LINGKARAN SETAN

Tanpa melek sastra, generasi selanjutnya bakal jadi lebih bodoh lagi dari kita

Tanpa membuka sastra sebagai jendela untuk mengerti diri sendiri, kita bakal semakin kedodoran mengerti dunia ini.

Arsip ACI

Arsip ACI

Article Image Title
Editor: Marten S.
06.06.2024

Kosakata Bahasa Indonesia dikatai minim dan miskin sama mba-mba influencer, mahakarya Pram pernah dijadikan film bioskop layaknya FTV, dan kelompok-kelompok Islami menolak buku-buku sastra yang dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Tambah mencederai fondasi sastra di Indonesia, hanya 1 dari seribu orang di Tanah Air sebenarnya demen baca. Tanpa membuka sastra sebagai jendela untuk mengerti diri sendiri, kita bakal semakin kedodoran mengerti dunia ini.

Upaya untuk memasukkan sastra dalam kurikulum sekolah tampaknya kandas usai sebuah kelompok religius mengkritik kurasi judul buku yang dipilih untuk program ‘Sastra Masuk Kurikulum’. Menurut NU Circle, daftar rekomendasi karya sastra yang dikeluarkan tim kurator program, meliputi beberapa buku yang dinilai vulgar, cabul dan bahkan pedofil. NU Circle sudah mendeteksi dua cerpen oleh Zen Hae dan Faisal Oddang yang menurutnya tak pantas dibaca anak sekolahan. 

Pilihan buku dari kurator terlalu 'elitis'

Prameswari   Antara   P5

Sastrawan sekaligus Anggota Tim Kurator Sastra Masuk Kurikulum Okky Madasari (paling kanan) dalam jumpa pers (31/5/2024). Foto: Lintang Budiyanti Prameswari, Antara 

Senarai penulis untuk ‘Sastra Masuk Kurikulum’ disusun oleh tim kurator yang terdiri dari sejumlah akademisi dan sastrawan, salah satunya Okky Madasari. Rumusan kuratorial mereka juga dikritik oleh ahli kesusastraan I Wayan Artika, Dosen Universitas Pendidikan Ganesha. Ia menilai hasil kerja tim kurator terlalu elitis dan rabun, karena dunia sastra cenderung tak sama dengan dunia pendidikan. Bilapun deretan rekomendasi bacaan itu disertai penafian (disclaimer) dan materi lainnya untuk guru dan murid, adegan seks dan kekerasan seksual dalam karya Zen Hae dan Faisal Oddang tetap terasa tidak cocok dan melebihi kandungan pengetahuan seorang siswa.

Bagaimanapun, tambahan kurikulum itu tidak akan cukup untuk tidak hanya memperkenalkan anak-anak muda pada raksasa sastra, tapi juga untuk menyalakan sel-sel kreatif dalam benak mereka. That being said, membaca sastra bukan hanya kegiatan pasif dan intrinsik saja, tapi cara paling efektif untuk meninggalkan lingkaran setan yang namanya collective stupidity. 

Literasi dulu, baru sastra 

Kata 'literasi' sebenarnya tidak berhubungan erat dengan 'sastra', namun dengan kemampuan kita untuk memahami suatu informasi. Begitu literasi berarti kita berkemampuan untuk menerima informasi, memproses informasi dan mereplik kemudian. 

Banyak masyarakat Indonesia sulit memahami isi suatu teks surat kabar – bukan karena buta huruf (hampir semua warga bisa kok menerima suatu informasi), namun karena terjebak pada tahap memproses informasi. Kelemahan itu membuat kita rentan dibego-begoin. Suara Google-Translator yang diletak pada video-video di media sosial melepaskan kita dari ribetnya menerima informasi melalui membaca sendiri. Teks-teks berita pun harus sependek mungkin supaya bisa tembus ke tahap memproses informasi.

Minat Baca

The Nation which simply doesn't read (1):

The real reasons why most Indonesians don’t like to read

As always, the issue is way more complicated than we’d like to think. We have a long political and socioeconomic history which has turned us into a nation which famously – or rather, infamously, doesn’t read.


Simplifikasi merajalela

Lebih jauh dari dunia sastra, di mana si resipien memang harus mau menerima suatu informasi untuk kemudian memprosesnya (‘menulis ulang’ dalam otak), dunia media juga dicederai kelemahan literasi kita. 

Media-media yang ramai traffic di kalangan anak muda rata-rata merupakan media template-an dan shitpost seperti Folaktive, USSFeed dan kawan-kawan. Mereka hanya main pada level yang tidak melampaui tahap penerimaan informasi (tidak harus mencerna apa-apa). Untuk memproses informasi di balik postingan-postingan clickbait, kita gak perlu ngotak dulu. Tambah lagi, para muda-moody dari Generasi Z tampaknya sudah gagal total pada tahap penerimaan dan pemprosesan, sehingga bentuk komunikasi paling populer merupakan Bahasa Meme. Apa-apa pake meme Spiderman.

Saya rasa, kondisi tersebut turut menyebabkan merosotnya media-media bermutu. ‘Vice’ misalnya, yang pada masa berjayanya membuat banyak liputan tentang kancah seni di Indonesia secara berbeda dari media lama seperti ‘Kompas’ dan ‘Tempo’, sudah bangkrut dan telah menghentikan penerbitannya. 

Penyediaan informasi dan ajakan untuk berpikir melalui media berkualitas, kian digantikan gaya narasi yang tersimplifikasi. Kini, pembaca sudah dianggap (lebih) bodoh (dari penulis). Repertoar jurnalistik yang meliputi teks opini hingga feature, kini sudah digantikan satu format populer: Explanation texts, seperti dimantulkan oleh banyak media arus utama, dan juga media niche seperti ‘Whiteboard Journal’. 

Vice Imag

Vice Media Group sudah gak eksis lagi. | Foto: Arsip ACI

Bahasa Indonesia miskin kosakata?

Kondisi literasi di Indonesia juga bisa dituangkan dalam angka: Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah melaporkan pada 2017 bahwa data UNESCO menunjukkan minat baca masyarakat Indonesia stagnasi di 0,001 persen. Sementara, rata-rata warga +62 menghabiskan sebanyak sembilan jam per hari di media sosial. Kebiasaan jelek itu juga memunculkan diskusi-diskusi ajaib tentang sastra antara pengguna sosmed: Beberapa waktu lalu pembawa acara siniar (podcast) Indah G mengklaim bahwa Bahasa Indonesia hanya memiliki kosakata yang minim. Bullshit! – (untuk istilah itu pun juga ada belasan pandanan dalam Bahasa Indonesia)

Pada intinya, anggapan bahlul, bebal, tumpul, dungu dan hampa itu menunjukkan mengapa sastra Indonesia tampaknya sulit diurai orang awam. – Karena Bahasa Indonesia 'meander' melalui zaman. Bahasa jadul dan penulis kawakan sulit dimengerti jika tidak diperkenalkan mulai dari sekolah. 


The nation which simply doesn't read (2):

Why even bother reading, when reading is such a useless activity

Buat Apa Baca

Lomba ilmu 

Mungkin juga kita bukan malas baca karena bingung akan konteks, tapi karena kita sudah capek berlomba dalam kehidupan nyata, sehingga kita terlalu letih untuk memikirkan politik, seni, fiksi, utopia, dan lain lain. Pada dasarnya, kita terlahir dalam masyarakat yang menganuti konformitas. Tapi, ujung-ujungnya kita terpaksa untuk berlomba (karena Indonesia kebanyakan penduduk). Kita berlomba mendapatkan kursi duduk di bus, berlomba gila-gilaan untuk mendapatkan kerja, dan bahkan berlomba demi perhatian. 

Ada pun satu hal yang tidak dilombakan di Indonesia, yakni ilmu. ACI adalah satu-satunya tempat di Indonesia yang rutin memberikan akses ke lomba-lomba berbasis ilmu. Orang-orang berilmu yang bisa meraih dalam lomba bukan karena koneksi, duit bapak dan nepotisme, cenderung lebih sukses di luar negeri (brain drain). 

Baca juga: Vacuum in the collective brain – Understanding the brain drain in Indonesia

Mengonstruksi pembaca baru

Masa sekolah, sebelum kita terlempar dalam lomba hidup, semestinya menjadi tempat untuk mengonstruksi pembaca baru. Siswa SD hingga SMK yang diajak untuk baca buku sebenarnya belum merupakan pembaca riil. Mereka baru menjadi pembaca riil ketika mereka mahir ‘menulis ulang’ karya yang sedang dibaca. 

Seorang pembaca baru juga melewati proses pencarian diri secara intrinsik (ke dalam). Begitu, dia juga mengasah keterampilan untuk berpikir aras tinggi dan berkesadaran akan sejarah. 

2018 07 16 49314 1531708080. Large

A volunteer of the Pustaka Bergerak initiative uses his horse to distribute books for children in a remote area near Mount Slamet in Central Java. | Photo: Pustaka Bergerak 

Tema besar kolonialisme, yang sering digemakan oleh netizen Indonesia melalui topik perang Israel dan Gaza, sebenarnya perlu pendahuluan mengenai sejarah di Indonesia sendiri. Apa sih yang sebenarnya diketahui orang-orang di sini tentang kolonialisme? Tahukah mereka bahwa Indonesia juga punya sastrawan-sastrawan beken yang pernah melanggengkan pengetahuan mereka akan penjajahan dalam bentuk buku? Tahukah mereka bahwa sastrawan paling sakral di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, setiap sore menceritakan cikal-bakal novel Buru-nya di hadapan kawan-kawan tahanan politik di Pulau Buru, sebelum karya ini akhirnya diketik dan diselundupkan? 

Sastra jadi FTV

Pada 2019, Bumi Manusia, sampul karya paling populer oleh Pram, dijadikan film cringe garapan Hanung Bramantyo dengan sokongan Falcon Pictures. Adaptasi ini dari buku ke film (Ekranisasi) dianggap gagal menyajikan impresi realistis dari kehidupan di tengah kolonialisme pada abad ke-19. Minke (tokoh utamanya dalam buku) diperankan oleh Iqbaal Ramadhan yang dinilai berbeda jauh dengan sosok Minke dalam bayangan pembaca ‘Bumi Manusia’. Dialog di film pun dinilai cringe dan selevel FTV. Astuti Ananta Toer mendukung adaptasinya dari mahakarya sang ayah tatkala perilisan film itu. 

Begitulah warisan karya-karya paling berat dan besar diperlakukan di Indonesia. Bayangkan seyogianya ada sekolah di mana perbandingan buku dan film ini dibedah oleh guru dan siswa. – Kenyataannya, lingkup sekolah tidak mampu memperkenalkan sastra dengan menarik dan bermanfaat bagi siswa. 

Baca juga: Pernahkah kamu merasa sebel selepas menonton sebuah acara seni?

Sebenarnya sudah ada beberapa fasilitator yang cukup mampu untuk bantu membangkitkan dunia sastra lokal. Namun, mereka terlalu asik sendiri-sendiri saja, termasuk proyek besar seperti ‘Jakarta UNESCO City of Literature’ hingga proyek-proyek di daerah yang didukung melalui dana publik. 

(Marten S, Art Calls Indonesia, 06.06.2024)