Taring Padi, komunitas seni yang pada 2022 menjadi pemicu skandal documenta, dapat penghargaan lokal
Tahun lalu, sebuah lukisan raksasa oleh Taring Padi memicu kritik pedas oleh berbagai pihak internasional termasuk kanselir Jerman, lantaran dianggap antisemit. Minggu lalu, komunitas Taring Padi dianugerahi penghargaan Akademi Jakarta
Karya Taring Padi yang berupa spanduk sebesar gaban dan bertuliskan ‘People’s Justice’ dipasangkan di sekeliling ruang publik kota Kassel | Foto: NDR, Juni 2022
Jakarta – Flashback: Pada ajang seni berprestasi ‘documenta’ pada 2022 lalu, Indonesia telah mendapatkan kesempatan emas yang tidak akan kunjung datang kembali dalam volume yang sama: Kolektif seni ‘ruangrupa’ diberi kesempatan untuk membawa Indonesia ke medan kesenian internasional. Sebagai tim kuratorial festival documenta, ruangrupa berhasil menghadirkan beragam perspektif dari ‘Global South’ kepada khalayak di Jerman. Kelompok seni asal Jakarta itu sudah membuktikan bagaimana celah antara seni dan audiens awam bisa dijembatani secara hangat dan kreatif.
Jauh sebelum ‘documenta fifteen’ terlaksana di kota Kassel pada 2022, awak ruangrupa sudah memperoleh kesempatan untuk mengenal budaya lokal orang Jerman. Atau dalam kata lain: Kesempatan untuk memahami audiens setempat. Kesempatan itu tampaknya kurang dimanfaatkan oleh ruangrupa, yang pada akhirnya bukan menggugah publik Jerman akan segala perspektif dari negara-negara berkembang – namun terbalik: Mereka yang ditegur oleh publik Jerman atas kenaifan sebagai tim kurator.
Shit happens…
Bagi publik di Jerman, ruangrupa baru menjadi nama yang dikenal secara umum dan objek perdebatan panas setelah sebuah skandal terungkap dan digoreng habis-habisan oleh media Jerman.
What happened?
Taring Padi, kolektif seni asal Yogyakarta diundang documenta/ruangrupa ke Kassel. Salah karya Taring Padi yang berupa spanduk sebesar gaban dan bertuliskan ‘People’s Justice’ dipasangkan di sekeliling ruang publik kota Kassel. Lantas, seorang warga menemukan unsur-unsur rasis dan anti-semit (kebencian terhadap Yahudi) pada karya tersebut. Lukisan oleh Taring Padi tersebut memperlihatkan figur-figur yang dianggap berkonotasi rasis. – Setidaknya bagi penduduk Jerman yang sangat sadar akan masa gelap Nazi. Alhasil, karya People’s Justice yang baru saja dipasang, langsung diturunkan dari documenta.
Di Jerman dan banyak negara Eropa lainnya, tindakan meremehkan Holocaust layaknya penistaan Islam di Indonesia. | Foto: Frankfurter Allgemeine Zeitung, Juni 2022
How the heck can that happen?
Seni bersifat kontekstual. Kontekstual terhadap lokus atau tempat di mana si seni dipertunjukkan. Di Jerman dan banyak negara Eropa lainnya, tindakan meremehkan Holocaust layaknya penistaan Islam di Indonesia. – Intinya: just don’t, banyak ranjau sepanjang jalan. Walau di Jerman karya itu dianggap rasis, dan para kreator serta kurator minimalnya dianggap naif, karya tersebut tidak ada hubungan dengan sejarah Jerman, dan dibuat sebagai keresahan artistik atas kekerasan historis di Indonesia.
Baca juga: Mengintip ramah-tamahnya skena seni rupa yang setara dan seru di Bangkok
Disaster waiting to happen…
Tim kuratorial ruangrupa meloloskan sebuah benda seni (yang notabene sebesar papan reklame di jalan tol) yang sudah dijamin akan menuai kritik. Alhasil, kekagetan dan kekecewaan kancah seni, budaya dan media Jerman dipuncaki teguran oleh kanselir Jerman Olaf Scholz.
Reaksi ruangrupa? Tidak berani sama sekali. Sudah masuk sorotan negatif, mereka memilih untuk tidak memposisikan diri mereka, dan tidak mengangkat suara sesuai visi yang mereka membawa ke documenta: semuanya bersama-sama, bahu-membahu dan secara terbuka.
Sayang sekali, karena orang Jerman getol mewacana apapun hingga tuntas, secara teratur dengan pedang retorik yang tajam.
Whatever happens, happens
Documenta fifteen dan upaya kreatif ruangrupa sebagai dirigen festival tetap diulas positif. Namun, perdebatan antisemitisme yang dipicu lukisan tersebut (yang, sekali lagi, disalahpahamkan dalam konteks budaya Jerman) tetap beraroma negatif.
Penghargaan Akademi Jakarta
Terlepas dari perdebatan tahun lalu di luar negeri, Taring Padi dianugerahi penghargaan Akademi Jakarta pada pekan lalu (4/10/2023). Kolektif Taring Padi berdiri sejak 1998 dan diakui atas dedikasi untuk menyadurkan keresahan sosial dengan estetika kesenian. ”Kami membaca penghargaan ini sebagai salah satu tanda kembalinya aktivisme seni ke dalam ekosistem seni budaya kita, di mana ekspresi daya kreatif adalah bagian dari kerja-kerja politik di lapangan,” kata Fitriani Dwi Kurniasih, anggota Taring Padi (dikutip kompas.id)
Pada acara yang sama, perupa Moelyono (66) juga diberi penghargaan Akademi Jakarta.
(Marten Schmidt, 11.10.2023, Art Calls Indonesia)