KRITIK ACARA

Miskin akses dan kurang memeka kolaborasi: Catatan 'warga pinggiran' terpelajar

'Pesta Pinggiran' mengajak untuk melepaskan diri dari kokon keisolasian demi merajut sesama manusia alternatif

Panggung 'Pesta Pinggiran' di Taman Ismail Marzuki, dihelatkan pada 25 dan 26 November 2023

Panggung 'Pesta Pinggiran' di Taman Ismail Marzuki, dihelatkan pada 25 dan 26 November 2023

Article Image Title
Editor: Marten S.
29.11.2023

Tau ga kalian ‘SJW’ itu apa? Bukan nama halte Busway, tapi singkatan pro dari Social Justice Warrior. Para pejuang keadilan masyarakat yang sejahtera itu bekerja secara digaji dan secara ikhlas (kaya di idealisme) pada ragam bidang profesi, mulai dari hukum hingga media alternatif. Mereka semua berseri keras demi menghidupkan roh orang pinggiran.

Dalam definisi sederhana, kaum pinggiran itu meliputi kurang lebih semua orang yang tidak setuju atau direpresi oleh status quo di Tanah Air. Entah di ranah politik, bidang hukum atau bahkan ekonomi kreatif, semua teritori terasa dipegang kalangan abang-abangan nepotis dan berharta. Bagi yang terlahir miskin atau tanpa penis, silakan minggir! – One step back, two steps forward, pada akhir pekan lalu Project Multatuli, platform media alternatif berbasis di Jakarta, memanggil semua orang pinggiran untuk melepaskan diri dari kepompong isolasi dan bertaut sesama orang idealis.

Terdiri dari serangkaian lokakarya komunal dan diskusi publik, Pesta Pinggiran hadir di beberapa sudut di Taman Ismail Marzuki. ACI menyimak salah satu sesi bincangan berjudul ‘Dunia kita hari ini: Tidak ada satu orang pun yang ingin melihatmu berjuang sendirian’. 

Berjuang biar apa?

‘Jadilah realistis, tuntut yang tidak mungkin,’ menyemboyankan Evi Mariani selaku direktur Project Multatuli pada perhelatan Pesta Pinggiran. Menanti pemilu 2024, warga Pesta Pinggiran turut menekankan bersama Evi Mariani bahwa tingkat demokrasi yang sudah tercapai di Indonesia tidak boleh menjadi arena perburuan kekuasaan semata. Ketika masyarakat berpaling dari demokrasi karena sudah pesimis terhadap niat-niat terselubung dari para aktor politik, dan mereka tersebut memanfaatkan keabsenan jeweran masyarakat guna melanggengkan kekuasaan belaka, maka berjalannya proses demokrasi makin dihalangi. Orang-orang pinggiran dan terpelajarlah yang sarat dibutuhkan untuk menjadi watchdog dan pejuang utopia. 

Gugun Muhammad selaku wakil Urban Poor Consortium memaknai definisi ‘warga pinggiran’ dari sudut pembagian kelas masyarakat. Namun, bukan hanya secara tingkat ekonomi, sebab pengartian ‘pinggir’ atau orang-orang ‘terpinggirkan’ juga bisa diterapkan pada beberapa aspek lain.

Baca juga: (Wawancara) 'Kami adalah ruang di mana khalayaknya merasa nyaman untuk berbagi gagasan-gagasan mereka'

Pinggiran 1

Frida Kurniawati selaku wakil gerakan Extinction Rebellion. | Foto: Art Calls Indonesia 

Miskin akses 

Dalam diskusi publik di Pesta Pinggiran, ia menjabarkan mengapa lembaga Urban Poor Consortium dengan sengaja memakai kata ‘miskin’, berbeda dengan institusi-institusi pemerintah yang merujuk pada orang-orang ‘berpenghasilan rendah’. Menurut Gugun Muhammad, kemiskinan itu tidak hanya bisa diukur dari kemampuan finansial, melainkan juga dari miskinnya akses. 

Contoh: Warga Jakarta semestinya mempertahankan akses ke pantai. Sepanjang pesisir laut, Jakarta hanya memiliki tujuh titik akses publik ke pantai. Dari batasan Tangerang hingga Bekasi, pandangan ufuk ke Laut Jawa dimiliki swasta – seperti di Pantai Indah Kapuk. Keterbatasan akses tersebut belum pernah dipikirkan oleh warga Jakarta berkat kita ‘rela membayar untuk akses, karena kita permisif’.

‘Kita permisif karena kita mampu,’ jelas Gugun Muhammad. 

Berjuang sendirian

Sebagai individu yang terpinggirkan opsi-opsi yang tersedia untuk dapat didengar tampaknya sangat terbatas. Tanpa konsolidasi dengan kawan-kawan sepemikiran, tidak akan ada aksi yang menampol. Menurut Evi Mariani seorang pinggiran tidak boleh ‘antagonis’ sesama kawan aktivis, dan kudu bertaut dalam ‘aliansi sementara’.

Sebagai narasumber wacana publik di Pesta Pinggiran, Evi menceritakan pengalaman berpartisipasi dalam unjuk rasa demi kepentingan Palestina yang dihelat di Monas beberapa waktu lalu. Ia sempat melihat beberapa orang berorientasi queer turut-menurut pada demonstrasi Pro-Palestina itu. ‘Saya hormat,’ kata Evi yang mengingatkan bahwa mereka itu bisa saja tidak diterima oleh peserta lainnya pada demonstrasi itu, hingga rentan ‘digebukin’ oleh demonstran lain. 

Kemampuan dan kepekaan untuk bertaut satu sama lain terlepas dari bubble masing-masing menjadi PR utama bagi pelaku SJW. ‘Hal itulah yang terkadang hilang di antara teman-teman aktivis, mereka pada suka judgmental,’ imbuh Evi. 

Lidahnya suka macet kalau harus komunikasi sama orang dari lingkungan lain

Frida Kurniawati selaku wakil gerakan Extinction Rebellion bersepakat: Sebagai penyalur peringatan dampak krisis iklim ia pun juga menyadari tembok-tembok sirkel anak aktivis. Ketika mau berkolaborasi dengan pihak lain, semuanya berujung dengan ‘dia lagi, dia lagi’. Bubble-bubble tersebut tampaknya masih sulit didobrak. 

‘Kita di Gudskul masih belajar sama konsep inklusivitas’

Felix Dass dari wadah seni Gudskul menambahkan pengalamannya dari sudut pandang seorang pelaku ekosistem seni. Gudskul, yang pada tahun lalu juga hadir di pagelaran documenta fifteen, bertujuan untuk menciptakan ruang bagi praktisi seni pendatang baru. Menurut Felix, pemerataan akses informasi – atau alhasil inklusivitas yang hidup – masih harus dikerjakan lebih serius. ‘Kita di Gudskul masih belajar sama konsep inklusivitas,’ mengaku Felix. 

Baca juga: Tips untuk membedakan Open Call bermutu dari yang sebaiknya diskip saja

Pinggiran 2

Masa depan Project Multatuli 

Masih dalam diskusi yang sama, Evi Mariani meningkatkan audiensnya untuk tetap setia pada ide-ide yang ingin dijelmakan, dan mencontohkannya dengan lika-liku yang dia hadapi sebagai penanggung jawab Project Multatuli. Kesintasan platform media yang ia telah dirikan bersama beberapa kawan pekerja media, belum dijamin untuk ke depannya. ‘Kalau gak ada dana masuk, ya kita mati dengan damai saja,’ kata Evi.

‘Project M bisa saja mati, tapi kawan-kawan (kontributor) kita, dengan pengetahuan yang sudah kita pegang, bisa bikin apa saja, saya yakin.’ Ia berharap sebagai media non-profit yang didanai donor-donor besar, Project M masih bisa berjalan untuk beberapa tahun. ‘Kita harus setia pada ide. Setia sama ide, jangan setia sama manusia (saja),’ tutup Evi. 

Amunisi intelektual 

Setelah dua jam dengan diskusi yang bernas, moderator sesi bincang pinggiran Sofie Syarief pun mengaku sudah capek. Sebagai jurnalis ia pun setiap hari berhadapan dengan tingkah laku pelaku politik yang membuat semua orang jenuh. Sebagai suara kritis ia kadangkala merasa kenyang dengan profesinya sendiri. Mantra beliau: Resist (menahan menyerah?), Rest (istirahatlah habis berkarya, berjarak dengan karya sendiri), dan Repeat (sampai ketemu duit?). 

Baca juga: (Ulas Bahasa) Jangan diperhalus: Ngomongnya 'rudapaksa', maksudnya 'perkosa'

Memanfaatkan momentum

Seperti kebanyakan ‘talkshow’ pada umumnya, selepas ‘talk’ nya tidak ada ‘show’ di sesi bincang Pesta Pinggiran. Audiens dipersilakan bubar, dan di antaranya beberapa pun terlihat belum puas, dan masih pengen berjejaring lebih dekat. Momentum langka itu, saat orang-orang sepemikiran sudah berada pada satu titik temu, masih kurang dimanfaatkan oleh penyelenggara Pesta Pinggiran.

Tapi: mungkin itu hanya anggapan saya saja – dan mungkin peserta pinggiran lain sudah puas-puas saja. Begitu dengan seorang pemirsa acara yang sempat saya mengajak ngobrol sehabis event. ‘Gimana tadi acaranya, menurut mas nya?’ – Seorang bertato sepanjang lengan / piercing di sudut mulut / celana robek / Macbook Pro menjawab: ‘Mantepp,’ sambil mengacung jempol dan meminggirkan diri, menandakan ia tidak berkenan untuk ngobrol. Mungkin itu juga spek orang pinggiran.

(Marten Schmidt, Art Calls Indonesia, 29.11.2023)

ACI Unbubbling: 

As ART CALLS Indonesia and ART CALLS Southeast Asia, we are intensifying our efforts to connect the Indonesian and Southeast Asian art ecosystem beyond bubbles. If you are interested to support us in any way suitable for you, don't hesitate to get in touch with us