'Kami adalah ruang di mana khalayaknya merasa nyaman untuk berbagi gagasan-gagasan mereka'
ACI ngobrol bareng Aaron Seeto, direktur Museum Macan (Jakarta)
Aaron Seeto, direktur Museum Macan, mengalihkan fokus artistik dari karya-karya seni belaka kepada audiens muda | Foto: Muhammad Fadli
ACI ngobrol bareng Aaron Seeto, direktur Museum Macan (Jakarta), yang mengalihkan fokus artistik dari karya-karya seni belaka kepada audiens muda, termasuk generasi Alpha (penyusul Gen-Z). Menurut mantan kurator dari berbagai galeri seni di Australia ini, komunikasi ‘satu arah’ yang konon bisa ditemukan di banyak wadah seni tampaknya anakronistis. Sebagai titik temu bagi penggemar seni, institusi-institusi kultural semestinya tidak menentukan bagaimana kita diharap berperilaku di depan sebuah karya seni.
ACI: Kegiatan apa saja sih yang Aaron merekayasa di Museum Macan?
Aaron Seeto: Kami cukup menekankan aspek edukasi di Museum Macan. Cara kami membuat program-program publik di Macan merespon pada konteks lokal di Indonesia dan kebutuhan audiens setempat. Kami tidak hanya ingin memberdayakan kesenian, namun juga membangkitkan cara kita bisa berpikir kritis melalui kesenian. Selain itu, program-program edukatif kami juga merefleksi pada demografi di Indonesia. Golongan anak Gen Z sudah merupakan bagian besar dari pengunjung museum kami. Dan kami sudah mulai merancang pendekatan kepada generasi berikutnya, yakni Alpha.
'Kami sebagai museum tidak perlu menjadi aktivis'
Sesi mendongeng bersama Chiharu Shiota (Jepang) di Museum Macan di Jakarta Barat | Foto: Museum Macan
ACI: Menurut Aaron, museum seni itu punya peran seperti apa?
Aaron Seeto: Perannya museum tidak lagi hanya meliputi preservasi dan peragaan kesenian saja. Idealnya, museum itu menyediakan sarana untuk pertemuan antar-penggemar seni dan beragam peserta kelompok masyarakat. Kubu-kubu seni seperti Museum Macan hadir guna mendorong interaksi kreatif dalam berbagai diskusi penting, dari politik hingga ekonomi. Idealnya, museum sebagai tempat publik di masa kini bisa menyinggung unsur-unsur aktivisme dalam komunitas. Namun, kami sendiri sebagai museum tidak perlu menjadi aktivis. Kami menyediakan tempat nyaman, di mana kalian boleh berpendapat secara bebas.
'Saya pernah mengunjungi beberapa museum yang rada kolot dan membosankan, di mana karya-karya seni dipasang dengan pola yang hanya memperbolehkan komunikasi lewat satu arah.'
Suasana di pameran 'Agus Suwage: The Theatre of Me' di Museum Macan. Agus Suwage menyambut pengunjung museum secara musikal | Foto: Museum Macan
ACI: Apa yang membuat sebuah museum menjadi spesial? Seninya? Ataukah tempatnya sendiri?
Aaron Seeto: Tentu saja orang-orangnya. Kalian! Namanya juga museum, ya salah satu fungsi museum adalah memamerkan seni. Tapi, kami ingin menyalakan rasa penasaran dalam audiens. Itu sih yang membuat sebuah museum menjadi menarik – ketika kita bisa berada di tengah-tengah manusia yang sama-sama terbuka dan penasaran. Saya pernah mengunjungi beberapa museum yang rada kolot dan membosankan, di mana karya-karya seni dipasang dengan pola yang hanya memperbolehkan komunikasi lewat ‘satu arah’. Kesannya, si museumnya lah yang menentukan bagaimana kita mesti berperilaku ketika menyaksikan kesenian. Dalam museum masa kini, kita semestinya tidak hanya mementingkan seninya saja, namun juga para penggemar seni dan pendukung kita!
Baca juga | Petaka di Museum Nasional:
Wawancara ini dilaksanakan dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Baca versi orisinal di sini.
Kerabat Kerja
Wawancara: Sebastian Partogi
Penerjemahan: Art Calls Indonesia
ACI unbubbled
As ART CALLS Indonesia and ART CALLS Southeast Asia, we are intensifying our efforts to connect the Indonesian and Southeast Asian art ecosystem beyond bubbles. If you are interested to support us in any way suitable for you, don't hesitate to get in touch with us.