"Mending bodoh ramai-ramai daripada cerdas sendirian"
Menurut penelitian terbaru oleh PISA, siswa Indonesia tak mampu bernalar kreatif dan 'outside the box'. Pemberitaan ACI terkait tema ini telah panen resonansi luas, kami rangkumkan beberapa komen pembaca ACI
Ilustrasi ACI
Untuk pertama kalinya PISA menilai keterampilan berpikir kreatif dari peserta didik di sebanyak 64 negara. Penemuan PISA: Siswa Indonesia tak berbakat bernalar kreatif dan tak mumpuni berpikir ‘outside the box’. Sementara, Singapura adalah peraih skor tertinggi dalam ranking tersebut.
Menurut pembaca ACI, kelemahan siswa Indonesia dalam berpikir kreatif bukan hanya disebabkan oleh sistem pendidikan yang belum ideal, tapi juga karena budaya kita dan dogma yang kita anuti. – Apa pun yang berbeda dari norma (definisi dari ‘outside the box’) lazim dicap ‘agak laen’ dan nyeleneh, sehingga kita merasa lebih aman berasimilasi dengan masyarakat kebanyakan. Salah satu pembaca ACI menyimpulkannya dengan tajam dan tepat:
"Kalau beda sendiri nanti disindir. Jadi mending bodoh ramai-ramai daripada cerdas sendirian."
Supaya mata kalian tidak lelah menatap media sosial sepanjang hari, kami merangkum komentar para pembaca ART CALLS Indonesia terhadap hasil studi PISA.
Studi tersebut telah ‘mengukur’ daya kreatif para siswa Indonesia melalui segelintir tugas yang berbunyi seperti ini:
Pembaca ACI rata-rata mengungkapkan tak heran bahwa siswa Indonesia miskin daya khayal, dan merujuk pada pengalaman sendiri dalam lingkup sistem pendidikan di Indonesia:
‘Saya pernah mengajar di suatu SD dan pernah disuruh menilai ujian seni. Tugasnya, siswa disuruh menggambar bebas. Satu kelas gambarnya sama plek-ketiplek. Artinya, yang punya ide satu, yang lain nyontek semua,’ ujar seorang pembaca ACI.
‘Suruh ngarang bebas aja masih pada nyontek,’ menyimpulkan pembaca ACI lain.
‘Jaman ku sekolah, setiap diminta gambar, serentak pada gambar gunung, sawah dan burung,’ berbunyi komen serupa.
‘Esensi pendidikan kita masih terbawa dogma lama yang menuntut siswa yang pasif [...]. Menteri Pendidikan RI memiliki latar belakang pebisnis, [rupanya] SDM kita dilihat sebagai tenaga kerja sehingga tujuan pendidikan hanya untuk mencetak karyawan, bukan akademisi dan pemikir,’ menambah salah follower ACI.
Bullying
Pembaca ACI juga mengkritik budaya perundungan atau bullying sebagai salah satu indikator yang meragukan orang-orang berpenalaran kreatif.
‘Kalau ada yang beda sedikit, langsung dibully. Jadi minder kalau mau beropini, karena takut dicemooh.’
Baca juga: Lebih berfaedah bikin program 'Literasi Masuk Kurikulum' daripada 'Sastra Masuk Kurikulum'
Budaya ‘inside the box’
Pembaca ACI juga menekankan kentalnya konformitas dalam masyarakat Indonesia:
‘Kalau punya pemikiran yang ‘outside the box’ malah dibilang ‘agak lain’. Pokoknya, di masyarakat kita kalau tidak mengikuti kebiasaan masyarakat kebanyakan, pasti dibilang aneh,’ sebut seorang Follower ACI.
‘Berpikir kreatif dan outside the box itu distigma mulai dari Freak, seolah gak jelas juntrungannya. Sampai dianggap menyimpang, sampai kafir. [...] Kita harus manut sama atasan, manut sama patronasi, manut sama keadaan,’ mengikhtisarkan pembaca lain.
‘Bagi yang dibesarkan di ‘daerah’ zaman dulu, tentu akan mafhum kalau berpikir ‘outside the box’ akan mendapatkan cemoohan dan kemarahan guru. Bertahun-tahun kemudian saya baru menyadari kalau berpikir kreatif – hence ‘outside the box’ – adalah prasyarat untuk jadi peneliti, dan skill paling penting ketika PhD.’
‘Berbeda dari yang lain itu salah, dan kebenaran komunal itu mutlak. [Orang Indonesia pada] maunya mengikuti apa kata orang, apa kata video TikTok. Beda sedikit dihujat, keren sedikit dicari kesalahannya.’
Salah satu pembaca kami juga mengurai bagaimana budaya bertautan dengan rendahnya daya khayal: ‘[...] Budaya kita terjelma dalam penentu-penentu fisik: Ada yang suka baca komik, maka dia dipanggil ‘Wibu’. Saat tes PISA disuruh bikin plot komik, dan diajak untuk jadi Wibu sejati, malah gak pede. Jangan-jangan yang 5 persen itu [dari data PISA] Wibu semua.’
Dampak pada industri kreatif
Dengan kehadiran kecerdasan buatan, ancaman bagi potensi industri kreatif di Indonesia kian membesar. Salah satu pembaca ACI memperingati bahwa ‘kita selalu pengennya apa-apa serba instan dengan budaya plak-ketiplek. Ditambah lagi, AI bukan dilihat sebagai solusi penunjang, malah dijadikan solusi instan.’
Seorang pembaca lain menambahkan perspektifnya sebagai pelaku seni: ‘Talking as an artist, kadang sedih betapa kami terpaksa banting harga di negara sendiri dan lebih dihargai di luar negeri (...).’
Masih dalam konteks industri kreatif, ada pun pembaca yang merangkulnya dengan cukup sinis: ‘Halah bangke, giliran lomba kreatif yang menang tetep orang dalem.’
‘Stunting intelektual’
Banyak hal dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya hanya bisa dipahami jika kita mampu berpikir abstrak: Misal, soal perubahan iklim, polusi udara, keadaan masyarakat yang terpinggirkan dll. ‘Ya mau bagaimana lagi, memahami majas metafora seperti ‘Angin tak punya KTP’ saja mereka tak mampu,’ ujar salah satu pembaca ACI.
Last but not least, apa yang dibutuhkan menurut pembaca ACI untuk membangkitkan kreativitas anak bangsa? Salah satu pembaca mengidentifikasikan beberapa prasyarat: ‘Berpikir kreatif membutuhkan requisite conditions tertentu: Misalnya, kebebasan, keterbukaan, keberanian, daya khayal dan sedikit ‘kegilaan’.
(Marten S, Art Calls Indonesia, 24.06.2024)