Seni itu aktivisme atau latihan berestetika? Ketika kita menganggap bahwa kesenian sebatas suatu latihan kepekaan terhadap estetika saja, maka teks ini sudah berakhir di paragraf pertama ini. Tak ada salahnya berfilsafat tentang maknanya warna kuning, dan artinya di balik kubus-kubus geometris terpapar pada kanvas bertumpahan &lsquo;drip painting&rsquo;. &ndash; Setidaknya bagi kami, kesenian sarat potensi untuk menjadi lebih dari suatu ruang untuk bertukaran apresiasi saja.&nbsp;
'Mahkamah Rakyat Luar Biasa' misalnya, sebuah aksi sipil yang dibalut dalam settingan layaknya pengadilan, telah mempersidangkan presiden Joko Widodo yang didakwa menitikberatkan agenda politik dia pada kepentingan diri sendiri saja. Meski forum 'MK Rakyat Luar Biasa' tak punya legitimasi apa-apa secara hukum, aksi itu menunjukkan kreativitas para ilmuwan, akademisi, pakar tata negara, ahli hukum dan pejuang keadilan sosial.&nbsp;
<a href="https://www.festwochen.at/en/wiener-erklaerung" target="_blank" rel="noopener">Forum serupa juga diadakan dalam rangka festival seni 'Pekan Raya Wina'</a> (Wiener Festwochen) di Austria, di mana aktor-aktor politik setempat juga dipanggil untuk hadir dalam acara seni berkedok persidangan. Bedanya: Di sana konsep yang sama diwujudkan oleh pelaku-pelaku seni.
Tanpa menghasut siapa-siapa: Apakah para pejuang keadilan sosial di Indonesia lebih kreatif daripada orang-orang seni?&nbsp;
Yang jelas: Potensi kancah kreatif di Indonesia masih jauh dari maksimal. Sebagai negara adidaya dalam seni dan budaya, yang punya begitu banyak warisan tak-benda, industri kreatif lokal belum menjadi kekuatan lunak (untuk memperkuat 'jenama' Indonesia sebagai pelabuhan industri kreatif, dan destinasi pariwisata).
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/20487c89-97af-41ab-9b62-d71822687fbd?width=1920&amp;height=1080" alt="Pyc H2" />
<h6>Didampingi delegasi 'top-tier' Presiden Joko Widodo meresmikan gedung Papua Youth Creative Hub di Jayapura pada Maret 2023 | Foto: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif</h6>
&lsquo;Kita ini seperti raksasa tertidur. [Kita] harus melibatkan banyak kalangan yang selama ini belum tersentuh oleh gerak kebudayaan,&rsquo; <a href="https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/06/21/pemajuan-kebudayaan-bekal-menjawab-tantangan-masa-depan?open_from=Humaniora_Page">menyimpulkan Hilmar Farid</a>, Direktur Jenderal Kebudayaan pada konferensi pers 'Jalan Kebudayaan: 7 Tahun UU Pemajuan Kebudayaan' di Jakarta (21/06).
Tentu saja praktisi seni di Tanah Air bukan miskin daya khayal, mereka bukan kalah dengan seniman mancanegara, dan Indonesia bukan titik buta pada peta seni dunia. Disebut secara acak dan tanpa urutan, Tita Salina misalnya dengan karya bertema pelestarian ekologi pernah disoroti Galeri Nasional Australia. Mella Jaasma (misalnya dengan aransemen performatif bertema kolonialisme) atau Entang Wiharso (karya-karya buatan logam yang dipotong) sudah dikenal lama di luar Indonesia sebagai seniman lintas-disiplin. Begitu pun perupa Eko Nugroho (&lsquo;Carnival Trap&rsquo;) dan Zico Albaiquni (&lsquo;For Evidently&rsquo;). Adapun banyak karya lokal terhimpun di luar negeri, misal oleh alm. Semsar Siahaan (&lsquo;Olympia&rsquo;). <a href="https://www.alisoncarroll.net/wp-content/uploads/2018/10/89-Between-Worlds-Raden-Saleh-and-Juan-Luna.pdf">Raden Saleh</a> pun sudah menjadi semacam tamu tetap di Galeri Nasional Singapura.
Semua karya tersebut pernah dipamerkan dan di-kontekstualisasi di luar negeri. Kesenian khas Indonesia sudah dikenal speknya: Segar, energik, lucu, ambigu, kadang politis dan kadangkala juga apolitis.&nbsp;
<h6><a href="https://artcallsindonesia.com/read/menolak-menikmati-warisan-berlimpah-perempuan-ini-kembalikan-rp-425-miliar-demi-pemajuan-demokrasi" target="_blank" rel="noopener">Baca juga:&nbsp;Menolak menikmati warisan berlimpah, perempuan ini 'kembalikan' Rp 425 miliar demi pemajuan demokrasi</a></h6>
<h3>Transformers&nbsp;</h3>
Kalau kesenian dan pelaku seni asal Nusantara bisa begitu diapresiasi di luar negeri (<a href="https://artcallsindonesia.com/search?q=documenta%20fifteen" target="_blank" rel="noopener">&lsquo;documenta fifteen</a>&rsquo;), mengapa banyak acara seni di dalam negeri terasa rada hambar, gitu-gitu saja, tanpa nilai tambahan bagi audiens (<a href="https://artcallsindonesia.com/read/apa-sih-gunanya-bikin-pameran-seni-rupa-tanpa-mengedukasi-pengunjungnya" target="_blank" rel="noopener">habis foto-foto, monggo pulang</a>)? - Singkatnya, kurang kreatif.
Mengukur daya kreatif siswa Indonesia, hasil studi PISA 'Creative Thinking' menunjukkan bahwa siswa di Indonesia minim kreativitas (hanya lima persen siswa Indonesia dinilai mampu berpikir secara kreatif <a href="https://artcallsindonesia.com/read/siswa-di-indonesia-tak-mampu-berpikir-kreatif-0-mahir-membaca-hingga-paham-konteks-hanya-5-yang-berpikir-outside-the-box" target="_blank" rel="noopener">menurut studi PISA</a>). &ndash; Dalam peliputan terkait tema tersebut, ACI telah <a href="https://artcallsindonesia.com/read/mending-bodoh-ramai-ramai-daripada-cerdas-sendirian" target="_blank" rel="noopener">merangkul tanggapan pembaca ACI</a> yang rata-rata tak kaget dengan penemuan yang dilontarkan PISA.&nbsp;
&lsquo;Saya pernah mengajar di suatu SD, dan pernah disuruh menilai ujian seni. Tugasnya, siswa disuruh menggambar bebas. Satu kelas gambarnya sama plek-ketiplek. Artinya, yang punya ide satu, yang lain nyontek semua,&rsquo; ujar seorang pembaca ACI.&nbsp;
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/8da724fd-1a83-402c-9e99-dd50e6d1fac7?width=2000&amp;height=1414" alt="Skl1" />
<h3>Menerawang</h3>
Ketika daya imajinasi tidak distimulasi dalam benak para siswa, mereka akan kesulitan berpikir secara kohesif ketika beranjak dewasa. Apapun yang bersifat tak-benda tampaknya cukup susah untuk ditaksir. Banyak hal dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya hanya bisa dipahami jika kita mampu berpikir abstrak: Misal, <a href="https://www.instagram.com/p/C8bcB1fSIhD/?igsh=dHM4MWtraXdzNmV6" target="_blank" rel="noopener">soal polusi udara</a>. &lsquo;Ya mau bagaimana lagi, memahami majas metafora seperti &lsquo;Angin tak punya KTP&rsquo; saja mereka tak mampu,&rsquo; kata salah satu pembaca ACI.
Saya sendiri pun, saat masih bekerja sebagai guru Bahasa Inggris di Jakarta beberapa tahun yang lalu, pernah melontarkan pertanyaan sederhana kepada murid-murid (rata-rata usia 16 hingga 22 tahun) saya: &lsquo;Jakarta punya berapa banyak penduduk?&rsquo; &ndash; Sedikit syok, tak ada satu pun siswa yang menjawab pertanyaan saya dengan benar. &lsquo;Seribu?&rsquo; &ndash; &lsquo;Sejuta?&rsquo; &ndash; Memperkirakan jumlah penduduk di sebuah kota memanglah memerlukan kemampuan berpikir abstrak. Jadi, ini sebenarnya masalah minim pengetahuan umum, atau kebutaan akan keadaan abstrak?
Tersosialisasi dalam lingkup pendidikan di mana pelafalan materi lebih dihargai daripada pemikiran mandiri, kita memang tak pernah distimulasi untuk berimajinasi. Semua anak sekolah di Indonesia tentu hafal Pancasila dan lagu Indonesia Raya, tapi apa yang menciptakan rasa Keindonesiaan dalam pendirian mereka? Seni? Sastra? Likely not.
<h6>Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/mending-bodoh-ramai-ramai-daripada-cerdas-sendirian" target="_blank" rel="noopener">"Mending bodoh ramai-ramai daripada cerdas sendirian"</a></h6>
<hr />
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/93f532ff-2c01-4dee-a621-b982d05fd4df?width=1019&amp;height=1358" alt="Img 5004" />
<h6>Bertarung hingga berdarah dan luka besar, ACI bertemu dengan pemain Caci. Anjungan NTT di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur | Foto: Art Calls Indonesia&nbsp;</h6>
<h3>Menyala</h3>
Kalau sistem pendidikan di Indonesia kurang sanggup menajamkan daya pikir anak bangsa, mengapa aktor-aktor dari kancah seni tak mengambil peran dalam (sorry, patetis) proses pemajuan bangsa ini?
Belakangan ini, <a href="https://artcallsindonesia.com/read/buku-apa-saja-yang-dinilai-terlalu-bokep-dan-pedofil-untuk-program-sastra-masuk-kurikulum" target="_blank" rel="noopener">program Sastra Masuk Kurikulum ramai dikritik</a>, sehingga <a href="https://nasional.tempo.co/read/1874452/kemendikbudristek-cabut-rekomendasi-buku-sastra-karena-mengandung-unsur-kekerasan" target="_blank" rel="noopener">dicabut oleh Kementerian Pendidikan</a>. Mengapa tak ada satu pun tokoh publik atau lembaga yang seyogianya bersedia berkontribusi: &lsquo;Kalau sastra tak masuk kurikulum, saatnya anak-anak muda masuk sastra!&rsquo;
Mengapa ekosistem seni tak menyala dan lebih berikhtiar menjadi wadah pendidikan alternatif? Langkah yang mesti diambil tak terlalu ruwet: Sediakanlah pendekatan sosial dan inklusif untuk mempertemukan audiens awam dengan seni dan budaya.&nbsp;
Apa susahnya mengimplementasikan satu dan lain ide inklusif dalam pelaksanaan acara seni rupa misalnya? Apa sih yang dibutuhkan untuk meningkatkan pengalaman para pengunjung? &ndash; Sangat simpel: 'Tuan rumah' yang ramah, penjelasan mengenai karya-karya yang diperlihatkan, kesempatan untuk bertukar pendapat, dll.&nbsp;
Jika 'narasi' itu tak tersedia dalam pameran seni rupa, pengunjung hanya dipersilakan untuk memuaskan hasrat narsisnya saja, dan menjadi sebatas reporter untuk akun sosmed mereka sendiri. Peluang untuk mengkonstruksi audiens baru sedemikian dibuang. <a href="https://artcallsindonesia.com/read/apa-sih-gunanya-bikin-pameran-seni-rupa-tanpa-mengedukasi-pengunjungnya" target="_blank" rel="noopener">Liputan kami</a> seputar tema tersebut juga mencuat banyak kritik, ada pun beberapa pembaca yang menanggapinya sebagai sifat 'elitis': &lsquo;Kok jaman sekarang masih ada yang menggurui di seni?&rsquo;.
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/7041f6c4-3db6-4598-b3bc-bb2c2f2a4773?width=2000&amp;height=1414" alt="Info Sheet Problem Budaya Eko Sistem" />
Kubu tersebut juga beranggapan bahwa apresiasi pada seorang kreator seni itu mutlak, dan diwajibkan. Apakah 'apresiasi' itu dikemukakan lewat jepretan selfie atau percakapan bermakna menjadi sekunder saja.&nbsp;
<h3>Komunikasi vertikal</h3>
'Apresiasi' yang ditagih oleh orang-orang berpandangan seperti itu tampaknya juga berkorelasi dengan kebiasaan &lsquo;komunikasi vertikal&rsquo; yang kita semua alami sehari-hari. Singkatnya, hanya orang-orang tertentu berhak untuk mengekspresikan diri.&nbsp;
Lucunya, kesepakatan sosial atau bahkan 'feodal' itu sudah mulai dilepas: Dalam lingkungan urban kita sudah mulai mentolerir orang-orang berpakaian 'nyeleneh' (misalnya cowok mengenakan baju 'non-maskulin'). Tapi, toleransi itu masih terbatas pada individualisme secara busana saja. Melawan arus dengan opini yang 'menyimpang'? Wallahu A&rsquo;lam. &ndash; &lsquo;Emang lu siapa?&rsquo; &ndash; &lsquo;Emang kenapa kalau bukan siapa siapa?&rsquo;
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/5e7b0038-01e5-4975-9b32-560bd14c82c1?width=1080&amp;height=1080" alt="Julid Graph" />
Masalah komunikasi 'satu arah' tersebut juga termanifestasi dalam tata arsitektur Taman Ismail Marzuki misalnya. Hingga kini masih banyak seniman resah mengungkapkan ketidakpuasan terhadap TIM yang baru, lantaran mereka kurang dilibatkan dalam proses revitalisasi. Arsitektur di TIM juga tampaknya tak mengajak untuk mempertemukan kelompok-kelompok berbeda. Kendati areanya sangat luas, tak ada satu pun 'assembly point' dalam aransemen bangunan.&nbsp;
<h3>Getting out of the box</h3>
Memfasilitasi dan menghidupkan kesenian membutuhkan daya berpikir 'out of the box'. Tanpa kecerdasan sosial yang tinggi, tanpa kepekaan akan kebutuhan audiens, tanpa 'acumen' (penalaran tajam), tidak akan terkemuka ide-ide 'inklusif'.
Seni memang tak harus bersifat inklusif, tapi berpeluang menjadi lebih relevan bagi masyarakat kebanyakan dengan pendekatan inklusif. &lsquo;Otak gue gak nyampe&rsquo; &ndash; Ungkapan paling fatal yang bisa dialamatkan pada seorang seniman oleh audiens.&nbsp;
Bayangkan semua anak SD di Indonesia memperoleh kesempatan untuk menyaksikan pertunjukan teater anak-anak bertema angin dan laut, di mana anginnya meniup sebuah kapal yang terbawa oleh ombak ke suatu pulau terpencil &hellip; (kembali ke &lsquo;majas metafora angin tak punya KTP&rsquo;). &ndash; Melatih kreativitas bisa dipraktik melalui membiasakan membaca, menulis dan mengobservasi. Kemampuan untuk menyerap informasi dengan baik dan benar menjadi bekal komunikasi yang jitu. Kemampuan berkomunikasi kemudian menjadi kuncinya 'problem solving'.
Apa yang menahan stakeholders, pekerja dan pegiat di sektor seni dan budaya untuk sedikit merangkul filosofi inklusivitas tersebut? Kekurangan dana? ART CALLS Indonesia juga bisa menyediakan tempat pertukaran pengetahuan tanpa donasi dana. Kurang bernyali? Mungkin. Enggan atau tak mampu berpikir 'outside the box'? Sepertinya iya. (Marten S, Art Calls Indonesia, 26.06.2024)
&nbsp;

Apakah kancah seni lokal belum paham pola pikir 'outside the box'?

Tau ga kalian &lsquo;SJW&rsquo; itu apa? Bukan <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Pumpunan_Moda_Cakra_Selaras_Wahana" target="_blank" rel="noopener">nama halte Busway</a>, tapi singkatan pro dari Social Justice Warrior. Para pejuang keadilan masyarakat yang sejahtera itu bekerja secara digaji dan secara ikhlas (kaya di idealisme) pada ragam bidang profesi, mulai dari hukum hingga media alternatif. Mereka semua berseri keras demi menghidupkan roh orang pinggiran.
Dalam definisi sederhana, kaum pinggiran itu meliputi kurang lebih semua orang yang tidak setuju atau direpresi oleh status quo di Tanah Air. Entah di ranah politik, bidang hukum atau bahkan ekonomi kreatif, semua teritori terasa dipegang kalangan abang-abangan nepotis dan berharta. Bagi yang terlahir miskin atau tanpa penis, silakan minggir! &ndash; One step back, two steps forward, pada akhir pekan lalu Project Multatuli, platform media alternatif berbasis di Jakarta, memanggil semua orang pinggiran untuk melepaskan diri dari kepompong isolasi dan bertaut sesama orang idealis.
Terdiri dari serangkaian lokakarya komunal dan diskusi publik, <a href="https://www.instagram.com/pestapinggiran/" target="_blank" rel="noopener">Pesta Pinggiran</a> hadir di beberapa sudut di Taman Ismail Marzuki. ACI menyimak salah satu sesi bincangan berjudul &lsquo;Dunia kita hari ini: Tidak ada satu orang pun yang ingin melihatmu berjuang sendirian&rsquo;.&nbsp;
<h3>Berjuang biar apa?</h3>
&lsquo;Jadilah realistis, tuntut yang tidak mungkin,&rsquo; menyemboyankan Evi Mariani selaku direktur Project Multatuli pada perhelatan Pesta Pinggiran. Menanti pemilu 2024, warga Pesta Pinggiran turut menekankan bersama Evi Mariani bahwa tingkat demokrasi yang sudah tercapai di Indonesia tidak boleh menjadi arena perburuan kekuasaan semata. Ketika masyarakat berpaling dari demokrasi karena sudah pesimis terhadap niat-niat terselubung dari para aktor politik, dan mereka tersebut memanfaatkan keabsenan jeweran masyarakat guna melanggengkan kekuasaan belaka, maka berjalannya proses demokrasi makin dihalangi. Orang-orang pinggiran dan terpelajarlah yang sarat dibutuhkan untuk menjadi watchdog dan pejuang utopia.&nbsp;
Gugun Muhammad selaku wakil Urban Poor Consortium memaknai definisi &lsquo;warga pinggiran&rsquo; dari sudut pembagian kelas masyarakat. Namun, bukan hanya secara tingkat ekonomi, sebab pengartian &lsquo;pinggir&rsquo; atau orang-orang &lsquo;terpinggirkan&rsquo; juga bisa diterapkan pada beberapa aspek lain.
Baca juga: (Wawancara) <a href="https://artcallsindonesia.com/read/kami-adalah-ruang-di-mana-khalayaknya-merasa-nyaman-untuk-berbagi-gagasan-gagasan-mereka" target="_blank" rel="noopener">'Kami adalah ruang di mana khalayaknya merasa nyaman untuk berbagi gagasan-gagasan mereka'</a>
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/f3a1a4a4-ba31-44a5-8dd7-1e9673f550cb?width=1920&amp;height=1080" alt="Pinggiran 1" />
<h6>Frida Kurniawati selaku wakil gerakan Extinction Rebellion. | Foto: Art Calls Indonesia&nbsp;</h6>
<h3>Miskin akses&nbsp;</h3>
Dalam diskusi publik di Pesta Pinggiran, ia menjabarkan mengapa lembaga Urban Poor Consortium dengan sengaja memakai kata &lsquo;miskin&rsquo;, berbeda dengan institusi-institusi pemerintah yang merujuk pada orang-orang &lsquo;berpenghasilan rendah&rsquo;. Menurut Gugun Muhammad, kemiskinan itu tidak hanya bisa diukur dari kemampuan finansial, melainkan juga dari miskinnya akses.&nbsp;
Contoh: Warga Jakarta semestinya mempertahankan akses ke pantai. Sepanjang pesisir laut, Jakarta hanya memiliki tujuh titik akses publik ke pantai. Dari batasan Tangerang hingga Bekasi, pandangan ufuk ke Laut Jawa dimiliki swasta &ndash; seperti di Pantai Indah Kapuk. Keterbatasan akses tersebut belum pernah dipikirkan oleh warga Jakarta berkat kita &lsquo;rela membayar untuk akses, karena kita permisif&rsquo;.
&lsquo;Kita permisif karena kita mampu,&rsquo; jelas Gugun Muhammad.&nbsp;
<h3>Berjuang sendirian</h3>
Sebagai individu yang terpinggirkan opsi-opsi yang tersedia untuk dapat didengar tampaknya sangat terbatas. Tanpa konsolidasi dengan kawan-kawan sepemikiran, tidak akan ada aksi yang menampol. Menurut Evi Mariani seorang pinggiran tidak boleh &lsquo;antagonis&rsquo; sesama kawan aktivis, dan kudu bertaut dalam &lsquo;aliansi sementara&rsquo;.
Sebagai narasumber wacana publik di Pesta Pinggiran, Evi menceritakan pengalaman berpartisipasi dalam unjuk rasa demi kepentingan Palestina yang dihelat di Monas beberapa waktu lalu. Ia sempat melihat beberapa orang berorientasi queer turut-menurut pada demonstrasi Pro-Palestina itu. &lsquo;Saya hormat,&rsquo; kata Evi yang mengingatkan bahwa mereka itu bisa saja tidak diterima oleh peserta lainnya pada demonstrasi itu, hingga rentan &lsquo;digebukin&rsquo; oleh demonstran lain.&nbsp;
Kemampuan dan kepekaan untuk bertaut satu sama lain terlepas dari bubble masing-masing menjadi PR utama bagi pelaku SJW. &lsquo;Hal itulah yang terkadang hilang di antara teman-teman aktivis, mereka pada suka judgmental,&rsquo; imbuh Evi.&nbsp;
<h3>Lidahnya suka macet kalau harus komunikasi sama orang dari lingkungan lain</h3>
Frida Kurniawati selaku wakil gerakan Extinction Rebellion bersepakat: Sebagai penyalur peringatan dampak krisis iklim ia pun juga menyadari tembok-tembok sirkel anak aktivis. Ketika mau berkolaborasi dengan pihak lain, semuanya berujung dengan &lsquo;dia lagi, dia lagi&rsquo;. Bubble-bubble tersebut tampaknya masih sulit didobrak.&nbsp;
<h3>&lsquo;Kita di Gudskul masih belajar sama konsep inklusivitas&rsquo;</h3>
Felix Dass dari wadah seni Gudskul menambahkan pengalamannya dari sudut pandang seorang pelaku ekosistem seni. Gudskul, yang pada tahun lalu juga hadir di pagelaran <a href="https://artcallsindonesia.com/read/making-your-way-through-with-the-options-given" target="_blank" rel="noopener">documenta fifteen</a>, bertujuan untuk menciptakan ruang bagi praktisi seni pendatang baru. Menurut Felix, pemerataan akses informasi &ndash; atau alhasil inklusivitas yang hidup &ndash; masih harus dikerjakan lebih serius. &lsquo;Kita di Gudskul masih belajar sama konsep inklusivitas,&rsquo; mengaku Felix.&nbsp;
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/tips-untuk-membedakan-open-call-bermutu-dari-yang-sebaiknya-diskip-saja" target="_blank" rel="noopener">Tips untuk membedakan Open Call bermutu dari yang sebaiknya diskip saja</a>
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/50ebbc89-2786-4085-b9a1-4f1a1c2ec514?width=1080&amp;height=1080" alt="Pinggiran 2" />
<h3>Masa depan Project Multatuli&nbsp;</h3>
Masih dalam diskusi yang sama, Evi Mariani meningkatkan audiensnya untuk tetap setia pada ide-ide yang ingin dijelmakan, dan mencontohkannya dengan lika-liku yang dia hadapi sebagai penanggung jawab Project Multatuli. Kesintasan platform media yang ia telah dirikan bersama beberapa kawan pekerja media, belum dijamin untuk ke depannya. &lsquo;Kalau gak ada dana masuk, ya kita mati dengan damai saja,&rsquo; kata Evi.
&lsquo;Project M bisa saja mati, tapi kawan-kawan (kontributor) kita, dengan pengetahuan yang sudah kita pegang, bisa bikin apa saja, saya yakin.&rsquo; Ia berharap sebagai media non-profit yang didanai donor-donor besar, Project M masih bisa berjalan untuk beberapa tahun. &lsquo;Kita harus setia pada ide. Setia sama ide, jangan setia sama manusia (saja),&rsquo; tutup Evi.&nbsp;
<h3>Amunisi intelektual&nbsp;</h3>
Setelah dua jam dengan diskusi yang bernas, moderator sesi bincang pinggiran Sofie Syarief pun mengaku sudah capek. Sebagai jurnalis ia pun setiap hari berhadapan dengan tingkah laku pelaku politik yang membuat semua orang jenuh. Sebagai suara kritis ia kadangkala merasa kenyang dengan profesinya sendiri. Mantra beliau: Resist (menahan menyerah?), Rest (istirahatlah habis berkarya, berjarak dengan karya sendiri), dan Repeat (sampai ketemu duit?).&nbsp;
Baca juga: (Ulas Bahasa) <a href="https://artcallsindonesia.com/read/jangan-diperhalus-ngomongnya-rudapaksa-maksudnya-perkosa" target="_blank" rel="noopener">Jangan diperhalus: Ngomongnya 'rudapaksa', maksudnya 'perkosa'</a>
<h3>Memanfaatkan momentum</h3>
Seperti kebanyakan &lsquo;talkshow&rsquo; pada umumnya, selepas &lsquo;talk&rsquo; nya tidak ada &lsquo;show&rsquo; di sesi bincang Pesta Pinggiran. Audiens dipersilakan bubar, dan di antaranya beberapa pun terlihat belum puas, dan masih pengen berjejaring lebih dekat. Momentum langka itu, saat orang-orang sepemikiran sudah berada pada satu titik temu, masih kurang dimanfaatkan oleh penyelenggara Pesta Pinggiran.
Tapi: mungkin itu hanya anggapan saya saja &ndash; dan mungkin peserta pinggiran lain sudah puas-puas saja. Begitu dengan seorang pemirsa acara yang sempat saya mengajak ngobrol sehabis event. &lsquo;Gimana tadi acaranya, menurut mas nya?&rsquo; &ndash; Seorang bertato sepanjang lengan / piercing di sudut mulut / celana robek / Macbook Pro menjawab: &lsquo;Mantepp,&rsquo; sambil mengacung jempol dan meminggirkan diri, menandakan ia tidak berkenan untuk ngobrol. Mungkin itu juga spek orang pinggiran.
(Marten Schmidt, Art Calls Indonesia, 29.11.2023)

Miskin akses dan kurang memeka kolaborasi: Catatan 'warga pinggiran' terpelajar

This column called ACI WITH ACCENT is usually published in Indonesian and discusses all things &lsquo;intercultural&rsquo;. Interculturalism, putting it simply, is nothing else than seeing things from more than just one cultural perspective. We publish this very article in English and try to &ndash; literally &ndash; help seeing things from another cultural perspective &ndash; for those who aren&rsquo;t in or from Indonesia.&nbsp;
What&rsquo;s cooking? Again and again the overall same <a href="https://artcallsindonesia.com/read/ruangrupa-kembali-dicela-media-mancanegara-direktur-documenta-menegur-ruangrupa-secara-terang-terangan-kepala-universitas-hfbk-hamburg-mengaku-kesal" target="_blank" rel="noopener">antisemitism accusations</a> ruangrupa has to face. Although, in fact, the Jakarta-based collective ruangrupa might not even nurture concrete intentions to disseminate any politically negative signals. ACI outlines in <a href="https://artcallsindonesia.com/read/ruangrupa-kembali-dicela-media-mancanegara-direktur-documenta-menegur-ruangrupa-secara-terang-terangan-kepala-universitas-hfbk-hamburg-mengaku-kesal" target="_blank" rel="noopener">several articles</a> why ruangrupa, who masterminded last year&rsquo;s prestigious documenta festival, got into antisemitism allegations.&nbsp;
Those allegations do not come from anonymous 'netizens', but top down. President of Germany Frank-Walter Steinmeier, Chancellor of Germany Olaf Scholz, Federal Government Commissioner for Culture and Media in Germany Claudia Roth, documenta boss Andreas Hoffmann, a 133-page report by equidistant experts &ndash; all of them are addressing in one way or the other the elephant in the room. The mentioned <a href="https://news.artnet.com/market/expert-report-on-documenta-15-calls-show-an-echo-chamber-for-israel-related-antisemitism-but-its-authors-defend-artistic-freedom-2253347" target="_blank" rel="noopener">report even concludes</a> that documenta fifteen &ldquo;served as an echo chamber for Israel-related antisemitism and sometimes pure antisemitism.&rdquo; And: Antisemitism-allegations from last year arise again (09/10/2023), as <a href="https://artcallsindonesia.com/read/ruangrupa-kembali-dicela-media-mancanegara-direktur-documenta-menegur-ruangrupa-secara-terang-terangan-kepala-universitas-hfbk-hamburg-mengaku-kesal" target="_blank" rel="noopener">two members of ruangrupa are publicly admonished</a> by the new director of the documenta art festival.&nbsp;
The PR-blaze ruangrupa ignited back in 2022, during documenta, with opaque communication on their stance on antisemitism, could have been quenched immediately back then.
More from ACI:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/the-real-reasons-why-most-indonesians-don-t-like-to-read" target="_blank" rel="noopener">The real reasons why most Indonesians don&rsquo;t like to read</a>
<hr />
<h3 style="text-align: center;">Art is in its kernel all about the ability to think dually, to oscillate between varying perspectives</h3>
<hr />
To put it simply, every culture has their own values and doctrine. Accused of antisemitism by German media (a sensitive topic for Germans for historic reasons), ruangrupa decided to make themselves scarce. Unavoidably, a previously minor dismay turned into a campfire for antagonists which would have needed rhetorically brave firemen to be put out.&nbsp;
Art is in its kernel all about the ability to think dually, to dichotomise, to oscillate between varying perspectives and to hold up a mirror to those you wish to address. And if you are invited to conceive one of the world&rsquo;s most renowned and oldest art festivals as a fete for the Global South in a Western country, I think it doesn&rsquo;t hurt to be somewhat apt in those &lsquo;intercultural&rsquo; abilities.&nbsp;
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/5e574664-7a79-4c06-b1bb-09db92db4a8b?width=1200&amp;height=800" alt="Ruangrupa 2" />
<h6>The collective collectively united in a photo | Foto: Der Standard&nbsp;</h6>
Artistically, all critics agree that the people of ruangrupa introduced new alternative schemes of understanding art in the Northern art hemisphere. But as curators &ndash; and curators do have to talk, negotiate and convey their ideas rhetorically &ndash; ruangrupa missed out on many opportunities. Here&rsquo;s why:
<h3>Leverage</h3>
In Indonesia, we do have loads of talk shows. Mostly in the concept of vertical communication. People perceived as worth listening to because of age, status or family background are given full attention to say whatever they want. And then they take the floor flooding us with the forever same verbiage.&nbsp;
Although this might be dyed in a lot of stereotyping, Germany loves to discuss &ndash; consequently, dead-ass seriously and passionately. Sometimes even just for the sake of intellectual swordplay itself. No matter of your stand or your &ndash; lets say &ndash; age, no one would cut you short with a &lsquo;sok tau lu&rsquo; (know-it-all!), returning the scepter to those eligible.
&ndash; And that's the exit ruangrupa should have taken to gain leverage. Talking, talking, talking instead of feeling misunderstood. Germany is perhaps indeed THE country of talk shows in television, in art theaters and in academic surroundings. If ruangrupa only wanted, they surely could have been invited to &ndash;&nbsp; lets say &ndash; <a href="https://www.zdf.de/gesellschaft/markus-lanz" target="_blank" rel="noopener">Markus Lanz</a>, Germany's number one chat-show host, similar to Kick Andy or Najwa Shihab in Indonesia. Without being judged, but being asked rhetorically tricky questions, they could have squashed all allegations they faced.
More from ACI:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/why-even-bother-reading-when-reading-is-such-a-useless-activity" target="_blank" rel="noopener">Why even bother reading, when reading is such a useless activity</a>
<h3>Asymmetric vocabulary&nbsp;</h3>
I read a newspaper round up the other day <a href="https://www.abendblatt.de/kultur-live/article237541353/antisemistismus-skandal-documeta-fifteen-hochschule-fuer-bildende-kuenste-debatte.html" target="_blank" rel="noopener">about an audience discussion which featured members of ruanrgupa and Taring Padi.</a> In short, the German audience was cross examining the Indonesian panelists, who seemingly were cornered. &ndash; Well, that's not surprising! In Indonesia there are no such panel talks where the audience rhetorically disassembles the most renowned person in the room. The clumsy reaction of ruangrupa and Taring Padi, as portrayed in said article: &lsquo;I don't know&rsquo; &ndash; &lsquo;In Indonesia (...) we don't have the vocabulary for this (...)&rsquo;.
<hr />
<h3 style="text-align: center;">Yes, the German media (Feuilleton) is a minefield which twists every semantic bit of yours&nbsp;</h3>
<hr />
To me personally &ndash; back to interculturally appreciating and taking everyone as they are &ndash; it&rsquo;s alright if one lacks the vocabulary to name certain things &ndash; happens to me all the time. Especially when I want to make a joke, but miss the timing, when that one certain word keeps resisting to pop up in my head. The thing is, the curators of documenta were given vast options to embrace, analyze and perhaps even assimilate with German culture. There is nothing wrong with assimilating as long as it helps you to make yourself heard, making your ideas accessible in the way your addressee can understand them. Some of the ruangrupa members were even<a href="https://artcallsindonesia.com/read/ruangrupa-kembali-dicela-media-mancanegara-direktur-documenta-menegur-ruangrupa-secara-terang-terangan-kepala-universitas-hfbk-hamburg-mengaku-kesal" target="_blank" rel="noopener"> invited as visiting professors</a> to a university in Hamburg, and some of them are still said to reside in Germany. In that case, one could know better about how things are, no?
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/7615418a-250a-4dec-89af-08ab85d6fb80?width=1333&amp;height=1000" alt="D15 Ruangrupa 2022 06 04 &copy; Documenta 15 Nicolas Wefers 1" />
<h6>A collective dealing with a collateral image-damage | Foto: Nicolas Wefers, Documenta</h6>
<hr />
<h3 style="text-align: center;">In Germany you can even present lewd poems about politicians having zoophile tendencies</h3>
<hr />
Cultural misunderstanding can only be solved through intercultural communication. Yes, the German media (<a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Feuilleton" target="_blank" rel="noopener">Feuilleton</a>) is &ndash; when they are cantankerous towards someone &ndash; a minefield which twists every semantic bit of yours. But that's journalism, that's discussion, that's what makes people talk. Everyone &ndash; beside those put in focus (ruangrupa).
<h3>That's how it is. It is how it is&nbsp;</h3>
In Germany, one can even present lewd poems about politicians <a href="https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2016/04/07/a-german-comedian-read-a-lewd-poem-about-turkeys-erdogan-now-he-could-face-jail-time/" target="_blank" rel="noopener">having zoophile tendencies and doggy-sex with goats</a>. You wouldn&rsquo;t have to clandestinely recite those eddy pieces of prose in some cellar theatre &ndash; things as such get aired on publicly funded television during prime time in Germany.
Whereas in Indonesia, even a harmless <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20221121145047-20-876511/pembuat-meme-iriana-jokowi-dan-ibu-negara-korsel-mau-minta-maaf" target="_blank" rel="noopener">meme about the president's wife</a> can have severe legal consequences. Imagine European artist Hermann Nitsch being asked to do an art performance at ARTJOG, splattering (haram) pig&rsquo;s blood all over Jogja. Unimaginable, undoable, illegal! And so it is.&nbsp;
My point is, things are always contextual. What you can demand from an audience depends on where the audience is (locus). As a very simplistic example: <a href="https://artcallsindonesia.com/read/apakah-mengagung-agungkan-bule-adalah-hal-yang-terinstitusionalisasi" target="_blank" rel="noopener">Youtubers who target Indonesian audiences</a>. They would usually do a video of them wandering around somewhere in Indonesia, commenting on random things either negatively or positively, and eventually lure thousands of 'netizens' into sharing their sulky or overproud reactions. Take it or leave it, it is how it is.
It is how it is for us, as a small media platform, as well. How dearly we would like to do commentaries on politicians, calling them to account. But, can we? No. Pencemaran nama baik. We have our lawyer checking our articles when necessary to give clearance, although they are harmless. That's how it is.
More from ACI:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/vacuum-in-the-collective-brain-understanding-the-brain-drain-in-indonesia" target="_blank" rel="noopener">Vacuum in the collective brain &ndash; Understanding the brain drain in Indonesia</a>
<h3>Biting the bullet</h3>
It takes some bravery to bite the bullet, to face intellectuals who might not be affable. But when you are asked to face the challenge, then why don&rsquo;t do it? It beggars description to promote diversity on one side, but to blame cultural misunderstandings on the other side.&nbsp;
Trying to practice what I preach: I&rsquo;m not being paid by any German entity to expose these opinions of mine. It's a lot more simple: To me, it's about seeing the good things (or if you want it this way: the things you can use to leverage something) in an individual cultural context. In Germany it's perhaps their egalitarian discussion culture. In Indonesia, it's the power of the many young people who live here! And here&rsquo;s us, trying to ignite discussions among young people (a little bit of both).&nbsp;
(Marten Schmidt, 13.10.2023, Art Calls Indonesia)&nbsp;
&nbsp;

Making your way through with the options given

<ul>
<li aria-level="1">Direktur ajang seni Documenta mengkritik ruangrupa melalui surat terbuka, dan menyatakan bahwa documenta tidak berasosiasi dengan ideologi antisemit</li>
<li aria-level="1">Kepala Universitas HFBK Hamburg mengaku menyesal, karena ia telah titip kepercayaan pada pihak yang cenderung resisten dan ogah belajar dari kesalahan komunikasi publik sebelumnya&nbsp;</li>
</ul>
<hr />
Q&amp;A &ndash; Sandiwara seputar kiprah ruangrupa di Jerman tak ada habisnya. Pada tahun lalu ruangrupa <a href="https://artcallsindonesia.com/read/taring-padi-komunitas-seni-yang-pada-2022-menjadi-pemicu-skandal-documenta-dapat-penghargaan-lokal" target="_blank" rel="noopener">enggan menghadapi konfrontasi dan diskusi</a> dengan peminat documenta setelah mereka sendiri memicu ledakan terbesar di kancah seni Eropa pasca-pandemi. Kala itu, ruangrupa dituduh berciri antisemit.&nbsp;
Beberapa karya yang dipamerkan di documenta (dan kemudian diturunkan) memuat simbol antisemit, seperti karikatur orang Yahudi sebagai vampir, tentara berhidung babi dan makhluk tamak. Fitur-fitur tersebut umum dipahami sebagai pola dasar stereotip antisemit sejak ratusan tahun. Sebuah karya mural oleh <a href="https://artcallsindonesia.com/read/taring-padi-komunitas-seni-yang-pada-2022-menjadi-pemicu-skandal-documenta-dapat-penghargaan-lokal" target="_blank" rel="noopener">Taring Padi</a> sebesar baliho dan bertuliskan 'People&rsquo;s Justice', dan karya bertajuk 'Gaza Guernica' kemudian diturunkan dari 'documenta fifteen'. Kala itu, direktur utama Sabine Schormann juga mengundurkan diri. <a href="https://news.artnet.com/market/expert-report-on-documenta-15-calls-show-an-echo-chamber-for-israel-related-antisemitism-but-its-authors-defend-artistic-freedom-2253347" target="_blank" rel="noopener">Sebuah laporan</a> berisi 133 halaman yang dibuat oleh beberapa pakar dipilih documenta, menilai hasil kerja ruangrupa (sebagai kurator festival) sebagai 'ruang gema khusus antisemitisme (...).'
Sekian tentang kejadian tahun lalu &ndash; dilansir berbagai media mancanegara, ruangrupa kembali terseret tuduhan serupa. Sebelumnya, perlu dijelaskan konteks sebagaimana ruangrupa kembali bisa terpeleset tuduhan antisemitisme.&nbsp;
<h3>Sebagai penambahan konteks</h3>
<h6>Di Jerman, bangkitnya gelombang solidaritas untuk Israel sedang mendominasi dan mengungguli sayap simpatisan pro-Palestina. Mayoritas orang Jerman lebih bersimpati dengan warga Israel berkat sejarah kejam Jerman sebagai pelaku kekerasaan antisemit. Penculikan dan pembantaian yang dilakukan Hamas sejak akhir pekan lalu memperkuat keberpihakan publik dan pemerintah Jerman pada Israel. Data yang dihimpun organisasi ZAKA mencatat minimal dua korban jiwa asal Jerman. Di berbagai kota di Jerman, tindakan <a href="https://www.spiegel.de/international/germany/muslim-anti-semitism-in-berlin-wide-swaths-of-arab-speaking-population-harbor-sympathies-for-terrorists-a-f7c73040-7be1-4509-9150-810266818f49" target="_blank" rel="noopener">unjuk rasa pro-Palestina</a> telah dilarang pemerintah setempat, dengan dalih pencegahan potensi agitasi anti-Israel dan anti-Yahudi.&nbsp;</h6>
<h3>Jejak-jejak pro-Palestina di Instagram</h3>
Meninggalkan beberapa jejak pro-Palestina di media sosial, dua anggota ruangrupa ditegur secara publik oleh pihak documenta pada 09/10/2023. <a href="https://www.documenta.de/en/news#news/3267-pressemitteilung-documenta-geschftsfhrer-andreas-hoffmann-zu-social-media-likes-von-ruangrupa-mitgliedern-zu-pro-palstinensischer-demonstration-in-berlin-am-vergangenen-samstag" target="_blank" rel="noopener">Surat resmi oleh documenta</a> yang dilansir Andreas Hoffmann, selaku direktur documenta, menekankan bahwa documenta menolak konten yang di-like dua anggota ruangrupa. Dukungan ruangrupa kepada konten tersebut adalah tindakan yang &lsquo;tidak dapat diterima&rsquo;. Lantas, Hoffman menjauhkan documenta &lsquo;in the strongest possible terms&rsquo; dari pola antisemit.&nbsp;
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/7615418a-250a-4dec-89af-08ab85d6fb80?width=1333&amp;height=1000" alt="D15 Ruangrupa 2022 06 04 &copy; Documenta 15 Nicolas Wefers 1" />
<h6>Kolektif seni ruangrupa | Foto: Nicolas Wefers, Documenta | Common Use</h6>
<h3>Siapakah anggota ruangrupa yang dimaksud?</h3>
<h6>Himbauan mengenai privasi: ACI merasa tingkat informasi sudah terpenuhi tanpa menamakan kedua anggota ruangrupa tersebut secara individual. Kami memutuskan untuk menerbitkan artikel ini dengan hanya memakai akronim (RA dan IH) kedua anggota ruangrupa yang telah menjadi fokus diskusi dalam hal ini.&nbsp;</h6>
<h3>Konten apa yang memicu tuduhan antisemitisme tersebut?</h3>
Dilansir berbagai media berbasis di Jerman, tuduhan tersebut baru dimunculkan pada pekan ini. Seiringan dengan perang yang sedang berlangsung antara grup Hamas (yang di Barat tergolong sebagai teroris) dan negara Israel, sebuah pihak yang tidak disebut dalam pemberitaan media Jerman, berinisiatif melacak jejak-jejak daring oleh RA dan IH. Kedua anggota ruangrupa tersebut dituduh nge-like konten yang (tergantung penafsiran Barat/Timur) berciri pro-Palestina atau antisemit. Unggahan reel itu memperlihatkan sekelompok demonstran di Berlin bersorak &lsquo;Palestine will be free&rsquo;.&nbsp;
<hr />
<h3 style="text-align: center;">Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/vacuum-in-the-collective-brain-understanding-the-brain-drain-in-indonesia" target="_blank" rel="noopener">Vacuum in the collective brain &ndash; Understanding the brain drain in Indonesia</a></h3>
<h6 style="text-align: center;">Brain drain basically describes what happens when highly skilled workers go abroad to seek for better jobs &ndash; and never return home again. Well, good for them &ndash; but what about the rest of us?</h6>
<hr />
<h3>Apa sih masalahnya mereka nge-like konten pro-Palestina?</h3>
Preferensi politis mereka adalah urusan pribadi. Namun, sebagai penerima dana dari pemerintah Jerman dan bintang utama documenta, ruangrupa harus sadar akan pengaruh mereka. Konten video tersebut yang di-like RA dan IH diunggah oleh sebuah akun Instagram bernama <a href="https://www.instagram.com/realdocumenta/" target="_blank" rel="noopener">&lsquo;Real Documenta&rsquo;.&nbsp;</a>
<h3>Apa itu &lsquo;Real Documenta&rsquo;?</h3>
Sebuah akun Instagram dengan jumlah followers yang cukup rendah. Akun tersebut berdoktrin pro-Palestina dan secara ngotot memotret ruangrupa sebagai korban shitstorm media Eropa.
<h3>Bagaimana reaksi ruangrupa?</h3>
Menurut RA dan IH sangkaan antisemitisme tersebut adalah <a href="https://news.artnet.com/art-world/documenta-denounces-ruangrupa-again-2375667" target="_blank" rel="noopener">&lsquo;absurd dan tidak benar&rsquo;.&nbsp;</a>Kepada media <a href="https://www.hna.de/kassel/documenta-chef-kritisiert-ruangrupa-video-like-palaestina-92570720.html?trafficsource=ECRslide" target="_blank" rel="noopener">HNA dari Jerman</a>, RA dan IH mengaku bertindak salah dengan nge-like video itu. Melalui lansiran resmi, Andreas Hoffman meluruskan, bahwa kedua anggota ruangrupa sudah &lsquo;nge-unlike&rsquo; video tersebut.&nbsp;
<h3>Apakah ruangrupa masih di Jerman?</h3>
Sebagian dari anggota kolektif ruangrupa <a href="https://www.hna.de/kassel/documenta-chef-kritisiert-ruangrupa-video-like-palaestina-92570720.html?trafficsource=ECRslide" target="_blank" rel="noopener">masih bermukim di Jerma</a>n bersama keluarga masing-masing.&nbsp;
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/8d272dfc-f3a6-4c9d-b701-381fa9ebede8?width=2000&amp;height=1333" alt="Martin Kottering.original" />
<h6>Martin K&ouml;ttering, kepala Universitas Hochschule f&uuml;r Bildende Kuenste Hambung | Foto: HFBK Hamburg</h6>
<h3>Kepala Universitas HFBK Hamburg mengaku kesal&nbsp;</h3>
Kepala Universitas Hochschule f&uuml;r Bildende K&uuml;nste Hamburg turut buka suara perihal tuduhan terbaru terhadap ruangrupa. Universitas tersebut telah memfasilitasi dua anggota ruangrupa sebagai dosen tamu. Keterlibatan akademik mereka sudah berakhir pada semester lalu (musim panas 2023). Hadirnya mereka sebagai tenaga dosen pada mulanya cukup dikritik oleh berbagai pihak pendukung Israel.&nbsp;Diwawancari koran <a href="https://www.abendblatt.de/hamburg/kultur/article239769203/HFBK-Praesident-zu-Ruangrupa-Laesst-mich-ver-zweifeln.html" target="_blank" rel="noopener">Hamburger Abendblatt </a>(Jerman), Martin K&ouml;ttering (kepala Universitas HFBK), mengaku kecewa berat dan kesal:
<h3 style="text-align: center;">&ldquo;Setelah Universitas HFBK sudah berupaya keras untuk menyalurkan dialog pada semester lalu, hal ini seharusnya tidak terjadi. Dengan serius saya bertanya, apakah komitmen kami (untuk mencerahkan dialog) sebagai lembaga seni dan ilmiah, selama ini disia-siakan? (...) saya (sudah) putus asa terhadap kemampuan (mereka) untuk berargumentasi secara persuasif dan terefleksi.&rdquo;</h3>
<h6 style="text-align: center;">Martin K&ouml;ttering, kepala Universitas Hochschule f&uuml;r Bildende Kuenste Hambung</h6>
Universitas HFBK juga <a href="https://www.abendblatt.de/hamburg/kultur/article239769203/HFBK-Praesident-zu-Ruangrupa-Laesst-mich-ver-zweifeln.html" target="_blank" rel="noopener">menyediakan tanggapan</a> terhadap status keterlibatan anggota ruangrupa sebagai dosen tamu: &ldquo;RA dan IH sudah tidak lagi menjabat sebagai dosen di HFBK Hamburg. Jabatan dosen tamu telah berakhir pada semester musim panas 2023.&rdquo;
<h3>Kenapa ruangrupa dikritik secara masif?</h3>
Sebagai tim kuratorial documenta fifteen mereka telah hadir di medan kesenian internasional. Ranking skena seni <a href="https://ocula.com/magazine/art-news/ruangrupa-top-art-review-power-100/" target="_blank" rel="noopener">&lsquo;Power 100&rsquo;</a> menaruh ruangrupa pada perangkat pertama khusus sosok-sosok paling berpengaruh dari kancah seni internasional.
<h3>Adapun alasan lain ruangrupa terus &lsquo;digebuk&rsquo; media internasional: Komunikasi publik yang sangat buruk</h3>
Pada 2022, pembongkaran karya &lsquo;antisemit&rsquo; di documenta sudah menyalakan diskusi intens dalam kalangan insan intelektual di Jerman. Kala itu, ruangrupa tidak mempertanggungjawabkan filosofi mereka secara retorik. Padahal kalangan intelektual di Jerman menggemari memusyawarahkan masalah apapun secara retorik. Ruangrupa tidak menghadapi diskusinya. Melainkan, bersama pengelola documenta mereka melansirkan tanggapan yang <a href="https://www.artnews.com/art-news/news/ruangrupa-documenta-15-anti-semitism-allegations-response-1234628183/" target="_blank" rel="noopener">mencap semua sangkaan</a> sebagai &lsquo;bad-faith attempts to delegitimize artists&rsquo;.&nbsp;
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/8ea8e0f8-bdc7-47d2-b29d-e448ffcb6ba5?width=1920&amp;height=1080" alt="Taringpadi100 V Fullhd" />
<h6>Di Jerman dan banyak negara Eropa lainnya, tindakan meremehkan Holocaust layaknya penistaan Islam di Indonesia. | Foto: Frankfurter Allgemeine Zeitung, Juni 2022</h6>
<h3>&lsquo;Di Indonesia, (...) kami tidak memiliki kosakata yang sama seperti di Jerman'</h3>
Kekurangan bakat ruangrupa untuk bersinar sebagai narasumber wacana juga dikritik oleh <a href="https://www.abendblatt.de/kultur-live/article237541353/antisemistismus-skandal-documeta-fifteen-hochschule-fuer-bildende-kuenste-debatte.html" target="_blank" rel="noopener">Hamburger Abendblatt</a>, yang pada Februari 2023 merangkum sebuah diskusi panel bersama ruangrupa dan Taring Padi:&nbsp;
Dalam wacana yang diadakan Universitas HFBK, seorang anggota Taring Padi mengaku tidak sadar akan makna simbol-simbol antisemit pada lukisan Taring Padi. Pernyataan itu &ndash; sesuai rangkuman Hamburger Abendblatt &ndash; kemudian memicu amarah di auditorium. &lsquo;Lah, apa lagi makna karya itu kalau bukan antisemit&hellip;,&rsquo; imbuh seorang pemirsa. Abendblatt mendeskripsikan suasana diskusi bak pemeriksaan silang. Seorang pemirsa turut bertanya, apakah karya People&rsquo;s Justice akan dipamerkan kembali. Sudah terpojok dan kurang berbakat berkata, perwakilan Taring Padi sekadar menjawab &lsquo;Saya tidak tahu&rsquo;. Alhasil, reaksi ketidaksenangan bergema di dalam auditorium.&nbsp;
Dilansir Abendblatt, diskusinya kemudian diambil alih oleh seorang anggota ruangrupa, yang mengudar kesalahpahamannya: &lsquo;Di Indonesia, kami tidak memiliki kesadaran (akan sejarah tersebut) dan tidak memiliki kosakata yang sama seperti di Jerman untuk menamakan permusuhan terhadap kaum Yahudi&rsquo;. Pengakuan itu kemudian disusul himbauan bahwa documenta fifteen digagas sebagai acara untuk belajar bersama. Argumen anggota ruangrupa lantas dipotong komentar moderator - kesimpulan moderator: Konsep itu jelas gagal.
<hr />
<h3 style="text-align: center;">Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/the-real-reasons-why-most-indonesians-don-t-like-to-read" target="_blank" rel="noopener">The real reasons why most Indonesians don&rsquo;t like to read</a></h3>
<h6 style="text-align: center;">As always, the issue is way more complicated than we&rsquo;d like to think. We have a long political and socioeconomic history which has turned us into a nation which famously &ndash; or rather, infamously, doesn&rsquo;t read.</h6>
<hr />
<h3>Impuls</h3>
Kami tutup artikel ini dengan undangan kepada semua pembaca dan peminat seni. Pemberitaan kami mengenai kiprah ruangrupa di Jerman selama ini disusul berbagai komen tidak berkualitas dan memunculkan berbagai reaksi yang cukup membuktikan kekurangan bakat retorik tersebut &ndash; menurut kami, impuls yang mungkin tidak terlalu persuasif atau cerdas. Maka, kami sangat terbuka untuk bertukar pengetahuan, sudut pandang dan pendapat secara teratur dan bermutu. Apabila Anda berkenan untuk turut berdiskusi secara satu arah, dua arah atau multi arah silahkan hubungi kami <a href="https://artcallsindonesia.com/read/kontak" target="_blank" rel="noopener">melalui email.&nbsp;</a>
(Marten Schmidt, 12.10.2023, Art Calls Indonesia)

Ruangrupa kembali dicela media mancanegara, direktur Documenta menegur Ruangrupa secara terang-terangan, kepala Universitas HFBK Hamburg mengaku kesal

Jakarta &ndash; Flashback: Pada ajang seni berprestasi &lsquo;documenta&rsquo; pada 2022 lalu, Indonesia telah mendapatkan kesempatan emas yang tidak akan kunjung datang kembali dalam volume yang sama: Kolektif seni &lsquo;ruangrupa&rsquo; diberi kesempatan untuk membawa Indonesia ke medan kesenian internasional. Sebagai tim kuratorial festival documenta, ruangrupa berhasil menghadirkan beragam perspektif dari &lsquo;Global South&rsquo; kepada khalayak di Jerman. Kelompok seni asal Jakarta itu sudah membuktikan bagaimana celah antara seni dan audiens awam bisa dijembatani secara hangat dan kreatif.&nbsp;
Jauh sebelum &lsquo;documenta fifteen&rsquo; terlaksana di kota Kassel pada 2022, awak ruangrupa sudah memperoleh kesempatan untuk mengenal budaya lokal orang Jerman. Atau dalam kata lain: Kesempatan untuk memahami audiens setempat. <a href="https://artcallsindonesia.com/read/bukan-hanya-di-sepak-bola-saja-indonesia-buang-peluang-emas-serupa-pun-sudah-terjadi-pada-piala-dunia-kesenian" target="_blank" rel="noopener">Kesempatan itu tampaknya kurang dimanfaatkan oleh ruangrupa</a>, yang pada akhirnya bukan menggugah publik Jerman akan segala perspektif dari negara-negara berkembang &ndash; namun terbalik: Mereka yang <a href="https://artcallsindonesia.com/read/karya-seniman-indonesia-dikatai-mengerikan-oleh-kanselir-jerman" target="_blank" rel="noopener">ditegur oleh publik Jerman</a> atas kenaifan sebagai tim kurator.&nbsp;
<h3>Shit happens&hellip;</h3>
Bagi publik di Jerman, ruangrupa baru menjadi nama yang dikenal secara umum dan objek perdebatan panas setelah sebuah skandal terungkap dan <a href="https://artcallsindonesia.com/read/begini-media-barat-mengomentari-permasalahan-documenta" target="_blank" rel="noopener">digoreng habis-habisan oleh media Jerman</a>.
<h3>What happened?</h3>
Taring Padi, kolektif seni asal Yogyakarta diundang documenta/ruangrupa ke Kassel. Salah karya Taring Padi yang berupa spanduk sebesar gaban dan bertuliskan &lsquo;People&rsquo;s Justice&rsquo; dipasangkan di sekeliling ruang publik kota Kassel. Lantas, seorang warga menemukan unsur-unsur rasis dan anti-semit (kebencian terhadap Yahudi) pada karya tersebut. Lukisan oleh Taring Padi tersebut memperlihatkan figur-figur yang dianggap berkonotasi rasis. &ndash; Setidaknya bagi penduduk Jerman yang sangat sadar akan masa gelap Nazi. Alhasil, karya People&rsquo;s Justice yang baru saja dipasang, langsung diturunkan dari documenta.&nbsp;
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/8ea8e0f8-bdc7-47d2-b29d-e448ffcb6ba5?width=1920&amp;height=1080" alt="Taringpadi100 V Fullhd" />
<h3><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/793bbaf9-2616-4b55-a77c-3a6b623d8ccf?width=610&amp;height=406" alt="Aktualisierte Judensau Banner" /></h3>
<h6>Di Jerman dan banyak negara Eropa lainnya, tindakan meremehkan Holocaust layaknya penistaan Islam di Indonesia. | Foto: Frankfurter Allgemeine Zeitung, Juni 2022</h6>
<h3>How the heck can that happen?</h3>
Seni bersifat kontekstual. Kontekstual terhadap lokus atau tempat di mana si seni dipertunjukkan. Di Jerman dan banyak negara Eropa lainnya, tindakan meremehkan Holocaust layaknya penistaan Islam di Indonesia. &ndash; Intinya: just don&rsquo;t, banyak ranjau sepanjang jalan. Walau di Jerman karya itu dianggap rasis, dan para kreator serta kurator minimalnya dianggap naif, karya tersebut tidak ada hubungan dengan sejarah Jerman, dan dibuat sebagai keresahan artistik atas kekerasan historis di Indonesia.
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/mengintip-ramah-tamahnya-skena-seni-rupa-yang-setara-dan-seru-di-bangkok" target="_blank" rel="noopener">Mengintip ramah-tamahnya skena seni rupa yang setara dan seru di Bangkok</a>
<h3>Disaster waiting to happen&hellip;&nbsp;</h3>
Tim kuratorial ruangrupa meloloskan sebuah benda seni (yang notabene sebesar papan reklame di jalan tol) yang sudah dijamin akan menuai kritik. Alhasil, kekagetan dan kekecewaan kancah seni, budaya dan media Jerman dipuncaki <a href="https://artcallsindonesia.com/read/karya-seniman-indonesia-dikatai-mengerikan-oleh-kanselir-jerman" target="_blank" rel="noopener">teguran oleh kanselir Jerman Olaf Scholz</a>.&nbsp;
Reaksi ruangrupa? Tidak berani sama sekali. Sudah masuk sorotan negatif, mereka memilih untuk tidak memposisikan diri mereka, dan <a href="https://artcallsindonesia.com/read/ruangrupa-buka-suara-untuk-sesaat" target="_blank" rel="noopener">tidak mengangkat suara sesuai visi</a> yang mereka membawa ke documenta: semuanya bersama-sama, bahu-membahu dan secara terbuka.
Sayang sekali, karena orang Jerman getol mewacana apapun hingga tuntas, secara teratur dengan pedang retorik yang tajam.
<h3>Whatever happens, happens</h3>
Documenta fifteen dan upaya kreatif ruangrupa sebagai dirigen festival tetap diulas positif. Namun, perdebatan antisemitisme yang dipicu lukisan tersebut (yang, sekali lagi, disalahpahamkan dalam konteks budaya Jerman) tetap beraroma negatif.&nbsp;
<h3>Penghargaan Akademi Jakarta</h3>
Terlepas dari perdebatan tahun lalu di luar negeri, Taring Padi dianugerahi penghargaan Akademi Jakarta pada pekan lalu (4/10/2023). Kolektif Taring Padi berdiri sejak 1998 dan diakui atas dedikasi untuk menyadurkan keresahan sosial dengan estetika kesenian. &rdquo;Kami membaca penghargaan ini sebagai salah satu tanda kembalinya aktivisme seni ke dalam ekosistem seni budaya kita, di mana ekspresi daya kreatif adalah bagian dari kerja-kerja politik di lapangan,&rdquo; kata Fitriani Dwi Kurniasih, anggota Taring Padi (dikutip <a href="https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/10/04/penghargaan-akademi-jakarta-2023-untuk-moelyono-dan-taring-padi" target="_blank" rel="noopener">kompas.id</a>)&nbsp;
Pada acara yang sama, perupa Moelyono (66) juga diberi penghargaan Akademi Jakarta.&nbsp;&nbsp;
(Marten Schmidt, 11.10.2023, Art Calls Indonesia)

Taring Padi, komunitas seni yang pada 2022 menjadi pemicu skandal documenta, dapat penghargaan lokal

<h3>Lembaga dari Inggris menyediakan hibah seni sebesar Rp 195 juta khusus praktisi seni pendatang baru</h3>
Terbuka untuk ajuan karya berupa gambar, ilustrasi, fotografi, kolase, seni media baru ataupun berbasis video oleh seniman muda dari seluruh dunia. Open Call ini dikhususkan untuk praktisi seni pendatang baru yang masih berada di langkah awal karier dan memiliki pengalaman berkarya maksimal lima tahun.
&lsquo;Saatchi Gallery&rsquo; adalah kubu seni berbasis di London, Inggris, dan akan menyediakan apresiasi berupa hibah seni sebesar GBP 10,000 (Rp 195 juta) bagi satu pemenang terpilih. Tidak hanya itu, pemenang juga berkesempatan untuk memamerkan karyanya di London pada akhir tahun 2023 &ndash; awal 2024.&nbsp;
<a href="https://mcsaatchi.com/artforchangeprize" target="_blank" rel="noopener">Daftar di sini </a>| Tenggat: 17 Juli 2023
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/local-pride-4-peluang-seni-buat-semua-insan-kreatif-di-indonesia" target="_blank" rel="noopener">Daftarkan karya film pendek untuk festival film Australia-Indonesia bertema 'Pencarian'</a>
<h3>Petani dan warga desa dari mana pun di Asia Tenggara diajak menjadi praktisi film</h3>
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/f06c8536-5be6-4781-8c89-82ba2bdc4141?width=1080&amp;height=1080" alt="Kebaya3" />Peluang seni ini mengombinasikan dua hal yang tampaknya tidak saling berhubungan: Kehidupan di bilangan rural dengan kehidupan sebagai filmmaker. Jadi gini: Open Call ini berjudul &lsquo;Field Films&rsquo; memanggil peminat dan praktisi film yang sekaligus memiliki latar belakang sebagai petani atau pemukim perdesaan di mana pun di Asia.&nbsp;
Lewat program &lsquo;Field Films&rsquo; ini kalian didukung dalam merealisasi karya film perdana. Cukup mirip dengan konsep &lsquo;Lumbung&rsquo; yang dibawa ruangrupa dalam pelaksanaan ajang seni &lsquo;documenta fifteen&rsquo;, program ini pun mementingkan aspek kebersamaan antar peserta secara harfiah. &ndash; Bagaimana petani saling dapat belajar dari satu sama lain, bagaimana pangan dapat dikelola dengan baik, dan bagaimana ini semua dapat diceritakan lewat film.&nbsp;
Karya film yang dapat direalisasi dalam program ini merupakan film pendek. Pelamar tidak harus memiliki latar belakang sebagai petani, pemilik sawah dan lain sebagainya, asal gagasan filmnya mewacanakan topik-topik seputar pertanian, ketangguhan dan pembagian.&nbsp;
<a href="https://yaocollaborative.org/field-films-open-call" target="_blank" rel="noopener">Daftar di sini</a> | Tenggat: 25 Agustus 2023
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/7-open-call-lokal-yang-gak-boleh-kamu-skip" target="_blank" rel="noopener">Kesempatan untuk para produser film di seluruh wilayah di Indonesia untuk mengikuti program 'Jakarta Film Week Producers Lab 2023'</a>
<h3>Punya karya film dokumenter? Tayangkan di Bangkok Int. Documentary Awards</h3>
<h6><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/4ae80828-1805-48c4-bf0c-36774f8b1d44?width=1080&amp;height=1080" alt="3" />&nbsp;Foto: Arsip ACI</h6>
Bangkok Int. Documentary Awards 2023 akan digelar pada Desember mendatang. Tema tahun ini adalah &lsquo;Visions on Asia&rsquo;.&nbsp;
Film dokumenter terbaik dari Thailand bersama dengan karya dokumenter dari seluruh Asia Tenggara akan berlomba dalam berbagai kategori berbeda, antara lain &lsquo;Best Asian Documentary&rsquo;, &lsquo;Best Woman Director&rsquo; ataupun &lsquo;Best Documentary on LGBTQ+&rsquo;
<a href="http://www.bkkdoc.com/" target="_blank" rel="noopener">Daftar di sini</a> | Tenggat: 31 Juli 2023
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/7-open-call-lokal-yang-gak-boleh-kamu-skip" target="_blank" rel="noopener">7 Open Call lokal yang gak boleh kamu skip</a>
<h3>Peluang residensi di Jerman bagi pelaku seni rupa dan seni pertunjukan, serta kurator seni dari Indonesia&nbsp;</h3>
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/c9d63c6d-5cc8-4818-ab83-252e948d046d?width=1920&amp;height=1080" alt="Berloin" />Institusi budaya Jerman &lsquo;Goethe Institut&rsquo; memanggil praktisi seni khususnya seni visual dan seni pertunjukan (tari, teater) untuk turut melamar: Program residensi ini dijuluki &lsquo;The Reflekt&rsquo; dan menyediakan kesempatan bagi pekerja seni dari Indonesia, Malaysia dan Filipina untuk berkarya dan meluaskan wawasan di Jerman selama dua bulan.&nbsp;
Para peserta terpilih akan diundang ke tiga lembaga seni berbeda di Jerman yang berbasis di kota Berlin, K&ouml;ln dan Leipzig. Residensi akan berlangsung antara November 2023 hingga Januari 2024. Dalam masa residensi, peserta dapat mengembangkan gagasan karya hingga matang untuk dipertunjukkan/pamerkan di negara asalnya.
Goethe Institut menyediakan kuota lima &lsquo;slot&rsquo; untuk seniman dan kurator yang tertarik bertukar wawasan dengan rekan-rekan dari Jerman. Namun, Goethe Institut (khusus Indonesia) memprioritaskan pelamar dari Jakarta dan Yogyakarta.&nbsp;
Penyelenggara menyediakan transportasi gratis ke Jerman (pergi-pulang), dan menanggung biaya visa, asuransi dan akomodasi. Peserta juga akan mendapatkan honorarium sebesar Rp 33 juta.
<a href="https://www.goethe.de/ins/id/en/kul/kuf/aue/rfl.html" target="_blank" rel="noopener">Daftar di sini</a> | Tenggat: 31 Juli&nbsp;
&nbsp;

Cari peluang residensi atau hibah seni? Cek 4 kesempatan terbaru ini

Adigang, Adigung, Adiguna &ndash; Manusia itu <a href="https://artcallsindonesia.com/read/pada-pembukaan-pameran-seni-rupa-khusus-mereka-mereka-saja-mereka-berterus-terang-bahwa-kami-bukan-bagian-dari-mereka" target="_blank" rel="noopener">tak boleh sombong</a>. Walau nasihat tersebut berasal dari Bahasa Jawa, <a href="https://artcallsindonesia.com/read/apakah-generasi-muda-di-indonesia-insaf-akan-demokrasi-seperti-penduduk-muda-thailand" target="_blank" rel="noopener">orang Thailand</a> pun bernalar serupa. Terjun ke skena seni di Bangkok, rasanya bagai pemulihan sel dalam tubuh. Kami telah merasakan asiknya duduk bareng manusia-manusia seni dari Thailand, dan &lsquo;bersawala&rsquo; dengan mereka yang berhasrat mendorong kebebasan berekspresi di Negeri Gajah Putih.&nbsp;
Kemampuan mereka untuk menerjemahkan <a href="https://artcallsindonesia.com/read/apakah-generasi-muda-di-indonesia-insaf-akan-demokrasi-seperti-penduduk-muda-thailand" target="_blank" rel="noopener">keinginan sosial dan politis mereka</a> ke dalam berbagai media seni tidak hanya memotori pelaku seni muda, namun juga sosok-sosok senior. Yang membuat pekerja seni di Thailand menjadi ciamik, kokoh dan inovatif bukan hanya dari karya-karya yang mereka hasilkan. Lebih dari itu, mereka tampaknya lebih terbuka, tidak hanya nimbrung <a href="https://artcallsindonesia.com/read/pada-pembukaan-pameran-seni-rupa-khusus-mereka-mereka-saja-mereka-berterus-terang-bahwa-kami-bukan-bagian-dari-mereka" target="_blank" rel="noopener">dalam sirkelnya sendiri saja</a>, dan bersikap sangat amat genuine.&nbsp;
Baik pada pembukaan galeri swasta, pesta independen maupun pameran seni rupa di museum besar, skena seni di Bangkok terasa hangat. Wisatawan dari seluruh dunia pun meramaikan kancah seninya di ibu kota Negeri Gajah Putih. Seni non-komersial telah menjadi bagian dari kekuatan lunak Thailand. Kendati jauh lebih besar dalam semua aspek, Indonesia tidak punya nama setenar Thailand pada panggung internasional, seolah malaise atau 'ke-tidak-berkembangan' kancah seni masih harus kita melewati terlebih dahulu.&nbsp;
Nantikan seri wawancara dan artikel oleh ART CALLS INDONESIA dengan narasumber berikut:&nbsp;
<h3>Apinan Poshyananda, Direktur Bangkok Art Biennale dan Permanent Secretary, Ministry of Culture Thailand&nbsp;</h3>
<h6><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/deb8b0b1-4c0c-47eb-82bd-8a46d196fb00?width=2000&amp;height=1414" alt="Taco Bell" />'Tacobellmec.com' (2022) - karya seni oleh Henry Palacio, Bangkok Art Biennale 2023 | Foto: ACI Media Crew</h6>
Ngobrol bersama Apinan Poshyananda, ia membagikan cerita tentang nama-nama panjang dan berbunyi eksotis dari Asia Tenggara yang ia sudah perkenalkan pada medan kesenian internasional, antara lain: Heri Dono dan <a href="https://artcallsindonesia.com/read/menangkan-tiket-masuk-gratis-dan-bertamasya-ke-pameran-seni-di-jakarta" target="_blank" rel="noopener">FX Harsono</a>. Kami juga bicara dengan beliau tentang bagaimana caranya &lsquo;berkohesi&rsquo; di ASEAN pada zaman pra-internet, karier beliau sebagai pejabat, mengapa Bangkok Art Biennale berfokus pada seniman muda, pertemuan beliau dengan Marina Abramović di BAB, pikiran beliau tentang <a href="https://artcallsindonesia.com/read/bukan-hanya-di-sepak-bola-saja-indonesia-buang-peluang-emas-serupa-pun-sudah-terjadi-pada-piala-dunia-kesenian" target="_blank" rel="noopener">documenta fifteen</a> dan mengapa salah karya pada ajang BAB sempat dihancurkan.&nbsp;
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/pada-pembukaan-pameran-seni-rupa-khusus-mereka-mereka-saja-mereka-berterus-terang-bahwa-kami-bukan-bagian-dari-mereka" target="_blank" rel="noopener">Pada pembukaan pameran seni rupa khusus mereka-mereka saja, mereka berterus terang bahwa kami bukan bagian dari mereka</a>
<h3>Manit Sriwanichpoom: Fighter against the Supreme Court of Thailand&nbsp;</h3>
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/93c6165e-5fbe-4ed4-afc8-41fc19f0c519?width=1080&amp;height=1350" alt="Aci Thailand 3" />
<h6>'When I Was Twenty' - Manit Sriwanichpoom, HOP Photo Gallery Bangkok, 2023 | Foto: ACI Media Crew</h6>
Dalam wawancara dengan fotografer kondang Manit Sriwanichpoom (karya &lsquo;Pink Man&rsquo;) kami ngobrol tentang karya-karya yang diswa-sensor, perjuangan beliau melawan putusan Mahkamah Agung Thailand dan pameran beliau berisi foto-foto telanjang dari masa mudanya.
<blockquote>
<h3>&lsquo;Kok, Bapak rela menyempatkan waktu dua jam lebih untuk bicara dengan media mungil dari Indonesia?,&rsquo; saya sempat bertanya pada Manit Sriwanichpoom setelah wawancara. &lsquo;Semuanya hanya tentang tamat kegengsian dan mulai percaya diri,&rsquo; ia katakan.</h3>
</blockquote>
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/66c083cd-718f-4014-b9d4-826d1e3b0d0d?width=2000&amp;height=1414" alt="1" />
<h6>'Pink Man' oleh Manit Sriwanichpoom, karya dari pameran 'Pink, Black &amp; Blue' di HOP Photo Gallery Bangkok, 2023 | Foto: ACI Media Crew</h6>
<h3>Luckana Kunavichayanont: Direktur Bangkok Art and Culture Center</h3>
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/75d60459-b4f9-4a44-8aa6-d1ec4c3b68f9?width=2000&amp;height=1414" alt="Aci Thailand 1" />
<h6>Suasana di Bangkok Art &amp; Culture Center, 2023 | Foto: ACI Media Crew</h6>
Ikut kami berjumpa dengan ibu direktur <a href="https://artcallsindonesia.com/read/diam-diam-berjuang-muncul-dengan-prestasi-aamiin" target="_blank" rel="noopener">Bangkok Art and Culture Center</a>, salah satu alamat paling mantap di Bangkok bagi perupa. Museum ini cukup mirip <a href="https://artcallsindonesia.com/read/bagaimana-fasilitas-dan-suasana-taman-ismail-marzuki-yang-baru-menurut-kalian" target="_blank" rel="noopener">Taman Ismail Marzuki </a>dalam fungsinya, namun dimanjai dengan jauh lebih banyak pengunjung.&nbsp;
Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/bagaimana-fasilitas-dan-suasana-taman-ismail-marzuki-yang-baru-menurut-kalian" target="_blank" rel="noopener">Bagaimana fasilitas dan suasana Taman Ismail Marzuki yang baru menurut kalian?</a>
Ikuti kami pada pembukaan galeri swasta dan juga pada pertemuan dengan Pakapol, seorang perupa muda. Nimbrung bersama kami di sebuah hajatan seni independen yang hangat dan seru, dan ikuti kami mengintip salah satu galeri paling baru di Bangkok.&nbsp;
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/a11cf240-746f-452a-980f-ef31788d3b4b?width=2000&amp;height=1414" alt="2" />
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/b8029253-ba1c-4510-aca7-90e432f876b8?width=2000&amp;height=1414" alt="3" />
<h6>Suasana di 'Picollo Art Fest' (Februari 2023), Bangkok | Foto: ACI Media Crew</h6>
Tidak hanya itu, pada tahun 2024 akan ada kesempatan oleh ACI bersama <a href="https://artcallsindonesia.com/tentang-aci" target="_blank" rel="noopener">kerabat media</a> kami bagi perupa asal Indonesia untuk memamerkan karyanya di Bangkok.&nbsp;
Khap khun khrap/kha!

Mengintip ramah-tamahnya skena seni rupa yang setara dan seru di Bangkok

Ruangrupa, sebuah kolektif seni prestisius dari Jakarta, telah mendapatkan kesempatan yang hanya kunjung datang sekali dalam hidup. Mereka dinobatkan dengan salah ganjaran paling prestisius yang bisa diraih di dunia seni: Sebagai kolektif bintang tamu sekaligus tim kuratorial ajang seni &lsquo;documenta&rsquo; mereka sempat menduduki singgasana dunia kesenian. &ndash; Sebuah peluang emas yang sayangnya bermuara pada persepsi negatif dari publik mancanegara dan kasta politik terhadapnya. Selaras dengan kegagalan Indonesia pada pengelolaan ajang sepak bola U20, lika-liku penyelenggaraan documenta juga bersangkut paut erat dengan isu Israel.&nbsp;
Entah karena kenaifan politis atau kenaifan kultural, dalam kedua ajang internasional tersebut Indonesia disingkirkan usai gagal mengelilingi isu Israel tanpa berdiskriminasi terang-terangan. Namun, berbeda dengan U20, ajang seni documenta tidak dicampur adukkan dengan urusan intrik dan populis oleh para politikus Indonesia. Perkara documenta dan ruangrupa tampak lebih sepele: Sebab beberapa karya seni yang dipamerkan memungut <a href="https://artcallsindonesia.com/read/karya-seniman-indonesia-dikatai-mengerikan-oleh-kanselir-jerman" target="_blank" rel="noopener">karakteristik gambaran anti-Yahudi</a> (hidung mancung dll; estetika yang erat dengan karikatur rasis oleh Nazi).
Documenta digelar setiap empat tahun oleh pemerintah Jerman. Dalam kultur yang begitu waswas dan sadar akan tanggung jawab kasatmata negara terhadap zaman Nasional Sosialisme, tak heran jika lukisan-lukisan bernuansa rasis dituai kritik keras. Media seni dan pejabat <a href="https://artcallsindonesia.com/read/karya-seniman-indonesia-dikatai-mengerikan-oleh-kanselir-jerman" target="_blank" rel="noopener">hingga kanselir Jerman</a> himself sempat turut mengkritik documenta atas karya-karya seni diskriminatif terhadap kaum Yahudi. Berbeda dengan U20, di mana segelintir sosok politik regional tampaknya naif <a href="https://artcallsindonesia.com/read/stadion-sepak-bola-di-indonesia-lebih-aman-dipakai-buat-konser-k-pop-aja-deh" target="_blank" rel="noopener">memahami unggulnya olahraga sebagai kekuatan lunak</a>, documenta dan ruangrupa sempat gagal menjemput rezeki berkat kelalaian &lsquo;interkultural&rsquo; (atau kesadaran atas nilai-nilai dan amanah politis pada negara lain).
<blockquote>
<h6>Baca juga:&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/stadion-sepak-bola-di-indonesia-lebih-aman-dipakai-buat-konser-k-pop-aja-deh" target="_blank" rel="noopener">Stadion sepak bola di Indonesia lebih aman dipakai buat konser K-pop aja deh</a></h6>
</blockquote>
<h3>Kita belum berjodoh dengan komunikasi antarbudaya</h3>
Dalam perbandingan kedua kasus ini, muncul anggapan bahwa kita belum begitu berjodoh dengan komunikasi antarbudaya. Kita tampaknya hanya mengenal dengan komunikasi koersif, komunikasi dari atas ke bawah dan komunikasi satu arah. Sehingga Erick Thohir selaku utusan Indonesia diberangkatkan <a href="https://artcallsindonesia.com/read/aspek-yang-orang-indonesia-luput-kala-membela-budaya-tuan-rumah-piala-dunia" target="_blank" rel="noopener">ke Qatar </a>dan Swiss dengan pola bahwa semua masih bisa dilobi, atau dikomunikasikan dengan paksa.&nbsp;
Usai skandal documenta pada tahun 2022 silam, ruangrupa malah memilih untuk berdiam saja seolah mereka tidak sadar akan instrumen komunikasi interkultural. Para anggota ruangrupa sudah diperoleh banyak kesempatan jelang documenta untuk berbaur dengan konteks lokal dan skena seni di Jerman. Walau diberi perhatian segenap lanskap media internasional untuk memecahkan semua tuduhan rasis, ruangrupa sempat tampak bak belum siap membela diri sendiri melalui wacana dan aduan perspektif.&nbsp;
<h3>Konsekuensi&nbsp;</h3>
Politikus-politikus yang menyibak pegiat sepak bola dan publik Indonesia berkat&nbsp;manuver naif dalam diplomasi pada panggung internasional. &mdash; Pelaku-pelaku seni yang tak siap beradu secara retoris dalam sirkuit interkultural. &mdash; Pada taraf internasional, Indonesia akan seterusnya menghadapi momen-momen di mana adanya pertikaian dengan budaya lainnya yang tidak bersekutu dengan amanah anti-kolonial kita. &mdash; Baik politikus yang berkoar tanpa memikirkan konsekuensi, maupun seniman yang memilih untuk berdiam saja karena takut konsekuensi, dua-duanya bukanlah cara jitu untuk membela ideologi kita tanpa ujung-ujungnya malah dikucilkan.&nbsp;
Baik Piala Dunia U20 maupun pameran seni documenta sudah menjadi pengalaman pahit bahwa kita gagal mengonversi peluang emas menjadi prestasi. Kedua kesempatan tak akan kunjung datang lagi. Semua bangsa lainnya (baik yang demokratis maupun anti-demokratis) akan memperoleh kesempatan terlebih dahulu.&nbsp;
Walau karya-karya seni yang dipamerkan pada documenta fifteen sangat memukau, dan pemain sepak bola timnas U20 berhasrat berlaga di taraf internasional, kesempatannya sudah musnah. Dengan asumsi bahwa komunikasi interkultural adalah komponen yang sangat berpengaruh untuk menghindari kegagalan.&nbsp;&nbsp;
&nbsp;

Bukan hanya di sepak bola saja Indonesia buang peluang emas, serupa pun sudah terjadi pada 'piala dunia' kesenian

<h3>1. Inovasi Skena Seni Domestik:&nbsp;Taman Ismail Marzuki tampil dengan jubah brutalis&nbsp;</h3>
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/af7f26c1-b901-4b6a-b070-6c16188184e6?width=800&amp;height=800" alt="Aci Standard Open Calls 1080 14" />
Pada pertengahan 2022 kembali dibuka, Arsitek Andra Matin mengubah wajah Taman Ismail Marzuki menjadikan fasilitas ciri khas &lsquo;brutalis&rsquo;. Kala itu, Gregorio, <a href="https://artcallsindonesia.com/read/dominasi-jubah-brutalist-arsitek-muda-mengulas-wajah-baru-taman-ismail-marzuki" target="_blank" rel="noopener">penulis ACI sekaligus arsitek mengulas</a>: &lsquo;Gedung Panjang&rsquo; kurang menggugah perasaan mengenai sebuah bangunan kesenian. Material beton yang diolah menciptakan dominasi warna abu-abu pada badan Gedung Panjang. Karakteristik akromatik yang ditimbulkan warna abu memberi kemungkinan agar bangunan menjadi tidak mencolok; absennya warna pada warna abu seolah tidak memberikan jiwa pada ruangan yang terbentuk.&nbsp;
<h3>2. Highlight Skena Seni Domestik:&nbsp;ruangrupa kini dikenal pegiat seni dari seluruh dunia&nbsp;</h3>
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/5e54c8df-e60f-42fa-99d9-2b6b382568ba?width=800&amp;height=800" alt="ruangrupa" />
Kolektif seni ruangrupa asal Jakarta telah meraih kesempatan emas yang kunjung datang hanya sekali dalam hidup: Menjadi kurator ajang seni prestisius documenta di Jerman. Dihelatkan pada pertengahan 2022, ruangrupa memperkenalkan reka baru pada documenta. Konsep mereka, membuat seni menjadi lebih kolektif dan rendah akses.
<h3>3. Debat Panas di Dunia Seni:&nbsp;ruangrupa dan panitia documenta gagal mengelola ajang seni documenta&nbsp;</h3>
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/4192e58a-4650-4cf8-8e14-e23640c8a2cb?width=800&amp;height=800" alt="bencana seni di documenta fifteen" />
Tak sedap, tapi kehadiran ruangrupa sebagai tim kuratorial documenta telah berakhir dalam <a href="https://artcallsindonesia.com/read/karya-seniman-indonesia-dikatai-mengerikan-oleh-kanselir-jerman" target="_blank" rel="noopener">epic fail yang cetak sejarah di dunia seni</a>. Pola pikir mereka dianggap terlalu naif dan &lsquo;Ketimuran&rsquo; menurut resipien seni di Jerman. Terlepas dari perbedaan perspektif antarbudaya, ruangrupa dalam rangka documenta nampak tidak berkenan untuk betul-betul meng-enter wacana antar budaya dengan media di Jerman, dan mereduksi diri ke dalam batas-batas seni saja &ndash; cukup kontras dengan inklusifitas yang ingin diciptakan oleh mereka. Tak ada inklusivitas tanpa konfrontasi (diskusi).&nbsp;
<h3>4. Seni dan Politik: Komen paling nonsense, ajaib dan nirfaedah:&nbsp;Sandiaga Uno ingin musik Dangdut diakui UNESCO&nbsp;</h3>
Sandiaga Uno sepertinya pengen banget berjiwa muda. Pada beberapa kesempatan dia sudah mengaku menikmati musik dangdut koplo. Namun, selera musik pribadinya ingin Sandiaga Uno selaku kepala Kemenparekraf diakui oleh UNESCO. Menurutnya, musik dangdut layak menjadi warisan takbenda Indonesia tercatat resmi di UNESCO. Jika ajuan itu lolos, kami siap kurasi mixtape deretan lagu dandgut dalam bentuk kaset buat bapak Sandiaga Uno. Bagi semua pegiat industri kreatif dan budayawan lainnya kecuali Sandiaga Uno terdapat satu pertanyaan: Why? Daripada menanti para pejabat bergoyang pada ritme lagu Jupe (Ora peduli how do you how how), mending kita mendukung ide-ide pegiat seni pendatang baru.&nbsp;
<h3>5. Seni dan Politik: Iran, Ukraina, Myanmar dan semua bangsa manusia yang menderita atas represi melalui agama dan politik &ndash;&nbsp;Musik pop yang mengantar suasana merinding dari zona krisis</h3>
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/8f845124-4701-4e85-8f27-aab7ccfe2f75?width=800&amp;height=800" alt="Aci Rusia Coverage" />
Sadar akan resiko dipenjara, bahkan dihukum mati, banyak musisi pop dari Ukraina, Rusia ataupun Iran lantang bersuara. ACI <a href="https://artcallsindonesia.com/read/suara-lantang-lawan-perang" target="_blank" rel="noopener">telah mengeksplorasi skena musik di Ukraina dan Rusia</a> dalam liputan pada pertengahan 2022. Perlawanan mereka terhadap rezim otoritarian setempat bisa diuraikan dalam bahasa universal, yang bisa mengingatkan kita-kita di Indonesia juga untuk menghargai dan membela cakupan kebebasan berpendapat yang kita punya.&nbsp;
<h3>6. Seni dan Politik: Meluruskan sejarah:&nbsp;Indonesia minta Belanda mengembalikan aset leluhur Indonesia.&nbsp;</h3>
Lebih baik warga Indonesia disponsori tiket pesawat sama pemerintah Belanda untuk menyambangi aset-aset itu di museum di Belanda langsung daripada dibawa ke Indonesia, kemudian di&hellip; .
<h3>7. Lowkey ideas untuk membuat dunia seni lebih keren</h3>
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/097e6471-be05-4b23-a923-eda96a90b076?width=360&amp;height=449" alt="263737150 328692772079876 3536880751313017881 N" />
Dukung Art Calls Indonesia. Kami tahun ini sempat putus asa, tapi berdiri lagi untuk tetap turut menciptakan dunia seni yang<a href="https://artcallsindonesia.com/read/takluk-pada-native-speakers-ruwetnya-belajar-bahasa-asing" target="_blank" rel="noopener"> pancarona</a>!
<h3>8. Best thing to do pada tanggal 01.01.2023:&nbsp;Nonton konser tahun baru live dari Wina, Austria&nbsp;</h3>
<a href="https://www.youtube.com/watch?v=YliJtHk9YzU" target="_blank" rel="noopener">Vienna Philharmonic&rsquo;s New Year&rsquo;s Concert</a> disiarkan langsung dari Wina setiap tahun pada tanggal 1 Januari. Konser musik orkestra itu mengajak kita untuk bersama-sama merefleksi penuh melankoli pada tahun yang telah terlewati.&nbsp;
&nbsp;

Art Calls Indonesia recalls 2022

Jakarta / Kassel -&nbsp;ruangrupa cetak sejarah. Namun, secara negatif. Wira-wiri di media sosial, dikritik habis-habisan oleh <a href="https://www.merriam-webster.com/dictionary/feuilleton" target="_blank" rel="noopener">feuilleton Jerman</a> dan <a href="https://artcallsindonesia.com/read/karya-seniman-indonesia-dikatai-mengerikan-oleh-kanselir-jerman" target="_blank" rel="noopener">ditegur bengis</a> oleh para pejabat tertinggi Jerman: Pendapat publik tentang festival documenta menimpa aspirasi ruangrupa selaku tim kuratorial festival tersebut. Tuan tamu negara Jerman, diwakili oleh Presiden, Kanselir dan juga Menteri Budaya Jerman <a href="https://artcallsindonesia.com/read/karya-seniman-indonesia-dikatai-mengerikan-oleh-kanselir-jerman" target="_blank" rel="noopener">menegur dengan keras</a> tim pengelola festival.
Sekilas, pencapaian tim kuratorial ruangrupa terjegal dengan tuduhan antisemitisme sebab karya-karya oleh Taring Padi diasosiasikan dengan makna peyoratif terhadap orang Yahudi. Dalam konteks historis Jerman, pola rasis terhadap orang Yahudi merupakan hal sangat sensitif.
<h5><a href="https://artcallsindonesia.com/read/karya-seniman-indonesia-dikatai-mengerikan-oleh-kanselir-jerman" target="_blank" rel="noopener">Untuk dapat memahami konteks kasus permasalahan documenta ini, simak artikel kami yang merangkum fakta-fakta beserta reaksi negatif oleh pejabat tertinggi pemerintah Jerman terhadap festival documenta.</a></h5>
Ringkasan berikut disertai pendapat dari media asal Jerman, Swiss, Austria dan Amerika Serikat. Sayangnya, kami belum menemukan artikel dari sarana media lokal yang menelaah ataupun mengomentarinya dari perspektif 'Indonesia'. Tidak berarti bahwa penyalur informasi lokal tak memantau kiprah ruangrupa. Namun, artikel-artikel bersangkutan yang telah kami temui cukup terbatas pada informasi newswire.
Izinkan awak ACI mengantisipasi terlebih dahulu: Ya, banyak media khususnya Jerman menilai performance ruangrupa dan documenta sebagai (halusnya) kurang memuaskan. Tetapi ada juga lho, media Kulon yang mengkritiknya dengan lebih santai &ndash; Pro-ruangrupa.&nbsp;
<hr />
<h5><a href="https://www.spiegel.de/kultur/antisemitismus-auf-der-documenta-war-es-ein-kontrollverlust-mit-ansage-a-21435bce-3663-4101-88c4-82e6e76f73ab" target="_blank" rel="noopener">Spiegel pada 24.06.2022 (Jerman)</a></h5>
<h3>'Bencana budaya dan politik terbesar dalam sejarah documenta'</h3>
<blockquote>
Skandal tentang antisemitisme di documenta mengguncang Jerman. Para seniman mengatakan mereka tidak diajak bicara. Panitia festival tidak bertanggung jawab. Apakah itu kehilangan kendali dengan sadar?
</blockquote>
<hr />
<h5><a href="https://www.nzz.ch/podcast/documenta-wie-die-bedeutendste-ausstellung-fuer-zeitgenoessische-kunst-in-den-antisemitismusskandal-schlitterte-ld.1690632" target="_blank" rel="noopener">Neue Z&uuml;rcher Zeitung pada 28.06.2022 (Swiss)</a></h5>
<h3>'Documenta: Pameran seni kontemporer paling ternama terjebak dalam skandal antisemitisme'</h3>
<blockquote>
Reputasi documenta sudah runtuh. Padahal tim pengelola telah diperingati terlebih dahulu. Documenta berpotensi telah mengalami keruntuhan berkepanjangan.
</blockquote>
<hr />
<h5><a href="https://www.derstandard.at/story/2000136622638/documenta-wo-wettbewerb-durch-ausgelassenes-miteinander-ersetzt-wird" target="_blank" rel="noopener">Der Standard pada 16.06.2022 (Austria)</a></h5>
<h3>'Kompetisi digantikan oleh kebersamaan yang meriah'</h3>
<blockquote>
Kolektif kuratorial ruangrupa menolak untuk bersaingan dengan Dunia Barat. Suasananya nyaman, tapi karya-karyanya tidak terlalu menakjubkan dan mengesankan. Pengunjung dapat ikut serta dalam lokakarya dan berbagai aktivasi performens. Di sini, ada yang bermain drum di sabana, di sana ada yang memeriksa tanaman di kebun yang dibangun secara kolektif. Tidak ada pemahaman atas seni sebagai komoditas di sini. Melainkan, di sini seni merupakan alat untuk aktivisme. Namun, dapat dipertanyakan apakah karya-karya yang dipamerkan terdapat teladan baik untuk kehendak aktivis tersebut.&nbsp;
</blockquote>
<hr />
<h5><a href="https://www.zeit.de/kultur/kunst/2022-06/documenta-fifteen-kunst-ausstellung-kassel" target="_blank" rel="noopener">ZEIT pada 27.06.2022 (Jerman)</a></h5>
<h3>'Sebuah panggung bagi orang Eropa saja?'</h3>
<blockquote>
Aktivasi-aktivasi publik pada documenta dibatalkan untuk sementara sebab Corona. Padahal acara-acara itulah menjadi inti dari documenta yang berfokus pada pertukaran interaktif dengan pelaku seni dari Global South. Karya-karya yang dipamerkan terbelah antara keluguan pastoral dan kenaifitas politis secara radikal di satu sisi dan seni kemegahan di sisi lain. Keduanya bisa menjengkelkan, begitupun juga kontradiksi yang muncul. Toleransi terhadapnya merupakan bagian dari program festival. Wacana, yang mungkin bisa menengahi ilmu baru, malah dibatalkan. Tidak dapat mengobrol dengan tim kuratorial &ndash; Itu cukup mengganggu.&nbsp;
</blockquote>
<hr />
<h5><a href="https://www.nytimes.com/2022/06/24/arts/design/documenta-review.html" target="_blank" rel="noopener">New York Times pada 24.06.2022 (AS)</a></h5>
<h3>'Documenta Was a Whole Vibe. Then a Scandal Killed the Buzz.'</h3>
<blockquote>
Accusations that an image was antisemitic broke the mood at a daring festival of experiments. This year&rsquo;s Documenta deserves a closer look.
No one knows just how big Documenta 15 is. The latest edition of the prestigious international art exhibition (...) resists all the usual metrics. How many artists? Hard to say. Ruangrupa (...) invited 67 core participants &mdash; mostly grouped in collectives themselves &mdash; from outside the commercial art world, mainly from the Global South.&nbsp;
With its decentralised approach, Ruangrupa has placed its faith in the collective genius of the participants, in each group&rsquo;s instincts, choices and knowledge. To appoint the Indonesian collective was a bold move for the organisers of Documenta (...).
(...) Documenta delivers (...) more than a &lsquo;dialogue between cultures&rsquo;. Everywhere in this show are possibilities thrown open: ways of examining the past, or exchanging in the present, that offer grounds for hope; strategies outside the strictures of state and capitalist systems; and fodder for civic imagination. Archival projects in the exhibition, for instance, stand out for their clarity of purpose &mdash; conveying how losing artistic or political history causes harm &mdash; and methods of presentation.&nbsp;
This Documenta is didactic in the friendliest way. It invites you to burrow into texts and films, then talk about everything and nothing. Everywhere are sofas, beanbags, chill spaces. There&rsquo;s a whole conceptual apparatus for this, courtesy of Ruangrupa.
</blockquote>
<hr />
<h5><a href="https://www.sueddeutsche.de/kultur/documenta-antisemitismus-1.5606631" target="_blank" rel="noopener">S&uuml;ddeutsche Zeitung pada 21.06.2022 (Jerman)</a></h5>
<h3>'Kisah memalukan pada documenta'</h3>
<blockquote>
Saatnya mengingatkan kembali ikhtiar Margot Friedl&auml;nder. Ia adalah seorang penyintas Holocaust. (...) Sering diundang ke acara diskusi publik, ia membagikan pengalaman suram dan penuh kebencian (pada masa Holocaust). Kisah-kisah seperti itu penting setelah dipasang baliho (oleh Taring Padi) di tengah-tengah Jerman yang bermuatan konotasi bahwa kebencian terhadap orang Yahudi tidak hanya diterima secara sosial di Jerman, tetapi juga bahwa panggung yang (Taring Padi) diberikan layak dibiayai oleh uang rakyat.&nbsp;
Ruangrupa merupakan kolektif di mana tidak ada satu individu bertanggung jawab secara sendiri. Sebuah pameran seni itu hanya bisa berhasil jika ada kurator yang mengenal dengan semua karyanya.&nbsp;
</blockquote>
&nbsp;

Begini media Barat mengomentari permasalahan documenta

Jakarta / Kassel -&nbsp;Kami membuka rangkaian peliputan kami tentang festival seni documenta fifteen dengan mengontekskan apa yang sedang terjadi di kota Kassel (Jerman), di mana pagelaran documenta dilangsungkan oleh segelintir pelaku seni asal Indonesia.&nbsp;
<h3>Apa yang terjadi?</h3>
Kolektif seni ruangrupa disoroti oleh media internasional bukan hanya berkat mereka mengurusi festival seni documenta sebagai tim kuratorial. Namun, caranya ajang seni terbesar sedunia tersebut dikelola oleh ruangrupa dan panitia menjadi masalah publik yang bahkan diistilahkan <a href="https://www.derstandard.at/story/2000136785539/documenta-beben-die-allmaehliche-entfernung-eines-hetzbildes" target="_blank" rel="noopener">'bencana seni'</a> oleh lanskap media khususnya Jerman.&nbsp;
ruangrupa mendapatkan kritik keras karena ketidakjelasan mengenai posisi mereka terhadap tema antisemitisme. Sejak awal tahun ini (<a href="https://www.instagram.com/p/CZRUJiNvoA7/" target="_blank" rel="noopener">ACI waktu itu telah meliputinya sebagai satu-satunya media Indonesia</a>) ruangrupa tak berhasil memecahkan<a href="https://www.dw.com/id/taring-padi-dan-tuduhan-antisemitisme-itu/a-62206971" target="_blank" rel="noopener"> alegasi mendukung pola anti-Yahudi</a> lewat cara mereka kurasi festival documenta. Waktu itu, tim pengelola documenta telah diperingati oleh publik dan politik Jerman untuk tidak memancangkan pikiran antisemit.
<h3>Berkonotasi antisemit&nbsp;</h3>
Faktanya, ruangrupa memang memperbolehkan dipamerkannya karya-karya seni bermuatan unsur-unsur antisemit. Salah satu lukisan yang dituduh berkonotasi rasis berupa karya mural berukuran sebesar baliho oleh kolektif Taring Padi asal Indonesia.&nbsp;
Karya bertajuk 'Keadilan Rakyat' itu terdapat sosok tentara dengan kepala babi yang mengenakan syal dengan gambar 'Star of David' dan helm bertuliskan 'Mossad'. Kiasan yang dinilai antisemit juga terlihat dalam figur lainnya yang bergambar sosok laki-laki dilambangkan 'SS' di atas topi.&nbsp;
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/8c948e32-8379-4d01-9210-fdddfbf05509?width=500&amp;height=500" alt="2" />
<img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/fd765482-f021-4b13-810e-65abf831a50d?width=500&amp;height=500" alt="3" />
<h5>Salah satu gambar yang dipermasalahkan&nbsp;</h5>
<h6>Foto atas: stern.de / bawah: derstandard.at</h6>
Dalam konteks sejarah Jerman, seni apapun yang tidak bersifat reflektif dan bermuatan rasis (khususnya anti-Yahudi) ditolak keras oleh publik. Dengan gambaran figur bergigi taring dan hidung bengkok figur-figur tersebut yang terdapat pada lukisan Taring Padi cukup memberikan kesan karikatural yang kerap dipakai Nazi untuk mendiskreditkan orang Yahudi. Lewat statement publik, Kedutaan Besar Israel di Jerman menyatakan karya tersebut tak beda dari agitasi <a href="https://www.nytimes.com/2022/06/21/arts/design/documenta-antisemitism.html" target="_blank" rel="noopener">karikatural pada zaman Nazi</a>.&nbsp;
Kini, kasus tersebut usai dengan pencopotan karya Taring Padi yang diduga bermasalah setelah sempat dipasang di alun-alun di tengah-tengah kota Kassel.&nbsp;
<h3>Ditolak keras oleh politikus Jerman</h3>
Sebelum tuduhan antisemit terhadap karya-karya tersebut menjadi publik, Presiden Republik Jerman, Frank-Walter Steinmeier, telah menegaskan lewat pidato pada pembukaan festival documenta bahwa publik Jerman<a href="https://www.faz.net/aktuell/feuilleton/kunst-und-architektur/documenta/documenta-steinmeier-kritisiert-umgang-mit-antisemitismus-18111568.html" target="_blank" rel="noopener"> tidak mentolerir</a> seni yang bersifat sembrono terhadap isu antisemitisme.&nbsp;
Kendati telah diperingati oleh Presiden Jerman, dugaan antisemit (yang sebelumya sudah tak dipecahkan oleh tim pengelola documenta) muncul kembali dan memicu reaksi negatif oleh Kanselir Jerman. Kanselir Olaf Scholz menyatakan, ia tak berkenan mengunjungi festival documenta dan menilai hasil kurasi ruangrupa sebagai <a href="https://www.zeit.de/politik/2022-06/documenta-fifteen-antisemitismus-kunstwerk-judenfeindlich-ruecktritt?utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com%2F" target="_blank" rel="noopener">'mengerikan'</a> dan menyakitkan.
Begitupun Menteri Budaya Claudia Roth sambungnya dan menegaskan ia tak terima dan menolak keteledoran oleh documenta, ruangrupa serta yang bertanggung jawab.&nbsp;
<h3>Tak sadar dengan konteks historis&nbsp;</h3>
Diwartakan oleh sarana media <a href="https://www.spiegel.de/kultur/antisemitismus-auf-der-documenta-war-es-ein-kontrollverlust-mit-ansage-a-21435bce-3663-4101-88c4-82e6e76f73ab" target="_blank" rel="noopener">'Spiegel'</a> dari Jerman, awalnya Taring Padi terkejut. Lantas, lewat pernyataan tertulis, kolektif tersebut secara tidak langsung telah mengakui bahwa kurang paham dengan konteks kebudayaan Jerman, walau salah satu anggota Taring Padi bahkan telah berkuliah dan bermukim di Jerman.
Tidak berkontribusi baik pada festival documenta, ruangrupa dan Taring Padi, reputasi ketiga pihak tersebut telah bermuatan negatif di mata publik dan kasta politik Jerman.
&nbsp;

Result for 'documenta fifteen'