Apakah hanya anak orkay mampu menjadi 'changemaker'?
Shout-out kepada kalian semua yang tekun berjuang sendirian, tanpa jejaring sosial dari Papi dan temannya Mami!
Ilustrasi oleh Vellencia Chandra, Art Calls Indonesia | Copyright: Venllencia Chandra/Art Calls Indonesia
Oouh, Baby, Baby, it’s a wild world. Engga juga – kebetulan, it’s a nepotistic world. Parvenu, Protège, Patron – semua istilah itu mendeskripsikan suatu budaya tertentu, yakni kultur nepotisme; penyakit yang menghantam (secara patetis) kemakmuran di tanah air.
Orang Indonesia cenderung menggemari manusia-manusia berkelas dan sosok-sosok populer. Hanya saja, hal yang kita-kita, orang biasa, kerap lupakan: Banyak dari orang-orang lebih beruntung itu bisa berada di posisi tersebut berkat nepotisme. Baik di ranah politik, kewiraswastaan, maupun hiburan dan budaya – nepotisme adalah hal lumrah. Saatnya kita mempertanyakan: Gara-gara ulah siapa sih kita menanggap nepotisme sebagai hal normal? Selamat datang di rubrik: Oouh, Baby, Baby, It’s A Nepotistic World.
Kelahiran ‘Asli Medan North Sumatra West Side Indonesia’, ia memutuskan untuk merantau ke Jawa Barat – ‘di Bandung aku berjaya’. Selepas masa kuliah, ia pindah ke Jakarta – ‘di Selatan ku berkarya’. Sebagai perantau ia menafkahi diri sendiri, ‘keluar rumah modal do’a dari mama ayah’. ‘I ain’t born with silver spoon, while you were raised in gourmet’.
Basboi mengalamatkan kritik sosial yang ia balut dalam lagu ‘Make Me Proud’ pada anak-anak berada dan sirkel abang-abangan tajir, yang bebas untuk mengejar mimpi kerja di industri kreatif – tanpa harus ambil pusing. ‘Kamu yang paling gaul, yang paling punya akses. – Aku yang dari kampung yang pergi ke Los Angeles.’
Stanza-stanza pamungkas nepotisme itu oleh Basboi menamakan suatu pengalaman dikenal semua orang kreatif yang kurang ‘gaul’ dan tidak ‘punya akses’. Kedua atribut jitu itu tampaknya wajib untuk meroket sebagai orang kreatif di Indonesia.
Apakah hanya anak orang kaya mampu menjadi bos, tokoh publik, penggagas inovasi dan changemaker?
Mau kerja sekeras apapun, tetap pasrah tanpa koneksi
Periksa kembali apakah starter-kit mu sudah lengkap untuk menjadi orang yang bisa mempertahankan diri sendiri di skena insan kreatif. Belajarlah dari para pengisi daftar anak bangsa terbaik, yang kerap diagung-agungkan bak Nabi dan suka muncul di ragam versi ‘Talkshow’ atau diskusi panel. Disitulah mereka berbagi tips mantap bersama para pemirsa, agar semua bisa berkarier seperti mereka. Menurut anutan Maudy Ayunda misalkan, kamu mesti bangun jam lima pagi, karena inilah caranya yang menjamin kamu jadi sukses.
Aha, jadi itu ya kunci kesuksesan Maudy Ayunda?
Oalah, ternyata dia anak seorang pesohor. Orang tuanya juga ada di Wikipedia, lho.
Apakah modal tidur-jam-8-malam cukup untuk mewujudkan mimpi kariermu? Narasi ngablu itu sebenarnya gampang dipecah dengan satu pertanyaan knock-out, yang meluruskan fakta: Siapa daddy mu?
Masih dalam metafora diskusi panel, pertanyaan seputar latar belakang seseorang cukup memilah public image nya dari konteks kehidupan nyata dari orang tersebut. Saya sendiri pun sudah sering memergoki diri saya terlalu gampang terkesima dengan karya orang. Membuka Google, hasil pencarian nama seseorang langsung menganjurkan tambahan ‘anak siapa’. – Oalah, ternyata dia anak seorang pesohor. Orang tuanya juga ada di Wikipedia, lho.
Sebaliknya, saya agak was-was saat menyimak diskusi panel yang meliputi narasumber yang jelas tidak berbakat ‘menjual’ karyanya secara elegan dan berkarisma, dan tidak mahir bercakap cerdas. Ketika Vitamin N digabungkan dengan kekayaan finansial (warisan), terciptalah sebuah perpaduan unfair bagi semua peserta industri kreatif, yang tidak bisa beli obat vitamin, sebab tidak punya duit.
Kurang kenal
• Kenal si direktur festival seni itu? Jabatan dia diturunkan sama bapaknya sendiri yang dahulu kala mendirikan festivalnya.
• Kenal si jurnalis muda itu yang jadi reporter di media edgy itu dan kemarin mewawancara adiknya sendiri yang notabene kerja sebagai artis? Bapaknya mereka berpangkat wakil direktur utama di perusahaan media.
• Kenal si anggota komite kesenian itu? Om nya juga jaman dulu masuk komite itu.
• Kenal si kolektor seni itu yang punya galeri sendiri dan berhasil jual barang seni sampai ke Miami dan Hong Kong? Dia dimodalkan sama bapaknya sendiri.
• Kenal si pendiri yayasan anak muda itu yang bisa pakai artis-artis papan atas sebagai Brand Ambassador? Dia juga lahir dalam keluarga artis. Abang dia punya franchise coffee shop.
Carnival of haughty attitudes: Suasana di depan 'Zodiac Baresto', Jakarta Selatan, saat pembukaan pameran 'Everywhere I Go', Juni 2023 | Foto: Art Calls Indonesia
• Kenal si pendiri startup yang kemarin meraup investasi USD 15 juta pada kompetisi pertstartupan, padahal presentasi lisan dia sekualitas anak SMP?
• Kenal si perupa muda itu yang punya lukisan papan polos tanpa isi? Orangnya lagi ada pameran di Los Angeles.
• Kenal si aktivis muda itu yang suka membahas masalah iklim? Kemarin dia diundang berpidato di Dubai, dibayar sama syekh di sana.
Kapital sosial dan finansial
Nepotisme an sich sebenarnya tidak berkaitan secara langsung dengan posisi orang secara ekonomis. Harta sendiri belum menjadi jalan perintis – tapi pelancar. Nepotisme lebih merujuk pada kapital sosial yang dimiliki, atau dengan kata lain: Jejaring sosial dan kenalan yang kita punya.
Jadi, bisakah seorang aktivis, pekerja kreatif atau ‘penggagas perubahan’ yang tidak memiliki network sendiri, menjadi se-sukses orang-orang yang terbantu lingkungan kerabatnya?
Keresahan seorang aktivis atau pekerja kreatif perlu dikemas dalam bentuk ‘expert power’ dan 'referent power’, yaitu keahlian dalam suatu bidang tertentu, dan kepribadian yang berintegritas atau karismatik. Namun, mereka yang dimotori oleh ‘connection power’ akan selalu mengungguli kompetitor yang hanya memiliki ‘expert power’ dan ‘referent power’ saja.
Baca juga | Miskin akses dan kurang memeka kolaborasi: Catatan 'warga pinggiran' terpelajar
'Pesta Pinggiran' mengajak untuk melepaskan diri dari kokon keisolasian demi merajut sesama manusia alternatif
Miskin akses
Sebagai contoh, kami di ART CALLS INDONESIA cukup kaya dalam hal keahlian berbasis pengalaman, serta kaya karisma. Namun, kami sendiri super kere dalam hal koneksi. (Tanpa kesadaran kami akan hal itu, juga nggak akan ada tulisan seperti ini).
Sebagai bukti anekdotal, konten yang diterbitkan ACI dan pola pikir yang kami sebarluaskan, hanya bergema dalam lingkungan anak muda. Tim kami pun terdiri dari anak-anak muda saja yang miskin akses – alamak, media kami kurang diakui oleh orang-orang networker.
Ikhtiarmu bisa seteladen apapun, tanpa ‘connection power’ kamu akan senantiasa tertinggal sadrah.
Privilege Alert
Mempunyai talenta dan lantas keahlian dalam suatu bidang merupakan privilese juga. Namun, ketika privilese itu memotori perluasan pengetahuan bersama orang-orang yang berminat, privilese tersebut menjadi alat untuk menumbuhkan rasa keterikatan secara bersama pada suatu bidang. Apalagi pada skena seni: Kesenian sebenarnya hanya terbuat dari pengetahuan dan pengalaman saja, selebihnya hanya estetika. Tembok antara orang-orang dengan & tanpa ‘connection power’ rupanya cukup tebal, sehingga semuanya cenderung berujung pada ‘estetika’ saja, dan cerita-cerita ngablu (bangun jam lima pagi biar jadi orang sukses).
Setidaknya di Jakarta, semboyan ‘it doesn’t matter what you know, it only matters who you know’ berlaku
Apalagi dalam budaya Indonesia, di mana mantra ‘Fake it til’ you make it’ sudah di-manifestasi dan dianuti. Setidaknya di Jakarta, semboyan ‘it doesn’t matter what you know, it only matters who you know’ berlaku dalam akuisisi talenta. Berbeda dengan kancah orang kreatif di Bangkok, manusia skena di Jakarta cukup sering berlagak seperti anak SMA. ‘Some people never get beyond their stupid pride,’ kata Paris Hilton dalam lagu ‘Stars are blind’.
Baca juga: Pada pembukaan pameran seni rupa khusus mereka-mereka saja, mereka berterus terang bahwa kami bukan bagian dari mereka
Menyapa hanya yang kenal-kenal saja: Sikap paling nirfaedah dan nirguna dalam permainan kesenian. Habis dikacangin secara frontal selama hampir sejam, kami akhirnya cabut: Kritik seni dari pembukaan pameran seni rupa 'Everywhere I Go (Pit Stop)' di Zodiac Baresto
Dalam rubrik (Diagram) Lingkaran Julid kami mengajak untuk 'nge-julid' dalam sirkel nan non-jemawa, kami memakai bagan-bagan matematik untuk memvisualisasikan satu dan lain asumsi julid tentang dunia seni lokal
Shout-out kepada kalian semua yang tidak punya akses
ART CALLS INDONESIA ada di sini untuk membantu mendalangi ikhtiar-ikhtiar kalian. Kami adalah rumah buat ide-ide kalian yang kurang laku untuk dibahas di media lain. Kami tidak mementingkan dari mana asal kalian. Kami ingin mempermudah akses bagi kalian ke berbagai peluang seni. Walaupun kerjaan itu cukup sengsara bagi kami...
(1.12.2023, Marten Schmidt, Art Calls Indonesia)