INSIGHT FROM THE INSIDE

Apakah kancah seni lokal belum paham pola pikir 'outside the box'?

Pola pikir 'outside the box' ibarat keterampilan dasar bagi pekerja seni. Dipengaruhi oleh kultur 'konformitas' kita, banyak peserta dalam ekosistem seni di Indonesia tampaknya belum paham akan penalaran 'di luar kotak'.

Foto: ART CALLS Southeast Asia

Foto: ART CALLS Southeast Asia

Article Image Title
Editor: Marten S.
26.06.2024

Seni itu aktivisme atau latihan berestetika? Ketika kita menganggap bahwa kesenian sebatas suatu latihan kepekaan terhadap estetika saja, maka teks ini sudah berakhir di paragraf pertama ini. Tak ada salahnya berfilsafat tentang maknanya warna kuning, dan artinya di balik kubus-kubus geometris terpapar pada kanvas bertumpahan ‘drip painting’. – Setidaknya bagi kami, kesenian sarat potensi untuk menjadi lebih dari suatu ruang untuk bertukaran apresiasi saja. 

'Mahkamah Rakyat Luar Biasa' misalnya, sebuah aksi sipil yang dibalut dalam settingan layaknya pengadilan, telah mempersidangkan presiden Joko Widodo yang didakwa menitikberatkan agenda politik dia pada kepentingan diri sendiri saja. Meski forum 'MK Rakyat Luar Biasa' tak punya legitimasi apa-apa secara hukum, aksi itu menunjukkan kreativitas para ilmuwan, akademisi, pakar tata negara, ahli hukum dan pejuang keadilan sosial. 

Forum serupa juga diadakan dalam rangka festival seni 'Pekan Raya Wina' (Wiener Festwochen) di Austria, di mana aktor-aktor politik setempat juga dipanggil untuk hadir dalam acara seni berkedok persidangan. Bedanya: Di sana konsep yang sama diwujudkan oleh pelaku-pelaku seni.

Tanpa menghasut siapa-siapa: Apakah para pejuang keadilan sosial di Indonesia lebih kreatif daripada orang-orang seni? 

Yang jelas: Potensi kancah kreatif di Indonesia masih jauh dari maksimal. Sebagai negara adidaya dalam seni dan budaya, yang punya begitu banyak warisan tak-benda, industri kreatif lokal belum menjadi kekuatan lunak (untuk memperkuat 'jenama' Indonesia sebagai pelabuhan industri kreatif, dan destinasi pariwisata).

Pyc H2

Didampingi delegasi 'top-tier' Presiden Joko Widodo meresmikan gedung Papua Youth Creative Hub di Jayapura pada Maret 2023 | Foto: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

‘Kita ini seperti raksasa tertidur. [Kita] harus melibatkan banyak kalangan yang selama ini belum tersentuh oleh gerak kebudayaan,’ menyimpulkan Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan pada konferensi pers 'Jalan Kebudayaan: 7 Tahun UU Pemajuan Kebudayaan' di Jakarta (21/06).

Tentu saja praktisi seni di Tanah Air bukan miskin daya khayal, mereka bukan kalah dengan seniman mancanegara, dan Indonesia bukan titik buta pada peta seni dunia. Disebut secara acak dan tanpa urutan, Tita Salina misalnya dengan karya bertema pelestarian ekologi pernah disoroti Galeri Nasional Australia. Mella Jaasma (misalnya dengan aransemen performatif bertema kolonialisme) atau Entang Wiharso (karya-karya buatan logam yang dipotong) sudah dikenal lama di luar Indonesia sebagai seniman lintas-disiplin. Begitu pun perupa Eko Nugroho (‘Carnival Trap’) dan Zico Albaiquni (‘For Evidently’). Adapun banyak karya lokal terhimpun di luar negeri, misal oleh alm. Semsar Siahaan (‘Olympia’). Raden Saleh pun sudah menjadi semacam tamu tetap di Galeri Nasional Singapura.

Semua karya tersebut pernah dipamerkan dan di-kontekstualisasi di luar negeri. Kesenian khas Indonesia sudah dikenal speknya: Segar, energik, lucu, ambigu, kadang politis dan kadangkala juga apolitis. 

Baca juga: Menolak menikmati warisan berlimpah, perempuan ini 'kembalikan' Rp 425 miliar demi pemajuan demokrasi

Transformers 

Kalau kesenian dan pelaku seni asal Nusantara bisa begitu diapresiasi di luar negeri (‘documenta fifteen’), mengapa banyak acara seni di dalam negeri terasa rada hambar, gitu-gitu saja, tanpa nilai tambahan bagi audiens (habis foto-foto, monggo pulang)? - Singkatnya, kurang kreatif.

Mengukur daya kreatif siswa Indonesia, hasil studi PISA 'Creative Thinking' menunjukkan bahwa siswa di Indonesia minim kreativitas (hanya lima persen siswa Indonesia dinilai mampu berpikir secara kreatif menurut studi PISA). – Dalam peliputan terkait tema tersebut, ACI telah merangkul tanggapan pembaca ACI yang rata-rata tak kaget dengan penemuan yang dilontarkan PISA. 

‘Saya pernah mengajar di suatu SD, dan pernah disuruh menilai ujian seni. Tugasnya, siswa disuruh menggambar bebas. Satu kelas gambarnya sama plek-ketiplek. Artinya, yang punya ide satu, yang lain nyontek semua,’ ujar seorang pembaca ACI. 

Skl1

Menerawang

Ketika daya imajinasi tidak distimulasi dalam benak para siswa, mereka akan kesulitan berpikir secara kohesif ketika beranjak dewasa. Apapun yang bersifat tak-benda tampaknya cukup susah untuk ditaksir. Banyak hal dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya hanya bisa dipahami jika kita mampu berpikir abstrak: Misal, soal polusi udara. ‘Ya mau bagaimana lagi, memahami majas metafora seperti ‘Angin tak punya KTP’ saja mereka tak mampu,’ kata salah satu pembaca ACI.

Saya sendiri pun, saat masih bekerja sebagai guru Bahasa Inggris di Jakarta beberapa tahun yang lalu, pernah melontarkan pertanyaan sederhana kepada murid-murid (rata-rata usia 16 hingga 22 tahun) saya: ‘Jakarta punya berapa banyak penduduk?’ – Sedikit syok, tak ada satu pun siswa yang menjawab pertanyaan saya dengan benar. ‘Seribu?’ – ‘Sejuta?’ – Memperkirakan jumlah penduduk di sebuah kota memanglah memerlukan kemampuan berpikir abstrak. Jadi, ini sebenarnya masalah minim pengetahuan umum, atau kebutaan akan keadaan abstrak?

Tersosialisasi dalam lingkup pendidikan di mana pelafalan materi lebih dihargai daripada pemikiran mandiri, kita memang tak pernah distimulasi untuk berimajinasi. Semua anak sekolah di Indonesia tentu hafal Pancasila dan lagu Indonesia Raya, tapi apa yang menciptakan rasa Keindonesiaan dalam pendirian mereka? Seni? Sastra? Likely not.

Baca juga: "Mending bodoh ramai-ramai daripada cerdas sendirian"

Img 5004

Bertarung hingga berdarah dan luka besar, ACI bertemu dengan pemain Caci. Anjungan NTT di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur | Foto: Art Calls Indonesia 

Menyala

Kalau sistem pendidikan di Indonesia kurang sanggup menajamkan daya pikir anak bangsa, mengapa aktor-aktor dari kancah seni tak mengambil peran dalam (sorry, patetis) proses pemajuan bangsa ini?

Belakangan ini, program Sastra Masuk Kurikulum ramai dikritik, sehingga dicabut oleh Kementerian Pendidikan. Mengapa tak ada satu pun tokoh publik atau lembaga yang seyogianya bersedia berkontribusi: ‘Kalau sastra tak masuk kurikulum, saatnya anak-anak muda masuk sastra!’

Mengapa ekosistem seni tak menyala dan lebih berikhtiar menjadi wadah pendidikan alternatif? Langkah yang mesti diambil tak terlalu ruwet: Sediakanlah pendekatan sosial dan inklusif untuk mempertemukan audiens awam dengan seni dan budaya. 

Apa susahnya mengimplementasikan satu dan lain ide inklusif dalam pelaksanaan acara seni rupa misalnya? Apa sih yang dibutuhkan untuk meningkatkan pengalaman para pengunjung? – Sangat simpel: 'Tuan rumah' yang ramah, penjelasan mengenai karya-karya yang diperlihatkan, kesempatan untuk bertukar pendapat, dll. 

Jika 'narasi' itu tak tersedia dalam pameran seni rupa, pengunjung hanya dipersilakan untuk memuaskan hasrat narsisnya saja, dan menjadi sebatas reporter untuk akun sosmed mereka sendiri. Peluang untuk mengkonstruksi audiens baru sedemikian dibuang. Liputan kami seputar tema tersebut juga mencuat banyak kritik, ada pun beberapa pembaca yang menanggapinya sebagai sifat 'elitis': ‘Kok jaman sekarang masih ada yang menggurui di seni?’.

Info Sheet Problem Budaya Eko Sistem

Kubu tersebut juga beranggapan bahwa apresiasi pada seorang kreator seni itu mutlak, dan diwajibkan. Apakah 'apresiasi' itu dikemukakan lewat jepretan selfie atau percakapan bermakna menjadi sekunder saja. 

Komunikasi vertikal

'Apresiasi' yang ditagih oleh orang-orang berpandangan seperti itu tampaknya juga berkorelasi dengan kebiasaan ‘komunikasi vertikal’ yang kita semua alami sehari-hari. Singkatnya, hanya orang-orang tertentu berhak untuk mengekspresikan diri. 

Lucunya, kesepakatan sosial atau bahkan 'feodal' itu sudah mulai dilepas: Dalam lingkungan urban kita sudah mulai mentolerir orang-orang berpakaian 'nyeleneh' (misalnya cowok mengenakan baju 'non-maskulin'). Tapi, toleransi itu masih terbatas pada individualisme secara busana saja. Melawan arus dengan opini yang 'menyimpang'? Wallahu A’lam. – ‘Emang lu siapa?’ – ‘Emang kenapa kalau bukan siapa siapa?’

Julid Graph

Masalah komunikasi 'satu arah' tersebut juga termanifestasi dalam tata arsitektur Taman Ismail Marzuki misalnya. Hingga kini masih banyak seniman resah mengungkapkan ketidakpuasan terhadap TIM yang baru, lantaran mereka kurang dilibatkan dalam proses revitalisasi. Arsitektur di TIM juga tampaknya tak mengajak untuk mempertemukan kelompok-kelompok berbeda. Kendati areanya sangat luas, tak ada satu pun 'assembly point' dalam aransemen bangunan. 

Getting out of the box

Memfasilitasi dan menghidupkan kesenian membutuhkan daya berpikir 'out of the box'. Tanpa kecerdasan sosial yang tinggi, tanpa kepekaan akan kebutuhan audiens, tanpa 'acumen' (penalaran tajam), tidak akan terkemuka ide-ide 'inklusif'.

Seni memang tak harus bersifat inklusif, tapi berpeluang menjadi lebih relevan bagi masyarakat kebanyakan dengan pendekatan inklusif. ‘Otak gue gak nyampe’ – Ungkapan paling fatal yang bisa dialamatkan pada seorang seniman oleh audiens. 

Bayangkan semua anak SD di Indonesia memperoleh kesempatan untuk menyaksikan pertunjukan teater anak-anak bertema angin dan laut, di mana anginnya meniup sebuah kapal yang terbawa oleh ombak ke suatu pulau terpencil … (kembali ke ‘majas metafora angin tak punya KTP’). – Melatih kreativitas bisa dipraktik melalui membiasakan membaca, menulis dan mengobservasi. Kemampuan untuk menyerap informasi dengan baik dan benar menjadi bekal komunikasi yang jitu. Kemampuan berkomunikasi kemudian menjadi kuncinya 'problem solving'.

Apa yang menahan stakeholders, pekerja dan pegiat di sektor seni dan budaya untuk sedikit merangkul filosofi inklusivitas tersebut? Kekurangan dana? ART CALLS Indonesia juga bisa menyediakan tempat pertukaran pengetahuan tanpa donasi dana. Kurang bernyali? Mungkin. Enggan atau tak mampu berpikir 'outside the box'? Sepertinya iya. (Marten S, Art Calls Indonesia, 26.06.2024)