DISTRIBUSI KEKAYAAN

Menolak menikmati warisan berlimpah, perempuan ini 'kembalikan' Rp 425 miliar demi pemajuan demokrasi

Apakah anak orang kaya berhak menjadi pewaris hartanya orang tua? Menurut seorang tajir asal Austria, rakyatlah yang layak menjadi pewaris.

Foto: Coffrini/AFP/Getty Images

Foto: Coffrini/AFP/Getty Images

Article Image Title
Editor: Redaksi ACI
25.06.2024

Cucu dan cicit Soeharto kerap diagung-agungkan. Setidaknya dalam media-media tabloid, di mana orang-orang berketurunan kasta purnawiran itu diperlihatkan berjemur dan bersantap di berbagai sanggraloka mewah. Bayangkan manusia-manusia sementereng itu tidak mencari makna dalam kehidupan fana ini dengan memfoya-foyakan uang warisannya saja. – Marlene Engelhorn, seorang pewaris harta muda asal Austria merasa ia tak berhak menikmati hidup dengan harta berlimpah yang ia diwariskan neneknya.

‘Saya tak pernah kerja sehari pun untuk memperoleh duit itu,’ kata Marlene Engelhorn saat ia meluncurkan sebuah proyek besar, yang dituju untuk ‘mengembalikan’ harta miliknya pada rakyat. Menariknya: Engelhorn sengaja tak ambil kendali dan membiarkan uang tersebut dikelola oleh dewan yang didirikan secara demokratis, dan diisi oleh orang-orang terpilih secara acak guna mencerminkan kemajemukan populasi Austria. 

Akhirnya tidak kaya lagi

Sebelum menggagas konsepnya untuk pendistribusian uang warisan, Marlene sudah aktif dalam gerakan ‘Tax Me Now’. Terdiri dari segelintir orang berada, gerakan tersebut menuntut penguasa politik di berbagai negara untuk menyetarakan sistem perpajakan, lantaran banyak negara hanya memotong persentase kecil (rata-rata 0,2 hingga 4%) dari harta oleh individu-individu berduit.

‘Saya sebenarnya punya kuasa berkat warisan saya, tapi saya ingin berkomitmen pada masyarakat yang lebih demokratis,’ ucap Marlene dalam wawancara dengan pers di Austria. 

Baca juga: Apakah hanya anak orkay mampu menjadi 'changemaker'?


'Dewan Bijak'

Dipantau sekelompok peneliti ilmiah sosial, proyek ‘Dewan Bijak’ (nama aslinya dalam Bahasa Jerman ‘Guter Rat’) telah mengundang sebanyak 50 penduduk Austria untuk menjadi anggota dewan pendistribusian harta Marlene. Terlepas dari kewarganegaraannya, pesertanya terpilih secara acak dan digaji dengan Rp 120 juta untuk merembuk bersama dalam total hanya enam pertemuan saja. 

Agar menjadi semacam replika mini dari demografi penduduk Austria, para peserta diundang dari berbagai pelosok. Dewan Bijak itu antara lain terdiri dari seorang siswa SMA asal Mesir, seorang lansia dari perkotaan, seorang lansia lain dari daerah, seorang koki keturunan Turki, dan juga seorang pencari suaka asal Afganistan, yang didampingi oleh penerjemah saat rapat dewan berlangsung. 

Kemajemukan itu penting dan berpengaruh bagi Marlene, selaku inisiator. ‘Kalau kita bersedia mendengarkan opini orang lain, akan muncul ide-ide baru,’ tutur Marlene. 

Engelhorn2

Tanpa hak veto

Dewan Bijak telah memutuskan (9/6/2024) dalam serangkaian rapat siapa yang akan menerima uang yang disediakan Marlene. Ia sendiri tak ikut campur dalam proses keputusan, dan tak mencari panggung melalui proyek ini. Hasil rembukan Dewan Bijak: Sebanyak 77 organisasi akan disediakan donasi. Antara lain, dewannya memutuskan untuk mengalokasikan dana ke organisasi penjaga kelestarian alam, lembaga pengurus tunawisma, atau juga media alternatif berbasis di Austria. 

Baca juga: Jangan sebut 'flexing' – ada istilah lebih ketus untuk mengkritik pejabat yang pamer harta


Melepaskan privilese demi kemaslahatan masyarakat kebanyakan

‘Satu suara per orang, bukan satu suara per Euro [atau Rupiah],’menegaskan Marlene saat ditanya pers Austria mengapa ia memilih untuk membagi-bagi harta miliknya.

Ketimpangan sosial dalam distribusi kekayaan berdampak negatif pada mutu politik dan keberagaman industri pers. Masyarakat Indonesia juga mengenal keadaan tersebut: Negaranya diutak-atik oleh segelintir tokoh purnawirawan dan orang-orang titipan, dan industri media didominasi oleh beberapa penyalur kepentingan orang kaya tujuh turunan. 

Oleh sebab itu, Marlene mempertanyakan apa yang melegitimasikan seorang tajir untuk mempengaruhi masyarakat. ‘Kalau segelintir orang memiliki terlalu banyak, artinya ada banyak orang yang memiliki terlalu sedikit,’ ia tutup.

Apakah ikhtiar mulia seperti itu juga bisa terealisasi di Indonesia? Pejabat dan pewaris harta di Tanah Air rupanya masih sibuk flexing. (Marte S, Art Calls Indonesia, 25.06.2024)

 

'Dewan Bijak', Marlene Engelhorn: https://guterrat.info/en/