'Panduan bunuh diri': Ketika kasus bunuh diri diromantisisasi media
Sempat dengar soal kasus bunuh diri sejoli dari Tangerang? Usai meninggal bareng, kasus mereka menengarai lagi-lagi kealpaan skena media di Indonesia. Bahayanya, media sebenarnya bisa mengendali gairah orang-orang yang terlintas dengan ide bunuh diri
ACI
Bak 'Romeo dan Juliet' – Selepas dua orang muda memutuskan untuk mengakhiri hidupnya di Ciputat, Tangerang, media di Tanah Air mengedarkan acuan 'Romeo dan Juliet' untuk menonjolkan betapa nestapanya kasus tersebut tampak.
Saban-saban ada berita bunuh diri, segala detail dari foto sanak yang berduka cita hingga proses meninggalnya bergelombang dari satu ke lain sarana media di Indonesia. Pada pekan pertama tahun 2023 ini, sebuah pasangan memutuskan untuk mengakhiri kehidupan mereka. Mereka berusia 23 dan 25 tahun pada saat mereka meninggalkan jejak-jejak terakhir di media sosial. Sejoli itu kemudian ditemukan tewas usai bunuh diri secara bersamaan. Dilansir pelbagai sarana media Tanah Air, kedua jasad ditemukan berpegangan tangan.
Lantas, kasus tersebut digurat sebagai cerita nestapa bagai Romeo dan Juliet – pasangan tenar dari naskah dengan julukan yang sama oleh William Shakespeare. Rupanya kematian pasangan dari Tangerang itu diromantisisasi jua, kita sebagai konsumen berita terekspos pada asumsi bahwa wafatnya dua orang muda tersebut tampak indah. Bahayanya, ilmiah psikologi membuktikan bahwa pandangan sensasional pada tindakan ‘bundir’ bisa memicu disposisi mental orang-orang yang mengalami gangguan jiwa. Kasarnya, berita bunuh diri bisa mengajak kita untuk meniru tindakan tersebut.
Belajar Istilah: 'Werther Effect'
Fenomena keinginan untuk meniru tindakan bunuh diri disebut ‘Werther Effect’. Istilah itu diambil dari tajuk buku ‘Penderitaan Pemuda Werther’, karya Johann Wolfgang von Goethe yang diterbitkan pada tahun 1774. Dalam novel tersebut, tokoh utamanya bernama Werther sengaja mengakhiri hidupnya dengan menembakkan diri sendiri selepas cinta sudah kandas. Banyak penggemar di daratan Eropa kemudian menirunya dengan memakai pakaian ala tokoh novel ‘Werther’ dan mengakhiri hidupnya dengan cara yang sama.
Bukti penurunan kasus bunuh diri selepas media lebih 'discreet'
Orang-orang yang berisiko bunuh diri berada di sebuah kubus imajiner di mana mereka berurusan secara intensif dengan topik bunuh diri. Untuk mencegah adanya efek Werther, media mancanegara sudah sadar akan fenomena Werther tersebut sejak zaman 1980an. Terdapat contoh naik-turunnya kasus bunuh diri di kereta bawah tanah di Wina, Austria. – Sejak pertengahan dekade 1980, wartawan di sana sudah mengubah cara mereka mewartakan insiden-insiden tersebut. Usai membawa peristiwa-peristiwa itu dengan lebih diskrit, jumlah kasus peniruan kemudian menurun dan semenjak itu berada secara konsisten di tingkat lebih rendah.
Bahaya sebab glorifikasi, atensi dan semacam panduan bunuh diri
Semakin emosional dan sensasional narasi berita bunuh diri, semakin besar potensinya individu dengan bentuk depresi mempan untuk mencabut nyawa sendiri. Adapun beberapa faktor untuk mengidentifikasi bahayanya berita bunuh diri.
Risiko ini meningkat ketika
- 'kematian sukarela' dijelaskan secara rinci dan sensasional
- lingkungan sosial, latar, motif dan kondisi pelaku digambarkan secara mengharukan
- adanya penyederhanaan penyebab masalah: tindakan bunuh diri digambarkan sebagai aksi mencari ketenangan atau jalan pintas atas tekanan-tekanan yang disimpulkan dengan motif-motif tunggal – seperti himpitan ekonomi atau masalah dengan pasangan
Risiko peniruan berkurang apabila
- berita bunuh diri tidak disoroti, hanya masuk berita kilasan
- ada penjelasan bunuh diri diakibatkan penyakit tertentu, misal salah bentuk depresi
- terdapat pendapat ahli
- terdapat pencantuman kontak bantuan bagi orang-orang yang sudah terlintas ide untuk mati
Press Review: Liputan 6 dan Harian Kompas
Terkait kasus bunuh diri sejoli dari Tangerang, Art Calls Indonesia mencantumkan dua contoh dari media massa yang sempat meliputi kasus tersebut: Tidak hanya alpa dalam pemilihan kata nan takzim, wartawan Liputan 6 juga mengira Romeo dan Juliet berbasis film. Harian Kompas menghindari rujukan senonoh ‘Romeo-Juliet Ciputat’. Walakin, Harian Kompas turut mengisahkan dari pojokan romantis.
Relevansi dan Sensasi
Menanggulangi pemberitaan kasus-kasus bunuh diri, relevansi tidak boleh terpuruk berkat sensasi. Contoh: Pada Agustus 2021, beberapa orang muda di Myanmar memutuskan untuk loncat dari gedung bertingkat untuk menghindari represi dari aparat penguasa Myanmar. Nyawa mereka melayang setelah terjun dari ketinggian gedung. Kasus tersebut (disclaimer: sarkasme) kemudian diberitakan di media mancanegara tanpa merujuk pada Spiderman. Ataupun Romeo dan Juliet.
Dengan setiap kasus bunuh diri yang diliputi nada sensasional dan penjelasan eksplisit, kadar media menengarai bahwa mereka memilih untuk tidak sadar akan pengaruh dari konten mereka. Seyogyanya media memberitakan secara lebih sensitif dan lebih mementingkan informasi penenangan bagi orang-orang yang sudah terlintas ide bunuh diri, setidaknya para ibu dan ayah, kakak dan adik yang kehilangan saudara bisa mengenang mereka dengan lebih damai.
Referensi, acuan dan informasi lebih lanjut seputar etika media terhadap pemberitaan bunuh diri: https://www.pdskji.org/article_det-34-bunuh-diri-menular-the-werther-effect.html