 2024. Dengan pengesahan UU ITE jilid dua itu, kini undang-undang tersebut resmi diberlakukan. Salinan undang-undang tersebut bisa diunggah di situs resmi Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kementerian Sekretariat Negara.
Sebelumnya, revisi itu atas UU Informasi dan Transaksi Elektronik sudah disetujui DPR dalam rapat paripurna pada Desember 2023. Dalam pemutakhiran UU ITE adapun beberapa pasal dan ayat yang dinilai lentur dan kurang jelas.
Pasal-pasal itu dipakai buat apa?
Pasal 27 ayat (1) hingga (4) kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil. Sedangkan Pasal 28 ayat 1 dan 2 kerap dipakai untuk membungkam kritik. DPR dan pemerintah juga tambahkan ketentuan baru: Salah satunya, pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang. Pasal itu bersifat lentur dan berpotensi sengaja digunakan untuk membungkam warga kritis.
Baca juga: Penyebaran opinimu tetap masih bisa menjadi peluangmu masuk penjara
Sedangkan, Pasal 28 ayat 3 dan pasal 45A ayat 3 tentang pemberitahuan bohong atau informasi yang menyesatkan bersifat multitafsir, tanpa pendefinisian jelas tentang artinya berita bohong. Pasal 28 kerap digunakan untuk membungkam kritik oleh warga sipil, terutama terhadap kelompok minoritas dan kelompok rentan.
Pasal 40 tentang intervensi pemerintah ke sistem elektronik memberi negara peluang untuk mengawasi penyebaran informasi. Pasal ini memberi kewenangan bagi pemerintah untuk memutus akses terhadap informasi yang dianggap mengganggu ketertiban dan melanggar hukum.
Koalisi Serius menilai UU ITE baru itu dibuat terburu-buru demi sekadar kejar target tayang saja. Pasal-pasal yang selama ini dianggap sebagai aturan karet masih diberlakukan, meski naskah UU ITE sudah direvisi.
(Marten S, 11.01.2024, ART CALLS Indonesia)
Siaran Pers SAFEnet:
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik:
Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kementerian Sekretariat Negara