KRITIK PERHELATAN SENI

Pada pembukaan pameran seni rupa khusus mereka-mereka saja, mereka berterus terang bahwa kami bukan bagian dari mereka

Menyapa hanya yang kenal-kenal saja: Sikap paling nirfaedah dan nirguna dalam permainan kesenian. Habis dikacangin secara frontal selama hampir sejam, kami akhirnya cabut: Kritik seni dari pembukaan pameran seni rupa 'Everywhere I Go (Pit Stop)' di Zodiac Baresto

Suasana di depan Zodiac Baresto, Jakarta Selatan (25/06/2023), Foto: ACI

Suasana di depan Zodiac Baresto, Jakarta Selatan (25/06/2023), Foto: ACI

Article Image Title
Editor: Marten S.
30.06.2023

Bagi para pembaca yang tidak mendiami rumah (bertingkat) orang tuanya di sisi selatan ibu kota, kami membuka naskah ini dengan prolog sekilas untuk memperkenalkan lokasi dari saduran ini: Zodiac Baresto – sebuah bar dan restoran di seberang Pasaraya Blok M, Jakarta Selatan, yang baru dibuka sebagai cabang alternatifnya kelab malam Zodiac (Senopati). ‘House Warming’ nya Zodiac Baresto dibarengi pembukaan pameran seni rupa oleh seorang seniman asal Amerika Serikat. 

Chito adalah nama dari pelakon utama tersebut. Frank Ocean, Drake dan Asap Rocky antara lain sudah pernah menyemarakkan nama Chito. Karya-karya oleh perupa asal Seattle ini tampaknya sangat applicable untuk menyadur dengan fashion. Merek-merek busana mewah ala kadar Supreme dan Givenchy menghiasi riwayat menterengnya Chito. Jaranglah ada perupa budaya populer yang sudah menjadi tokoh eminen di mancanegara hadir untuk berpameran di Jakarta. 

Diundang Zodiac untuk meliputi pameran ‘Everywhere I Go (Pit Stop)’, kami mengambil kesempatannya untuk mengintip dalam suasana di Zodiac Baresto yang mungkin bisa menjadi interseksi antara kesenian dan pergaulan anak skena. Penasaran akan suasananya, kami hadir untuk mencari tahu apakah tempat ini menyimpan keseruan yang tak disangka-sangka atau wacana (seni) yang menyatu satu dengan lain hadirin. Siapa tau, kan... 

Chito

Chito, seniman asal AS | Foto: Chito (artist), Permission: Muhammad Ziyan Agril, Zodiac Jakarta

Babak 1: 'Invisible Intro'

Kami menuju venue dengan penasaran karena ini bukan tongkrongan biasa kami. Semua scene memiliki semacam safe zone, lokus di mana mereka bisa berekspresi bebas. Dan inilah orbit manusia-manusia yang merasa keren memakai kacamata hitam di dalam ruangan gelap. Mungkin saja bagi mereka sendiri selera mereka memang jempolan. Bagi yang di luar sirkuit kecil mereka, mungkin tidak. Bagaimanapun, kami tidak berserikeras bikin penilaian atas baju orang-orang paling Jaksel. Akan tetapi, kami ke sini karena diundang. Dan seorang tuan rumah pada umumnya kudu sadar akan tamu yang dia undang. Apalagi kalau sang impresario mengundang tamu media untuk meliputinya. 

Ketika kami masuk, kami berhadapan dengan dua karyawan Zodiac yang bertugas untuk mengendalikan arus tamu yang makin riuh. Cukup aneh, walau menjaga pintu masuk dengan memegang guestlist, kedua karyawan tersebut rupanya berusaha keras untuk mengabaikan setidaknya muka-muka yang tak tampak familier.

Baca juga: Mengintip ramah-tamahnya skena seni rupa yang setara dan seru di Bangkok

Andaikata kami sendiri punya sumber duit sundut-bersundut untuk bikin acara, tapi masih terlalu lesu untuk berinteraksi sama orang di luar kalangan kami sendiri, akan kami pasangkan boneka air tube untuk menyambut semua tamu. 

Baca juga: Mahasiswa yang makan karya seni senilai nyaris 2 miliar rupiah buka suara

Sudah berlalu setengah jam, pameran ‘Pit Stop’ sendiri terletak tersembunyi dalam ruangan samping. Pembukaan pameran dan restoran masih diiringi keramaian society khas Zodiac. Prasmanannya sudah kami mengambil sendiri, ruang pameran pun sudah kami temukan sendiri – sang orang-orang yang telah mengundang kami atau satu pun manusia yang tidak hanya menjalin eye-contact dengan wajah-wajah familiar belaka, masih kami tunggu.

Zodiac

Suasana di depan Zodiac Baresto, Jakarta Selatan (25/06/2023), Foto: ACI

Semua interaksi yang kami amati terasa sangat terkontrol. Tak ada peserta yang menyerukan nukilan-nukilan seperti ‘EEEEEH PA KABAAAR!!!!’ dari ujung ke ujung ruangan – melainkan kami mengobservasi adegan-adegan lebih minimalis, petikan-petikan seperti ‘Nice outfit’ - ‘Thanks’ dibarengi selfie tanpa senyum menghadapi cermin. 

Kami juga sempat ngecek tampilan kami sendiri pada cermin – sudah jadi invisible belum, sih? Saya teringat artikel yang saya tulis pada pekan sebelumnya: Sebuah wawancara bersama seorang musisi muda yang punya fans agak keranjingan dengannya. ‘I enjoy meeting people and I take the time to see them. Of course I'm gonna try and say hello to as many as possible. To me it's the polite thing to do,’ kata musisi tersebut. 

Babak 2: 'Invisible Outro'

Setelah menjadi saksi pesta orang untuk selama nyaris sejam, kami memutuskan untuk berpamit. Eeeehhh, gak ada yang mau pamitan dengan kami. Saya mencari eye-contact dengan mbak-mbak pengurus guestlist yang masih bertugas di pintu masuk – konyolnya, mereka kontan menggengok ke samping, menghindari bertatapan dengan kami. 

Baca juga: Mengintip ramah-tamahnya skena seni rupa yang setara dan seru di Bangkok

Babak 3: Tips jitu dan gratis 

Seni itu passion, bukan gengsi. Entah kenapa, di Indonesia rupanya banyak stakeholder, orang-orang yang terlahir tajir dan bebas untuk ‘berkarya’, dan manusia skena malah mengandalkan penalaran kedua sebagai standarnya berkesinambungan seni. 

Baca juga: Bagaimana fasilitas dan suasana Taman Ismail Marzuki yang baru menurut kalian?

Dengan pembukaan restoran dan bar Zodiac Baresto, grup tersebut sekaligus menyediakan ruang berkesenian. Akan tetapi, sesuai ekspektasi kami, jika pengusaha dari ranah F&B kelas atas menyelenggarakan acara seni, terjadinya potensi acara dilaksanakan secara semena-mena. Cara berinteraksi bagai dalam audiens Zodiac tidak terlalu cocok untuk mengawali penjembatanan ke ranah seni. 

Mungkin bagi anak-anak geng inti sikap yang kami maksud terdengar nyeleneh dan asing – tak masalah! Asal pada peresmian acara seni berikutnya kurasi tamu berdasarkan modus yang sudah familiar: Hanya mengajak muka-muka familier saja. 

 

Kohesi di Seni

Kritik seni ini merupakan bagian dari ikhtiar oleh ART CALLS INDONESIA untuk memberdayakan skena seni, dan mengajak pegiat seni untuk turut berpikir kritis dalam aneka konteks.