Lebih berfaedah bikin program 'Literasi Masuk Kurikulum' daripada 'Sastra Masuk Kurikulum'
Program Sastra Masuk Kurikulum dinilai gagal. Bagaimanapun, masalah rendahnya literasi digital saja belum beres.
Ilustrasi oleh ACI
Tim kurator di balik program ‘Sastra Masuk Kurikulum’ panen kritik dari berbagai pengamat. Ada yang bilang pilihan buku terlalu vulgar, lantaran beberapa novel pilihan mengandung unsur kekerasan dan pornografi – ‘Sering kali tangannya meremas pantat Sekar’ (Tarian Bumi oleh Oka Rusmini). Ada juga yang menilai kanon bacaan terasa random (Lengking Burung Kasuari dimasukkan ke dalam kategori bacaan anak SD padahal cerpen berbobot). Bahkan ada yang mencurigai hasil kurasi itu sebenarnya disusun oleh AI.
Kritik lain yang diutarakan juga merujuk pada kriteria penyeleksian yang dipegang tim kurator. Buku yang layak masuk kanon bacaan diseleksi berdasarkan acuan antara lain seperti ‘penghargaan yang telah diberikan’, ‘telah diterjemahkan ke bahasa asing’, dan ‘dibahas dalam resensi-resensi’. Pertimbangan kuratorial semacam itu lebih mementingkan prestasi yang disabet sang pengarang, ketimbang teks sastranya tersendiri.
Terkait tuntutan unsur pornografi dalam daftar buku itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah mengklarifikasi, bahwa kanon bacaan itu tidak wajib dibedah di ruang kelas. Bagaimanapun, sebelum sastra memang diselipkan ke dalam kurikulum sekolah, masih ada banyak hal yang perlu digarap terlebih dahulu.
Sebelum sastra ‘dipersekolahkan’, semestinya …
… ada perpustakaan di setiap sekolah (bukan lemari kosong).
… para guru mendapatkan pelatihan untuk menjadi perantara sastra.
… para siswa belajar literasi terlebih dahulu.
Lemah memahami konteks bacaan
Proses belajar sebuah bahasa asing umumnya tidak hanya melibatkan penghafalan gramatika dan kosakata. – Kenyataan di banyak sekolah di Indonesia cukup berbeda: Pengajaran Bahasa Inggris misalnya dilaksanakan secara kering dan teknis saja, tanpa melatih berbicara. Walhasil, banyak siswa tergagap-gagap ketika berbicara dalam bahasa asing, karena belum terlatih bersifat fleksibel saat bicara.
Keterbatasan dalam berbahasa itu juga terjadi dalam bahasa ibu. Hasil studi PISA ‘Creative Thinking’ melapor bahwa siswa Indonesia bukan hanya tak mumpuni memahami konteks dari suatu bacaan, namun juga kurang kompeten berartikulasi dan kemudian bertindak (berdasarkan informasi yang diterima dan diproses).
Baca juga: Siswa di Indonesia tak mampu berpikir kreatif: 0% mahir membaca hingga paham konteks, hanya 5% yang berpikir 'outside the box'
‘Literasi Masuk Kurikulum’
Maka, yang dibutuhkan sebenarnya program ‘Literasi Masuk Kurikulum’ bukan ‘Sastra Masuk Kurikulum’ – sebagai langkah awal guna memperoleh aset keterampilan intelektual dan kognitif untuk kemudian mencerna dan merefleksi sastra.
Program peningkatan literasi semacam itu bisa dilaksanakan melalui membaca dan membedah artikel surat kabar di kelas, dan mengundang jurnalis ke sekolah (di Maluku wartawan dari Maluku Post, and so on). Literasi media perlu diasah terlebih dahulu, agar orang muda menjadi mampu merangkul khazanah sastra Indonesia.
Kata ‘literasi’ tidak berhubungan langsung dengan ‘sastra’, namun dengan kemampuan kita untuk memahami dan memproses suatu informasi.
Tanpa kemampuan untuk memahami dan memproses sebuah artikel koran misalnya, si penerima informasi tak akan sanggup beropini dengan bijak serta beride sendiri. – Inilah jebakan paling fatal bagi sistem demokrasi. – Ketika semua orang jadi bego dan gampang dibego-begoin.
Baca juga: Tanpa melek sastra, generasi selanjutnya bakal jadi lebih bodoh lagi dari kita
Collective Stupidity
Kebebalan umumnya berbiak berkat media sosial. Dinamika itu juga turut diperparah dengan rendahnya minat baca di Indonesia (hanya 1 dari 1000 orang Indonesia suka baca), sehingga kita hanya membaca (menerima) berita-berita paling ingar-baring, paling viral dan paling kontroversial.
Kita melewatkan tahap 'memproses informasi' (karena sudah gagal pada tahap 'penerimaan') dan langsung maju ke tahap 'output' (yang sedemikian sama sekali tidak berkualitas): Kita mencaci-maki orang lain gegara berbeda dari mayoritas, kita menyumpahi orang hanya karena lagi ramai saja di media sosial, dan kita keluarkan umpatan tanpa paham akan konteks.
Sebenarnya semua stakeholders mesti bekerja sama, karena sastra ter-interkoneksi dengan literasi; karena literasi berhubungan dengan kemajuan SDM; dan kemajuan SDM bisa memengaruhi mutu politik. (Marten S, Art Calls Indonesia, 21.06.2024)