Jakarta beranggota dalam forum internasional 'Kota Sastra Dunia', tapi toko buku di ibu kota makin sedikit
Toko buku besar makin sedikit di Jakarta, padahal Jakarta sudah masuk lingkaran sastra berprestasi
megapolitan.kompas.com
Hakikat sastra adalah proses diseminasi imajinatif dari buah pikiran seorang pengarang; diamalkan dalam kekhasan estetika tertentu. ‘Kekhasan’ sastra Indonesia sudah sempat mendunia tatkala Indonesia menjadi negara tamu dalam ajang sastra ‘Frankfurter Buchmesse’ di Frankfurt, Jerman pada tahun 2015.
Dibuka pada tahun 2017, Jakarta sudah menyambut pemburu buku sejati dengan gedung perpustakaan publik tertinggi di dunia. Dilengkapi dengan auditorium besar, rooftop yang memperoleh pandangan luas pada bangungan tetangga berseberangan (Monas) dan kawasan Menteng, perpus nasional baru tak kalah dengan bangunan fasilitas serupa di Singapura umpamanya.
Perpustakaan baru di Taman Ismail Marzuki yang dibuka pada 2022, menyediakan oase untuk nugas. – Tanpa harus memesan kopi demi bisa numpang wifi, seraya merenung ke luar jendela pada kompleks TIM. Berbagai festival sastra meramaikan jadwal perhelatan seni di ibukota secara bienial. Literature and Ideas Festival yang diselenggarakan Komunitas Salihara, dan juga Jakarta International Literature Festival menyahut animo para fans sastra di ibukota.
Baca juga: Studi: Konsumsi narkoba tidak ada pengaruh positif pada kreativitas
Begitu pun dengan Ubud Writers and Readers Festival, yang dengan ulet menyediakan ruang untuk mengekspresikan diri melalui prosa. Untuk menyambut edisi ke-20 pada bulan Oktober kelak, UWRF juga sempat meluaskan fokus mereka pada peminat di Jakarta. M Bloc, destinasi berkencan istimewa untuk seluruh pasangan muda dari Jabodetabek, telah menjadi venue untuk kehadirannya Jakarta Art Book Fair pada tahun lalu. Ajang buku tersebut meliputi ragam penggerak kreatif dari kancah independen.
Masih seputar skena independen, adanya gerai buku POST Bookshop berlokasi di Pasar Santa (Kebayoran Baru, Jakarta Selatan) yang bertahan dalam industri penjualan buku juga karena kerutinan membagikan cerita dan pesan hangat seputar life at a bookshop melalui media sosial. Namun, di sisi lain pegiat sastra di Jakarta sudah berpamit dengan toko buku independen, seperti Aksara di Kemang atau ‘Bengkel Buku Deklamasi’ sebagai place to go kala masih berlokasi di samping Graha Bhakti Budaya dan bioskop XXI dalam settingan Taman Ismail Marzuki yang lama.
Penjualan buku, apalagi buku sastra dan literatur yang bukan dari genre how-to-be-successful (seperti tajuk buku ‘The Subtle Art Of How To Give A Fuck’), memanglah bukan bisnis yang laku di Indonesia.
'Adult Coloring Books' dan buku pedoman 'how-to' tampaknya lebih laku daripada buka sastra
Toko buku besar makin sedikit di Jakarta, padahal Jakarta sudah masuk lingkaran sastra berprestasi
Pada tahun 2022 kemarin Jakarta dinobatkan oleh UNESCO sebagai ‘City of Literature’. Hadir dalam kelab berprestasi ini, yang meliputi 42 penjuru kota dari seluruh dunia, pemukim kreatif dari Jakarta sekarang dapat berpartisipasi dalam bermacam program Open Call dan Residency untuk memperkuat pertukaran budaya antara kota keanggotaan ‘UNESCO Cities of Literature’.
Bak buku sastra yang ditutur dengan lidah ironis, kota Jakarta bisa mempromosikan diri sebagai habitat untuk sastrawan, padahal toko buku yang tersisa di ibukota makin sedikit. Tidak hanya di ranah independen, begitu pun kian banyak toko buku komersial terpaksa berhenti beroperasi. Toko buku Gunung Agung, yang sekarang masih terwakili dengan hanya lima cabang saja, antara lain di mall Senayan City dan di Jalan Kwitang di Senen, akan tutup untuk selamanya pada akhir tahun 2023 ini.
Flagship store Kinokuniya, di Plaza Senayan (Jakarta Selatan) sudah tutup sejak 2021, sehingga toko penjualan buku dan pensil ini hanya tersisa dengan satu cabang kecil di mall Grand Indonesia.
Baca juga: Mmmh, Daddy: Tergirang-girang sama Abang Pedro Pascal
Entah tergerus zaman atau minat literasi (digital) belum berkembang secara signifikan di Indonesia, ketertarikan untuk membeli buku tampaknya tidak terlalu berjaya di Indonesia. Padahal secara angka, Indonesia adalah negara dengan perpustakaan terbanyak kedua di dunia. Namun, kualitas kurasi buku-buku yang disediakan dan terandal oleh pustakawan masih rendah; kerap meliputi benda-benda mati. Pada tahun 2016, Indonesia hanya mendapatkan peringkat ke-60 dari 61 dalam survei internasional yang menilai tingkat literasi dalam perbandingan dari 61 negara.