Pernahkah kamu merasa sebel selepas menonton sebuah acara seni?
Di balik popularitas karya seni 'nonsens': Apakah seni masih seru kalau bahan yang terhidang rupanya absurd saja?
Mengapa ketika orang biasa-biasa saja membuat karya nyeleneh maka karyanya dianggap sampah namun ketika seniman ternama keluar dengan karya aneh lantas karyanya masih dianggap sebagai karya seni?
(Opini) Beberapa waktu lalu saya pergi menonton sebuah pertunjukan teater di Jakarta. Pertunjukan tersebut diadakan dua kali, pada sore hari dan malam. Ketika saya tiba di TKP, rombongan pertunjukan pertama baru saja keluar dari teater. Ada beberapa teman saya di sana. Saat mereka keluar teater, mereka semua mengeluh.
“Aduh, dialog dan alur pertunjukannya lambat banget. Sudah begitu rupanya tidak ada aktor di atas panggung. Jadi hanya pemutaran video saja,” ujar temanku.
Lho, kok pertunjukan teater tapi tidak ada aktor di panggung? Barangkali ini pertunjukan konseptual pascamodernis yang ingin mendekonstruksi apa yang dianggap sebagai teater, pikirku sok tahu.
“Sudah begitu, mana semua kursi di teater diangkat lagi, jadi kami harus duduk tanpa sandaran di permukaan keras.” – Waduh, jangan-jangan itu juga bagian dari dekonstruksi yang hendak dilakukan kelompok seni ini atas apa yang kita anggap sebagai “seni teater”, pikirku lagi.
Seolah bisa membaca pikiranku, si temanku itu lantas bertanya: “kenapa sih ya, seni kontemporer itu harus menyiksa penonton?”
Saat jam 8 malam tiba, giliran saya-lah yang menonton pertunjukan tersebut. Sambil menahan bokong yang sakit karena duduk di permukaan keras dan punggung yang nyeri karena tak dapat bersandar ke belakang, saya menyaksikan dua aktor dari luar negeri ngobrol panjang lebar mengenai berbagai perabotan rumah mereka – dengan sebuah kursi di rumah menjadi “bintang utama” pertunjukan ini – dalam sebuah dialog yang sangat-sangat lambat.
Baca juga: Mahasiswa yang makan karya seni senilai nyaris 2 miliar rupiah buka suara
'Artist's Shit' atau 'Merda d’artiste' oleh seniman Italia Piero Manzoni yang menjual taik-nya sendiri
Di akhir pertunjukan, kedua tokoh kemudian membeku di layar. Mereka pun tidak muncul di teater. Yang muncul hanyalah sutradara dan produser pertunjukan. Maka itu, saat MC pertunjukan meminta kami bertepuk tangan untuk kedua aktor di layar. – Wah, pertunjukan ini sungguh-sungguh mendobrak batasan apa yang dianggap teater, apa yang dianggap film dan instalasi seni.
Apakah seni kontemporer harus menyiksa penonton?
Tapi tetap saja sih, saya merasa sebal, karena saya pulang tanpa merasa tergugah secara emosional atau intelektual sama sekali oleh apa yang baru saja saya tonton. Di saat bersamaan, pertanyaan teman saya “apakah seni kontemporer harus menyiksa penonton” itu masih melekat dalam benak saya.
“Jangan merasa diri kurang intelek kalau tidak bisa memahami karya-karya seperti itu. Kalau penonton tidak paham sebuah karya, itu selalu salah senimannya.”
Pernah juga, beberapa tahun yang lalu, saya meliput sebuah pertunjukan musik oleh kelompok bernama Speak Percussion dari Australia. Pertunjukan ini menyuguhkan musik (bebunyian?) atonal yang diproduksi oleh interaksi feedback antara mikrofon dan loudspeaker.
Kalau penonton tidak paham sebuah karya, itu selalu salah senimannya
Lagi-lagi, saya kecewa karena sama sekali tidak merasa menikmati pertunjukan itu. Lalu saya mengirimkan sebuah email kepada komposer dan musisi Indonesia senior Ananda Sukarlan. Saya berkata padanya: “barangkali aku nggak suka pertunjukan ini karena otakku enggak nyampe ya.”
Dalam email balasannya, ia lalu berkata: “jangan merasa diri kurang intelek kalau tidak bisa memahami karya-karya seperti itu. Kalau penonton tidak paham sebuah karya, itu selalu salah senimannya.”
Tapi, ia merambat ke masalah lain: “sayangnya, sekarang badan-badan yang mendanai proyek karya seni itu terlalu fokus pada karya-karya ‘eksperimental’ dan ‘konseptual’ semacam ini.”
Namun tentu saja, dua pertunjukan yang saya sebut di atas itu hanyalah pucuk gunung es, yang menggambarkan sebuah tren global lebih besar: dalam dunia seni dan sastra belakangan, semua seniman atau sastrawan tampaknya begitu terobsesi ingin terus-terusan mendobrak batasan, bereksperimen dan mendekonstruksi pakem-pakem estetik yang telah mapan.
Baca juga: Perupa yang makan gaji Rp 1,1 miliar untuk bikin karya malah serahkan kanvas kosong pada museum
Take the Money and Run oleh perupa Jens Haaning dari Denmark, berupa kanvas kosong yang ia serahkan setelah mendapatkan hibah senilai 500,000 kroner (Rp 1.1 miliar).
Tentu saja, tidak semua upaya eksperimentasi atau dekonstruksi ini buruk. Ada beberapa karya di tahun 2023 yang dengan sukses melebur anasir perkembangan teknologi mutakhir dengan bentuk seni pertunjukan, misalnya Waktu Batu: Rumah Yang Terbakar karya Teater Garasi.
Setidaknya tolok ukur “kesuksesan” yang saya pakai adalah: saya merasa tergugah. – Sangat subjektif memang. Oleh karena itu, yang bikin saya garuk-garuk kepala adalah karya-karya seni yang atas nama mendobrak konsep atau melanggar batasan, justru tidak lagi menemukan pantulan di benak publik yang mengkonsumsinya. Ironisnya, karya-karya seni yang berat muatan konseptualnya ini justru malah menjadi suatu hal yang nonsens atau absurd di mata banyak orang.
Baca juga: Lukisan hilang karya Van Gogh ditemukan terbungkus dalam kantong plastik Ikea
Tidak menuntut keterampilan seni yang tinggi
Misalnya, beberapa contoh yang sudah pernah diangkat oleh ACI, yaitu karya Take the Money and Run oleh perupa Jens Haaning dari Denmark, berupa kanvas kosong yang ia serahkan setelah mendapatkan hibah senilai 500,000 kroner (Rp 1.1 miliar). Ada pula seniman Roman Signer yang membuat karya Sand Column, berupa beberapa ember merah berisi pasir yang ditumpuk untuk lantas ditumbangkan.
Berbicara mengenai karya yang dapat menggugah publik, banyak dari karya konseptual ini juga secara argumentatif bisa dikatakan tidak memiliki nilai estetika sama sekali dan tidak menuntut keterampilan seni yang tinggi.
Orang bisa saja menertawakan selera humor cerdik Hanning yang berhasil membuat pemberi hibah gondok karena uang dalam jumlah besar yang diberikan kepadanya digunakan untuk menghasilkan serangkaian kanvas kosong, namun apakah menciptakan karya-karya konseptual seperti itu membutuhkan keterampilan seni khusus?
Mengapa ketika orang biasa-biasa saja membuat karya nyeleneh maka karyanya dianggap sampah namun ketika seniman ternama keluar dengan karya aneh lantas karyanya masih dianggap sebagai karya seni? Apakah atas nama mendobrak batasan-batasan, lantas anything goes, karya apapun itu, meskipun tidak memiliki nilai estetika, tetap bisa dianggap karya seni?
Baca juga: Interview dengan seniman dari Bandung (?) yang merahasiakan identitasnya dengan ketat
Karya Sand Column oleh Roman Signer berupa beberapa ember merah berisi pasir yang ditumpuk untuk lantas ditumbangkan.
Tapi… apakah karya seni itu perlu dipahami?
Perdebatan soal karya seni nonsens itu bukan hal baru, tentu saja. Masih ingat Marcel Duchamp yang memamerkan urinoir sebagai sebuah “instalasi seni” (Fountain, 1917)? Atau seniman Italia Piero Manzoni yang menjual taik-nya sendiri (dalam sebuah karya berjudul Merda d’artiste atau Tahi Seorang Seniman)?
Para artis (baca: seniman) memang hidup dalam pikiran mereka sendiri. Banyak yang ketika ditanya apa tujuannya berkarya atau sumber inspirasinya dari mana gagap menjawab. Jadi, barangkali, seni itu memang bukan untuk dipahami atau dirasakan, apalagi untuk menghibur penonton, karena memang akan selalu berada di luar jangkauan nalar kaum non-seniman.
Lagipula, barangkali karya-karya seni konseptual yang mendobrak pakem-pakem ini barangkali bisa juga menjadi sebuah sarana yang baik untuk melatih publik agar tetap mempertahankan keterbukaan dan keluwesan berpikir di tengah situasi masyarakat dunia kita yang semakin kaku dengan berbagai dogma-dogma dan pengkotak-kotakan. Apa pendapatmu?
(Sebastian Partogi, Art Calls Indonesia, 8.12.2023)