Aspek yang orang Indonesia luput kala membela budaya tuan rumah piala dunia
(Opini) Qatar sebagai tuan rumah piala dunia 2022 dibalut berbagai kontroversi. Namun, mengapa pengguna sosial media di Indonesia cenderung membela Qatar dan budaya setempat?
Wiki Commons / Kefah51
Qatar selaku penyelenggara pesta akbar piala dunia tersandung banyak skandal. Di belahan bumi Barat animo penggemar sepakbola terhadap piala dunia 2022 jelas menurun. Taktik Qatar untuk memopulerkan nama mereka malah membuat Qatar makin terpojok dengan diskriminasi kelompok minoritas, isu pelanggaran hak para pekerja bangunan proyek dan dugaan korupsi.
Interpretasi media Barat terhadap Qatar memang lebih bengis dibandingkan di Indonesia. Pasalnya, berbagai perkara bersangkutan dengan diskriminasi kelompok minoritas, pelanggaran hak pekerja dan korupsi bukanlah hal asing di negeri ini. To some extent, itu adalah bagian budaya, maka tidak masuk akal mengkritik negeri orang yang mengamalkan budaya serupa.
Ketika media lokal memberitakan tentang kejadian-kejadian yang menodai turnamen olahraga paling bergengsi itu, refleksi dan gema para pengguna media sosial di Indonesia bisa disimpulkan seperti berikut:
Yang menodai piala dunia 2022 bukan pelanggaran yang dilakukan oleh tuan rumah Qatar, namun perilaku dan pola para peserta dari Barat, yang menekankan isu-isu diskriminasi dan ketidakadilan di Qatar. Menurut kanon publik para pengguna media sosial di Indonesia, misalkan mengibarkan bendera LGBTQI+ tidak merupakan aksi yang baik sebab tidak menghormati budaya di Timur Tengah, khususnya di Qatar. Dengan menaati budaya dan hukum setempat, wacana apapun secara otomatis akan dituntaskan.
Teks ini bukan mengarah pada kesimpulan bahwa banyak pengguna media sosial di Indonesia, yang mengutarakan pendapat tentang piala dunia, bersifat apolitis atau konservatif – tetapi menginsinuasi bahwa mereka mungkin melupakan konteks yang berpandangan lebih luas.
Apa salahnya ketika orang asing menekankan jati diri negara orang?
Qatar bukan mengadakan piala dunia karena bersukacita. Negara mungil nan kaya raya itu bertujuan untuk memopulerkan nama mereka di luar negeri. Rupanya para syekh bertekad untuk menuai perhatian dari seantero dunia, tidak ada salahnya ketika media menyiasati keadaan-keadaan yang jelas bukan adem ayem di sana. Berbagai klub sepakbola dari Eropa dan juga para pendukungnya menekankan situasi diskriminatif terhadap kelompok masyarakat minoritas di Qatar. Di jagat media sosial di Indonesia banyak pengguna menganggap pola dan berbagai aksi seperti mengibarkan bendera pelangi sebagai ketidakhormatan kepada tuan rumah dan sebagai transplantasi terpaksa dari pola orang asing pada budaya lain.
Namun secara umum, bukankah contoh tersebut menjadi panutan dan gelagat baik ketika keadaan tidak manusiawi yang dialami golongan minoritas / tanpa kuasa pada suatu negara menjadi wacana publik? Secara hipotesis saja kita membayangkan para bintang sepakbola dari seluruh dunia berlaga di GBK di Jakarta. Media dan penggemar olahraga dari seluruh dunia memperhatikan Indonesia dan meresahkan persoalan sosial yang dianggap tidak cukup adil menurut mereka. Persoalan semacam ini mungkin tidak dapat disuarakan oleh orang lokal tanpa menghadapi salah satu bentuk represi.
Apakah pola pikir 'you do you' merupakan bentuk hormat paling baik? Setidaknya bagi anggota kelompok yang terpinggirkan, terlepas akibat apapun, jelas tidak.