JAKARTA (INVISIBLE) CITY OF LITERATURE

Jakarta diakui sebagai 'kota sastra' oleh UNESCO, tapi pencapaiannya masih minim

"Enjoy aja," kata pihak perwakilan 'Jakarta City of Literature' yang seakan-akan sudah kehilangan tekad memajukan kancah literatur di Jakarta. Gelar 'City of Literature' menjadi prestasi semata tanpa ada tindak lanjutnya

Ilustrasi oleh Vellencia Tandra, Art Calls Indonesia

Ilustrasi oleh Vellencia Tandra, Art Calls Indonesia

Article Image Title
Editor: Marten S.
28.06.2024

Judul album anyar milik Taylor Swift 'The Tortured Poets Department' cocok untuk menghiasi keberadaan sastra di Jakarta. Pegiat sastra di ibu kota tentu bukan di-'torture' (Pram atau Wiji Thukul), tapi masih terbatas dalam kans untuk membangkitkan nama sastra Indonesia. Kendati fasilitas sebenarnya sudah tersedia, institusi-institusi yang berperan sebagai agen sastra sudah terbentuk, dan Jakarta sudah resmi menjadi 'kota sastra', Jakarta tampaknya belum memiliki ekosistem sastra yang kohesif. 

Perkara itu telah menjadi bahan diskusi dalam forum sawala 'Jakarta City of Literature: Sekadar Status atau Serius Dihidupi'? Diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta Komite Sastra, Laura Prinsloo Bangun ('Focal Point' Jakarta City of Literature) dan Alex Sihar (Staf Khusus Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek RI) menghadapi pertanyaan dan keluhan peserta audiens. Catatan absen: Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Jakarta Andhika Permata, meski diundang sebagai panelis, tidak hadir. Laura Prinsloo Bangun selaku perwakilan 'Jakarta City of Literature' dituai kritik pedas oleh audiens. 

Satu-satunya kota di Asia Tenggara yang dianugerahi status 'UNESCO City of Literature' (COL), Jakarta telah bergabung dalam jaringan berprestasi ini sejak tahun 2021. Daftar COL meliputi 53 kota di seluruh dunia. Ungkapan paling pertama oleh Laura Prinsloo saat membuka pidatonya akan menjadi nukilan paling mengesankan sepanjang malam ini: "Sebenarnya saya diundang bingung juga". Mantan ketua Komite Buku Nasional (Kemdikbud) itu kemudian mengemaskan keberadaan skena sastra Jakarta dalam beberapa bagan, seperti pada salindia (slide) di bawah ini: 

4

Presentasi oleh Laura Prinsloo pada diskusi ‘Jakarta City of Literature: Sekadar Status atau Serius Dihidupi’, 23 Mei 2024, di Taman Ismail Marzuki. | Foto: ACI

Merangkul perjalanan nominasi Jakarta dalam jaringan COL, Laura Prinsloo merujuk pada serangkaian kegiatan sastra yang sudah pernah dihelat di ibu kota: "Di Jakarta sudah banyak yang bisa kita ajukan sebagai program kerja sama [dengan jaringan COL], contohnya ada beberapa event yang kita masukkan program, dan di dalam dosir ini, salah satunya adalah Jakarta International Literary Festival yang dimiliki oleh Dewan Kesenian Jakarta."

Visual Lini Masa Sastra Jakarta Aci

Acara sastra di Jakarta
  • 'Jakarta International Literary Festival' terakhir kali diadakan pada tahun 2022, sebelumnya pada 2019
  • 'ASEAN Literary Festival' terakhir kalinya diadakan pada 2017
  • Komunitas Salihara telah mengadakan festival sastra 'Literature & Ideas Festival' sejak 2001
  • Adapun beberapa acara lepas, seperti 'Jakarta Art Book Fair' atau kegiatan lainnya oleh penerbit-penerbit independen seperti 'Patjar Merah'. Acara-acara kecil-kecilan itu umumnya tidak beresonansi luas di luar sirkel aktor-aktor yang terlibat 
  • 'Jakarta Content Week', yang bekerjasama dengan 'Frankfurt Book Fair', digelar secara tahunan. Acara ini tidak berfokus pada sastra, namun pada konsep gelar wicara seputar tema-tema lebih umum 

Tersengat

Gothenburg (Swedia) telah bergabung dalam daftar COL pada tahun yang sama dengan Jakarta. Namun, berbeda dengan ibu kota Indonesia, perkembangan skena sastra di Gothenburg rupanya terlaksana dengan jauh lebih pesat, sehingga para penanggung jawab di sana sudah bisa menyediakan program residensi bagi sastrawan dari seluruh kota jaringan COL. Sementara, Jakarta belum pernah membuka ranah sastra lokal guna perbauran dengan sastrawan mancanegara melalui program residensi. Adapun beberapa pengarang asal Indonesia yang pernah mendapatkan keuntungan berkat keanggotan Jakarta dalam jaringan COL. Salah satunya, Awi Chin yang diberangkatkan untuk ber-resideni di Gothenburg. 

Dengan akuan UNESCO dalam jaringan tersebut, Jakarta sebenarnya berada di depan pintu yang terbuka lebar. Bagaimanapun, implementasi tepat sasaran rupanya masih macet. Dengan cukup kritis terhadap pencapaiannya di Jakarta City of Literature, Laura Prinsloo menggambarkan pelbagai tantangan yang menghambatkan perluasan program 'Jakarta COL'. Selain tiadanya 'pressure group' yang mengamplifikasi kepentingan para 'knowledge-workers' di ranah seni, proyek kreatif apapun juga akan terdampak oleh kebergantungan pada pihak politik yang lazim menjalankan agenda berlawanan dengan agenda para aktor dari industri kreatif.

3

Laura Prinsloo merujuk pada Taman Literasi Martha Christina Tiahahu, yang pada mulanya dirancang sebagai benteng bagi kutu buku di tengah segitiga Blok M, 'M Bloc' dan 'Blok M Plaza Mall'. Setelah pembangunan taman itu sudah terealisasi, nyatanya sarana yang sebelumnya didedikasi pada literatur, kini dipakai untuk konser musik pop dan kepentingan komersial. Selain satu lemari buku oleh 'BookHive', hanya terdapat satu ruangan di area Taman Martha C. Tiahahu yang digunakan sebagai perpustakaan mini. 

Melibatkan warga Jakarta sebagai stakeholders

Alex Sihar menambahkan perspektifnya sebagai Staf Khusus Direktorat Jenderal Kebudayaan, dan menuntut proyek 'Jakarta City of Literature' perlu dievaluasi terlebih dahulu. Akurasi dan akuntabilitas menjadi prasyarat untuk mensukseskan sebuah proyek budaya, baik dalam penerimaan oleh masyarakat, keberlanjutan melalui hibah dan pengakuan pada taraf internasional. 

"Kalau kita mau serius menetapkan Jakarta sebagai kota kreatif dan City of Literature, maka apa capaiannya dalam satuan waktu tertentu? – Untuk stakeholders-nya, baik untuk yang industrial, untuk kesenian maupun untuk publik. Pencapaiannya [dari Jakarta City of Literature] apa? Datanya kayak apa?," menegaskan Alex Sihar. Menurutnya, KPI ataupun rencana kegiatan tahunan 'Jakarta COL' masih harus dimatangkan. Ia juga menekankan pentingnya pemakaian bahasa yang sahih dan persis: "Untuk mengembangkan kota sastra – bla bla – apa yang mau dicapai dalam jangka waktu lima tahun ke depan? Projection-nya harus jelas!"

Selarasnya, awal mula dari sebuah proyek berakar pada pengumpulan data: "Yuk kita bikin ekosistem mulai dari data dulu!"

Ekosistem 

Masih merangkul tanggapan Alex Sihar, ia juga membagi pengalamannya memantau proses kota Ambon dalam penetapan sebagai 'UNESCO City of Music'. Meski identitas Ambon lekat erat dengan musik bambu, data terhadap ekosistem musik lokal belum terkumpul, infrastruktur pun belum tersedia. Sumber daya alat musik, alias bambu, kala itu sudah tandus di seluruh pulau Ambon, sehingga diambil dari pulau lain. Dengan penetapan sebagai 'City of Music', Ambon walhasil menyiapkan kembali pembangunan plantase bambu. "Ketika kita ngomong tentang ekosistem, ekosistem yang harus dipikirkan," pungkas Alex Sihar.

2

Audiens (dan chunky cats) dipersilakan untuk mengutarakan pendapat | Foto: ACI

Papua, Ubud dan Cikini 

Diskusinya berlanjut panas dengan masukan dari beberapa peserta audiens yang cenderung kurang puas menyimak cerita Laura Prinsloo dan pencapaian oleh gerakan seperti Jakarta City of Literature dalam pemajuan sektor seni dan budaya. Masalah kealpaan dalam kolaborasi dan eksekusi tampaknya bukan hanya terbatas pada Jakarta saja. Begitu seorang dosen ilmu matematika dari Universitas Indonesia maju ke atas panggung, dan membagikan lika-likunya dalam penginisiasiaan wadah 'Papua Youth Creative Hub' di Jayapura. Setelah diresmikan oleh presiden Joko Widodo (ACI telah meliputinya di sini), gelanggang khusus anak-anak kreatif Jayapura itu sempat menghadapi situasi selaras – "What’s next?". Dengan jernih, dan sejatinya dengan gaya dosen, beliau juga merujuk pada ekosistem kesenian dan wisata di Bali, khususnya di Ubud. Menurutnya, ekosistem setempat berputar dengan baik berkat kolaborasi nan kohesif antara akademisi, praktisi seni, pelaku industri pariwisata dan pihak-pihak lain. 

Ketidakterlibatan pelaku-pelaku seni dalam kehidupan kesenian juga dikritik oleh penonton lain. Taman Ismail Marzuki, tempat seni terbesar di Jakarta, rupanya belum memfasilitasi tempat pertukaran pengetahuan bagi pegiat seni di ibu kota: "Kami menghitung ada sekitar 30-an sampai 40-an kelompok sastra di Jakarta. Bisa gak, Graha Bhakti Budaya dipakai oleh komunitas-komunitas sastra untuk setiap bulan bikin acara, tanpa dipungut Rp 150 juta per malam sewanya. Di belakang itu ada teater arena pula [teater terbuka]. Gak pernah dipakai, di sebelah jajaran WC-WC. Sewanya Rp 14 juta satu hari," tutur seorang peserta audiens dengan cukup terhasut. 

Aci Standard Open Calls 1080 17

Amanah sastra

Sastra dan aktor-aktor yang membangkitkan pertukaran pengetahuan melalui sastra sebenarnya patut menjadi aset strategis dalam penciptaan rasa identitas anak bangsa. Kuncinya adalah kolaborasi – sesama pelaku-pelaku industri kreatif! Bagaimana sektor ini bisa diperkuat jika masih terpecah... ? Festival-festival kecil atau di daerah hanya eksis dalam sirkel sendiri-sendiri. Pengakuan dan dukungan lintas-pulau, lintas-genre, lintas-sirkel tak dicari, tak diperoleh. (Marten S, Art Calls Indonesia, 28.06.2024)