<p><span style="font-weight: 400;">Oslo, Norwegia &ndash; Lubna Jaffery berjabat sebagai Menteri Kebudayaan dan Kesetaraan Norwegia. Dilantik pada tahun lalu, wanita keturunan Pakistan ini kini menjadi politikus tergokil dan terhumoris di seluruh dunia: Ia memamerkan payudaranya di sebuah acara publik, sebagai aksi kecil untuk mendorong kebebasan gender di Norwegia.&nbsp;</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Dalam sebuah gelar wicara publik di Oslo tentang kesetaraan, Jaffrey bertelanjang sembari menyatakan: "Sebagai Menteri Kebudayaan dan Kesetaraan (...), penting bagi saya untuk membuat orang-orang merasa aman dan bebas, dan ini adalah kontribusi kecil!"</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Diiringi sorak-sorai audiens, anggota Partai Buruh Demokrat Sosial Norwegia itu berputar di atas panggung sambil mengekspos payudaranya.&nbsp;</span></p>
<h3><strong>Pujian dari atasan untuk aksi 'tanpa atasan'</strong></h3>
<p><span style="font-weight: 400;">Perdana Menteri Jonas Gahr St&oslash;re mendukung aksi telanjang koleganya: "Lubna Jaffery adalah orang yang percaya diri, bebas dan menyenangkan, yang disambut baik di berbagai acara budaya di seluruh negeri."</span></p>
<h3><a href="https://www.instagram.com/reel/C84Wz2US-oC/?igsh=aDF1bm1nenZnZzBt" target="_blank" rel="noopener"><span style="font-weight: 400;">[Cek video di sini]</span></a></h3>
<hr />
<h6><span style="font-weight: 400;"><strong>Baca juga:</strong>&nbsp;</span><a href="https://artcallsindonesia.com/read/menolak-menikmati-warisan-berlimpah-perempuan-ini-kembalikan-rp-425-miliar-demi-pemajuan-demokrasi" target="_blank" rel="noopener">Menolak menikmati warisan berlimpah, perempuan ini 'kembalikan' Rp 425 miliar demi pemajuan demokrasi</a></h6>
<p>Apakah anak orang kaya berhak menjadi pewaris hartanya orang tua? Menurut seorang tajir asal Austria, rakyatlah yang layak menjadi pewaris.</p>
<hr />
<h6><strong>Baca juga:</strong>&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/kera-lebih-cepat-mudeng-berperilaku-toleran-ketimbang-manusia" target="_blank" rel="noopener">Kera lebih cepat mudeng berperilaku toleran ketimbang manusia</a></h6>
<p>Di sebuah pulau di Karibia para penduduk berekor panjang terpaksa bersikap lebih ramah dan toleran imbas bencana alam.</p>
<hr />
<h6><strong>Baca juga:</strong>&nbsp;<a href="https://artcallsindonesia.com/read/mengapa-thailand-getol-mendukung-lgbt-dan-ganja" target="_blank" rel="noopener">Mengapa Thailand Getol Mendukung LGBT dan Ganja?</a></h6>
<p>Setelah mengonsumsi ganja diperbolehkan, Thailand juga akan melegalkan pernikahan sesama jenis.</p>
<p>&nbsp;</p>

Menteri Budaya dan Kesetaraan Pamer Payudara

<p><span style="font-weight: 400;">Judul album anyar milik Taylor Swift 'The Tortured Poets Department' cocok untuk menghiasi keberadaan sastra di Jakarta. Pegiat sastra di ibu kota tentu bukan di-'torture' (Pram atau Wiji Thukul), tapi masih terbatas dalam kans untuk membangkitkan nama sastra Indonesia. Kendati fasilitas sebenarnya sudah tersedia, institusi-institusi yang berperan sebagai agen sastra sudah terbentuk, dan Jakarta sudah resmi menjadi 'kota sastra', Jakarta tampaknya belum memiliki ekosistem sastra yang kohesif.&nbsp;</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Perkara itu telah menjadi bahan diskusi dalam forum sawala 'Jakarta City of Literature: Sekadar Status atau Serius Dihidupi'? Diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta Komite Sastra, Laura Prinsloo Bangun ('Focal Point' Jakarta City of Literature) dan Alex Sihar (Staf Khusus Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek RI) menghadapi pertanyaan dan keluhan peserta audiens. Catatan absen: Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Jakarta Andhika Permata, meski diundang sebagai panelis, tidak hadir. Laura Prinsloo Bangun selaku perwakilan 'Jakarta City of Literature' dituai kritik pedas oleh audiens.&nbsp;</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Satu-satunya kota di Asia Tenggara yang dianugerahi status <a href="https://www.citiesoflit.com/jakarta" target="_blank" rel="noopener">'UNESCO City of Literature'</a> (COL), Jakarta telah bergabung dalam jaringan berprestasi ini sejak tahun 2021. Daftar COL meliputi 53 kota di seluruh dunia. Ungkapan paling pertama oleh Laura Prinsloo saat membuka pidatonya akan menjadi nukilan paling mengesankan sepanjang malam ini: "Sebenarnya saya diundang bingung juga". Mantan ketua Komite Buku Nasional (Kemdikbud) itu kemudian mengemaskan keberadaan skena sastra Jakarta dalam beberapa bagan, seperti pada salindia (slide) di bawah ini:&nbsp;</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;"><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/e8afa57f-9cb2-439c-9a8b-49f233841a69?width=1080&amp;height=1080" alt="4" /></span></p>
<h6><span style="font-weight: 400;">Presentasi oleh Laura Prinsloo pada diskusi &lsquo;Jakarta City of Literature: Sekadar Status atau Serius Dihidupi&rsquo;, 23 Mei 2024, di Taman Ismail Marzuki. | Foto: ACI</span></h6>
<p><span style="font-weight: 400;">Merangkul perjalanan nominasi Jakarta dalam jaringan COL, Laura Prinsloo merujuk pada serangkaian kegiatan sastra yang sudah pernah dihelat di ibu kota: <strong>"Di Jakarta sudah banyak yang bisa kita ajukan sebagai program kerja sama [dengan jaringan COL], contohnya ada beberapa event yang kita masukkan program, dan di dalam dosir ini, salah satunya adalah Jakarta International Literary Festival yang dimiliki oleh Dewan Kesenian Jakarta."</strong></span></p>
<p><span style="font-weight: 400;"><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/46679ef9-8215-4c7a-8979-99d5d2d8440c?width=2000&amp;height=1414" alt="Visual Lini Masa Sastra Jakarta Aci" /></span></p>
<h6><strong>Acara sastra di Jakarta</strong></h6>
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1"><span style="font-weight: 400;"><strong>'Jakarta International Literary Festival'</strong> terakhir kali diadakan pada tahun <strong>2022</strong>, sebelumnya pada <strong>2019</strong></span></li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1"><span style="font-weight: 400;"><strong>'ASEAN Literary Festival'</strong> terakhir kalinya diadakan pada <strong>2017</strong></span></li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1"><span style="font-weight: 400;">Komunitas Salihara telah mengadakan festival sastra <strong>'Literature &amp; Ideas Festival'&nbsp;</strong><strong>sejak 2001</strong></span></li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1"><span style="font-weight: 400;">Adapun beberapa acara lepas, seperti '<strong>Jakarta Art Book Fair'</strong> atau kegiatan lainnya oleh penerbit-penerbit independen seperti <strong>'Patjar Merah'</strong>. Acara-acara kecil-kecilan itu umumnya tidak beresonansi luas di luar sirkel aktor-aktor yang terlibat&nbsp;</span></li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1"><span style="font-weight: 400;"><strong>'Jakarta Content Week'</strong>, yang bekerjasama dengan <strong>'Frankfurt Book Fair',</strong> digelar secara tahunan. Acara ini tidak berfokus pada sastra, namun pada konsep gelar wicara seputar tema-tema lebih umum&nbsp;</span></li>
</ul>
<hr />
<h3><strong>Tersengat</strong></h3>
<p><span style="font-weight: 400;">Gothenburg (Swedia) telah bergabung dalam daftar COL pada tahun yang sama dengan Jakarta. Namun, berbeda dengan ibu kota Indonesia, perkembangan skena sastra di Gothenburg rupanya terlaksana dengan jauh lebih pesat, sehingga para penanggung jawab di sana sudah bisa menyediakan program residensi bagi sastrawan dari seluruh kota jaringan COL. Sementara, Jakarta belum pernah membuka ranah sastra lokal guna perbauran dengan sastrawan mancanegara melalui program residensi. Adapun beberapa pengarang asal Indonesia yang pernah mendapatkan keuntungan berkat keanggotan Jakarta dalam jaringan COL. Salah satunya, <a href="https://idwriters.com/writers/awi-chin/" target="_blank" rel="noopener">Awi Chin</a> yang diberangkatkan untuk ber-resideni di Gothenburg.&nbsp;</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Dengan akuan UNESCO dalam jaringan tersebut, Jakarta sebenarnya berada di depan pintu yang terbuka lebar. Bagaimanapun, implementasi tepat sasaran rupanya masih macet. Dengan cukup kritis terhadap pencapaiannya di Jakarta City of Literature, Laura Prinsloo menggambarkan pelbagai tantangan yang menghambatkan perluasan program 'Jakarta COL'. Selain tiadanya 'pressure group' yang mengamplifikasi kepentingan para 'knowledge-workers' di ranah seni, proyek kreatif apapun juga akan terdampak oleh kebergantungan pada pihak politik yang lazim menjalankan agenda berlawanan dengan agenda para aktor dari industri kreatif.</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;"><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/553044ab-5518-49f6-91c1-1f8d4fc59792?width=1080&amp;height=1080" alt="3" /></span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Laura Prinsloo merujuk pada Taman Literasi Martha Christina Tiahahu, yang pada mulanya dirancang sebagai benteng bagi kutu buku di tengah segitiga Blok M, 'M Bloc' dan 'Blok M Plaza Mall'. Setelah pembangunan taman itu sudah terealisasi, nyatanya sarana yang sebelumnya didedikasi pada literatur, kini dipakai untuk konser musik pop dan kepentingan komersial. Selain satu lemari buku oleh 'BookHive', hanya terdapat satu ruangan di area Taman Martha C. Tiahahu yang digunakan sebagai perpustakaan mini.&nbsp;</span></p>
<h3><strong>Melibatkan warga Jakarta sebagai stakeholders</strong></h3>
<p><span style="font-weight: 400;">Alex Sihar menambahkan perspektifnya sebagai Staf Khusus Direktorat Jenderal Kebudayaan, dan menuntut proyek 'Jakarta City of Literature' perlu dievaluasi terlebih dahulu. Akurasi dan akuntabilitas menjadi prasyarat untuk mensukseskan sebuah proyek budaya, baik dalam penerimaan oleh masyarakat, keberlanjutan melalui hibah dan pengakuan pada taraf internasional.&nbsp;</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;"><strong>"Kalau kita mau serius menetapkan Jakarta sebagai kota kreatif dan City of Literature, maka apa capaiannya dalam satuan waktu tertentu? &ndash; Untuk stakeholders-nya, baik untuk yang industrial, untuk kesenian maupun untuk publik. Pencapaiannya [dari Jakarta City of Literature] apa? Datanya kayak apa?,"</strong> menegaskan Alex Sihar. Menurutnya, KPI ataupun rencana kegiatan tahunan 'Jakarta COL' masih harus dimatangkan. Ia juga menekankan pentingnya pemakaian bahasa yang sahih dan persis: <strong>"</strong></span><strong><em>Untuk mengembangkan kota sastra &ndash; bla bla</em> &ndash; apa yang mau dicapai dalam jangka waktu lima tahun ke depan? Projection-nya harus jelas!"</strong></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Selarasnya, awal mula dari sebuah proyek berakar pada pengumpulan data: <strong>"Yuk kita bikin ekosistem mulai dari data dulu!"</strong></span></p>
<h3><strong>Ekosistem&nbsp;</strong></h3>
<p><span style="font-weight: 400;">Masih merangkul tanggapan Alex Sihar, ia juga membagi pengalamannya memantau proses kota Ambon dalam penetapan sebagai 'UNESCO City of Music'. Meski identitas Ambon lekat erat dengan musik bambu, data terhadap ekosistem musik lokal belum terkumpul, infrastruktur pun belum tersedia. Sumber daya alat musik, alias bambu, kala itu sudah tandus di seluruh pulau Ambon, sehingga diambil dari pulau lain. Dengan penetapan sebagai 'City of Music', Ambon walhasil menyiapkan kembali pembangunan plantase bambu. <strong>"Ketika kita ngomong tentang ekosistem, ekosistem yang harus dipikirkan,"</strong> pungkas Alex Sihar.</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;"><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/5aef2f2a-faf5-4a19-a2c5-ebc807269949?width=1080&amp;height=1080" alt="2" /></span></p>
<h6><span style="font-weight: 400;">Audiens (dan chunky cats) dipersilakan untuk mengutarakan pendapat | Foto: ACI</span></h6>
<h3><strong>Papua, Ubud dan Cikini&nbsp;</strong></h3>
<p><span style="font-weight: 400;">Diskusinya berlanjut panas dengan masukan dari beberapa peserta audiens yang cenderung kurang puas menyimak cerita Laura Prinsloo dan pencapaian oleh gerakan seperti Jakarta City of Literature dalam pemajuan sektor seni dan budaya. Masalah kealpaan dalam kolaborasi dan eksekusi tampaknya bukan hanya terbatas pada Jakarta saja. Begitu seorang dosen ilmu matematika dari Universitas Indonesia maju ke atas panggung, dan membagikan lika-likunya dalam penginisiasiaan wadah 'Papua Youth Creative Hub' di Jayapura. Setelah diresmikan oleh presiden Joko Widodo (<a href="https://artcallsindonesia.com/read/di-jayapura-sekarang-ada-creative-hub-buat-orang-muda-lebih-dari-gelanggang-remaja" target="_blank" rel="noopener">ACI telah meliputinya di sini</a>), gelanggang khusus anak-anak kreatif Jayapura itu sempat menghadapi situasi selaras &ndash; "What&rsquo;s next?". Dengan jernih, dan sejatinya dengan gaya dosen, beliau juga merujuk pada ekosistem kesenian dan wisata di Bali, khususnya di Ubud. Menurutnya, ekosistem setempat berputar dengan baik berkat kolaborasi nan kohesif antara akademisi, praktisi seni, pelaku industri pariwisata dan pihak-pihak lain.&nbsp;</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Ketidakterlibatan pelaku-pelaku seni dalam kehidupan kesenian juga dikritik oleh penonton lain. Taman Ismail Marzuki, tempat seni terbesar di Jakarta, rupanya belum memfasilitasi tempat pertukaran pengetahuan bagi pegiat seni di ibu kota: <strong>"Kami menghitung ada sekitar 30-an sampai 40-an kelompok sastra di Jakarta. Bisa gak, Graha Bhakti Budaya dipakai oleh komunitas-komunitas sastra untuk setiap bulan bikin acara, tanpa dipungut Rp 150 juta per malam sewanya. Di belakang itu ada teater arena pula [teater terbuka]. Gak pernah dipakai, di sebelah jajaran WC-WC. Sewanya Rp 14 juta satu hari,"</strong> tutur seorang peserta audiens dengan cukup terhasut.&nbsp;</span></p>
<p><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/fc3c8fa0-e0af-477d-9e88-13bcfe24ebc5?width=1080&amp;height=1080" alt="Aci Standard Open Calls 1080 17" /></p>
<h3><strong>Amanah sastra</strong></h3>
<p><span style="font-weight: 400;">Sastra dan aktor-aktor yang membangkitkan pertukaran pengetahuan melalui sastra sebenarnya patut menjadi aset strategis dalam penciptaan rasa identitas anak bangsa. Kuncinya adalah kolaborasi &ndash; sesama pelaku-pelaku industri kreatif! Bagaimana sektor ini bisa diperkuat jika masih terpecah... ? Festival-festival kecil atau di daerah hanya eksis dalam sirkel sendiri-sendiri. Pengakuan dan dukungan lintas-pulau, lintas-genre, lintas-sirkel tak dicari, tak diperoleh. (Marten S, Art Calls Indonesia, 28.06.2024)</span></p>
<p>&nbsp;</p>

Jakarta diakui sebagai 'kota sastra' oleh UNESCO, tapi pencapaiannya masih minim

<p><span style="font-weight: 400;">Seni itu aktivisme atau latihan berestetika? Ketika kita menganggap bahwa kesenian sebatas suatu latihan kepekaan terhadap estetika saja, maka teks ini sudah berakhir di paragraf pertama ini. Tak ada salahnya berfilsafat tentang maknanya warna kuning, dan artinya di balik kubus-kubus geometris terpapar pada kanvas bertumpahan &lsquo;drip painting&rsquo;. &ndash; Setidaknya bagi kami, kesenian sarat potensi untuk menjadi lebih dari suatu ruang untuk bertukaran apresiasi saja.&nbsp;</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">'Mahkamah Rakyat Luar Biasa' misalnya, sebuah aksi sipil yang dibalut dalam settingan layaknya pengadilan, telah mempersidangkan presiden Joko Widodo yang didakwa menitikberatkan agenda politik dia pada kepentingan diri sendiri saja. Meski forum 'MK Rakyat Luar Biasa' tak punya legitimasi apa-apa secara hukum, aksi itu menunjukkan kreativitas para ilmuwan, akademisi, pakar tata negara, ahli hukum dan pejuang keadilan sosial.&nbsp;</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;"><a href="https://www.festwochen.at/en/wiener-erklaerung" target="_blank" rel="noopener">Forum serupa juga diadakan dalam rangka festival seni 'Pekan Raya Wina'</a> (Wiener Festwochen) di Austria, di mana aktor-aktor politik setempat juga dipanggil untuk hadir dalam acara seni berkedok persidangan. Bedanya: Di sana konsep yang sama diwujudkan oleh pelaku-pelaku seni.</span></p>
<p><strong>Tanpa menghasut siapa-siapa: Apakah para pejuang keadilan sosial di Indonesia lebih kreatif daripada orang-orang seni?&nbsp;</strong></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Yang jelas: Potensi kancah kreatif di Indonesia masih jauh dari maksimal. Sebagai negara adidaya dalam seni dan budaya, yang punya begitu banyak warisan tak-benda, industri kreatif lokal belum menjadi kekuatan lunak (untuk memperkuat 'jenama' Indonesia sebagai pelabuhan industri kreatif, dan destinasi pariwisata).</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;"><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/20487c89-97af-41ab-9b62-d71822687fbd?width=1920&amp;height=1080" alt="Pyc H2" /></span></p>
<h6>Didampingi delegasi 'top-tier' Presiden Joko Widodo meresmikan gedung Papua Youth Creative Hub di Jayapura pada Maret 2023 | Foto: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif</h6>
<p><span style="font-weight: 400;"><strong>&lsquo;Kita ini seperti raksasa tertidur. [Kita] harus melibatkan banyak kalangan yang selama ini belum tersentuh oleh gerak kebudayaan,&rsquo;</strong> </span><a href="https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/06/21/pemajuan-kebudayaan-bekal-menjawab-tantangan-masa-depan?open_from=Humaniora_Page"><span style="font-weight: 400;">menyimpulkan Hilmar Farid</span></a><span style="font-weight: 400;">, Direktur Jenderal Kebudayaan pada konferensi pers 'Jalan Kebudayaan: 7 Tahun UU Pemajuan Kebudayaan' di Jakarta (21/06).</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Tentu saja praktisi seni di Tanah Air bukan miskin daya khayal, mereka bukan kalah dengan seniman mancanegara, dan Indonesia bukan titik buta pada peta seni dunia. Disebut secara acak dan tanpa urutan, Tita Salina misalnya dengan karya bertema pelestarian ekologi pernah disoroti Galeri Nasional Australia. Mella Jaasma (misalnya dengan aransemen performatif bertema kolonialisme) atau Entang Wiharso (karya-karya buatan logam yang dipotong) sudah dikenal lama di luar Indonesia sebagai seniman lintas-disiplin. Begitu pun perupa Eko Nugroho (&lsquo;Carnival Trap&rsquo;) dan Zico Albaiquni (&lsquo;For Evidently&rsquo;). Adapun banyak karya lokal terhimpun di luar negeri, misal oleh alm. Semsar Siahaan (&lsquo;Olympia&rsquo;). </span><a href="https://www.alisoncarroll.net/wp-content/uploads/2018/10/89-Between-Worlds-Raden-Saleh-and-Juan-Luna.pdf"><span style="font-weight: 400;">Raden Saleh</span></a><span style="font-weight: 400;"> pun sudah menjadi semacam tamu tetap di Galeri Nasional Singapura.</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Semua karya tersebut pernah dipamerkan dan di-kontekstualisasi di luar negeri. Kesenian khas Indonesia sudah dikenal speknya: Segar, energik, lucu, ambigu, kadang politis dan kadangkala juga apolitis.&nbsp;</span></p>
<h6><a href="https://artcallsindonesia.com/read/menolak-menikmati-warisan-berlimpah-perempuan-ini-kembalikan-rp-425-miliar-demi-pemajuan-demokrasi" target="_blank" rel="noopener"><strong>Baca juga:&nbsp;</strong>Menolak menikmati warisan berlimpah, perempuan ini 'kembalikan' Rp 425 miliar demi pemajuan demokrasi</a></h6>
<h3><strong>Transformers&nbsp;</strong></h3>
<p><span style="font-weight: 400;">Kalau kesenian dan pelaku seni asal Nusantara bisa begitu diapresiasi di luar negeri (<a href="https://artcallsindonesia.com/search?q=documenta%20fifteen" target="_blank" rel="noopener">&lsquo;documenta fifteen</a>&rsquo;), mengapa banyak acara seni di dalam negeri terasa rada hambar, gitu-gitu saja, tanpa nilai tambahan bagi audiens (<a href="https://artcallsindonesia.com/read/apa-sih-gunanya-bikin-pameran-seni-rupa-tanpa-mengedukasi-pengunjungnya" target="_blank" rel="noopener">habis foto-foto, monggo pulang</a>)? - Singkatnya, kurang kreatif.</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Mengukur daya kreatif siswa Indonesia, hasil studi PISA 'Creative Thinking' menunjukkan bahwa siswa di Indonesia minim kreativitas (<strong>hanya lima persen siswa Indonesia dinilai mampu berpikir secara kreatif</strong> <a href="https://artcallsindonesia.com/read/siswa-di-indonesia-tak-mampu-berpikir-kreatif-0-mahir-membaca-hingga-paham-konteks-hanya-5-yang-berpikir-outside-the-box" target="_blank" rel="noopener">menurut studi PISA</a>). &ndash; Dalam peliputan terkait tema tersebut, ACI telah <a href="https://artcallsindonesia.com/read/mending-bodoh-ramai-ramai-daripada-cerdas-sendirian" target="_blank" rel="noopener">merangkul tanggapan pembaca ACI</a> yang rata-rata tak kaget dengan penemuan yang dilontarkan PISA.&nbsp;</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">&lsquo;Saya pernah mengajar di suatu SD, dan pernah disuruh menilai ujian seni. Tugasnya, siswa disuruh menggambar bebas. <strong>Satu kelas gambarnya sama plek-ketiplek. Artinya, yang punya ide satu, yang lain nyontek semua,&rsquo;</strong> ujar seorang pembaca ACI.&nbsp;</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;"><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/8da724fd-1a83-402c-9e99-dd50e6d1fac7?width=2000&amp;height=1414" alt="Skl1" /></span></p>
<h3><strong>Menerawang</strong></h3>
<p><span style="font-weight: 400;">Ketika daya imajinasi tidak distimulasi dalam benak para siswa, mereka akan kesulitan berpikir secara kohesif ketika beranjak dewasa. Apapun yang bersifat tak-benda tampaknya cukup susah untuk ditaksir. Banyak hal dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya hanya bisa dipahami jika kita mampu berpikir abstrak: Misal, <a href="https://www.instagram.com/p/C8bcB1fSIhD/?igsh=dHM4MWtraXdzNmV6" target="_blank" rel="noopener">soal polusi udara</a>. &lsquo;Ya mau bagaimana lagi, <strong>memahami majas metafora seperti &lsquo;Angin tak punya KTP&rsquo; saja mereka tak mampu,</strong>&rsquo; kata salah satu pembaca ACI.</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Saya sendiri pun, saat masih bekerja sebagai guru Bahasa Inggris di Jakarta beberapa tahun yang lalu, pernah melontarkan pertanyaan sederhana kepada murid-murid (rata-rata usia 16 hingga 22 tahun) saya: &lsquo;Jakarta punya berapa banyak penduduk?&rsquo; &ndash; Sedikit syok, tak ada satu pun siswa yang menjawab pertanyaan saya dengan benar. &lsquo;Seribu?&rsquo; &ndash; &lsquo;Sejuta?&rsquo; &ndash; Memperkirakan jumlah penduduk di sebuah kota memanglah memerlukan kemampuan berpikir abstrak. Jadi, ini sebenarnya masalah minim pengetahuan umum, atau kebutaan akan keadaan abstrak?</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Tersosialisasi dalam lingkup pendidikan di mana pelafalan materi lebih dihargai daripada pemikiran mandiri, kita memang tak pernah distimulasi untuk berimajinasi. Semua anak sekolah di Indonesia tentu hafal Pancasila dan lagu Indonesia Raya, tapi apa yang menciptakan rasa Keindonesiaan dalam pendirian mereka? Seni? Sastra? <em>Likely not.</em></span></p>
<h6><span style="font-weight: 400;"><strong>Baca juga:</strong>&nbsp;</span><a href="https://artcallsindonesia.com/read/mending-bodoh-ramai-ramai-daripada-cerdas-sendirian" target="_blank" rel="noopener">"Mending bodoh ramai-ramai daripada cerdas sendirian"</a></h6>
<hr />
<p><span style="font-weight: 400;"><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/93f532ff-2c01-4dee-a621-b982d05fd4df?width=1019&amp;height=1358" alt="Img 5004" /></span></p>
<h6>Bertarung hingga berdarah dan luka besar, ACI bertemu dengan pemain Caci. Anjungan NTT di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur | Foto: Art Calls Indonesia&nbsp;</h6>
<h3><strong>Menyala</strong></h3>
<p><span style="font-weight: 400;">Kalau sistem pendidikan di Indonesia kurang sanggup menajamkan daya pikir anak bangsa, mengapa aktor-aktor dari kancah seni tak mengambil peran dalam (<em>sorry</em>, patetis) proses pemajuan bangsa ini?</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Belakangan ini, <a href="https://artcallsindonesia.com/read/buku-apa-saja-yang-dinilai-terlalu-bokep-dan-pedofil-untuk-program-sastra-masuk-kurikulum" target="_blank" rel="noopener">program Sastra Masuk Kurikulum ramai dikritik</a>, sehingga <a href="https://nasional.tempo.co/read/1874452/kemendikbudristek-cabut-rekomendasi-buku-sastra-karena-mengandung-unsur-kekerasan" target="_blank" rel="noopener">dicabut oleh Kementerian Pendidikan</a>. Mengapa tak ada satu pun tokoh publik atau lembaga yang seyogianya bersedia berkontribusi: <strong>&lsquo;Kalau sastra tak masuk kurikulum, saatnya anak-anak muda masuk sastra!&rsquo;</strong></span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Mengapa ekosistem seni tak menyala dan lebih berikhtiar menjadi wadah pendidikan alternatif? Langkah yang mesti diambil tak terlalu ruwet: Sediakanlah pendekatan sosial dan inklusif untuk mempertemukan audiens awam dengan seni dan budaya.&nbsp;</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Apa susahnya mengimplementasikan satu dan lain ide inklusif dalam pelaksanaan acara seni rupa misalnya? Apa sih yang dibutuhkan untuk meningkatkan pengalaman para pengunjung? &ndash; Sangat simpel: 'Tuan rumah' yang ramah, penjelasan mengenai karya-karya yang diperlihatkan, kesempatan untuk bertukar pendapat, dll.&nbsp;</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Jika 'narasi' itu tak tersedia dalam pameran seni rupa, pengunjung hanya dipersilakan untuk memuaskan hasrat narsisnya saja, dan menjadi sebatas reporter untuk akun sosmed mereka sendiri. Peluang untuk mengkonstruksi audiens baru sedemikian dibuang. <a href="https://artcallsindonesia.com/read/apa-sih-gunanya-bikin-pameran-seni-rupa-tanpa-mengedukasi-pengunjungnya" target="_blank" rel="noopener">Liputan kami</a> seputar tema tersebut juga mencuat banyak kritik, ada pun beberapa pembaca yang menanggapinya sebagai sifat 'elitis': &lsquo;Kok jaman sekarang masih ada yang menggurui di seni?&rsquo;.</span></p>
<p><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/7041f6c4-3db6-4598-b3bc-bb2c2f2a4773?width=2000&amp;height=1414" alt="Info Sheet Problem Budaya Eko Sistem" /></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Kubu tersebut juga beranggapan bahwa apresiasi pada seorang kreator seni itu mutlak, dan diwajibkan. Apakah 'apresiasi' itu dikemukakan lewat jepretan selfie atau percakapan bermakna menjadi sekunder saja.&nbsp;</span></p>
<h3><strong>Komunikasi vertikal</strong></h3>
<p><span style="font-weight: 400;">'Apresiasi' yang ditagih oleh orang-orang berpandangan seperti itu tampaknya juga berkorelasi dengan kebiasaan &lsquo;komunikasi vertikal&rsquo; yang kita semua alami sehari-hari. Singkatnya, hanya orang-orang tertentu berhak untuk mengekspresikan diri.&nbsp;</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Lucunya, kesepakatan sosial atau bahkan 'feodal' itu sudah mulai dilepas: Dalam lingkungan urban kita sudah mulai mentolerir orang-orang berpakaian 'nyeleneh' (misalnya cowok mengenakan baju 'non-maskulin'). Tapi, toleransi itu masih terbatas pada individualisme secara busana saja. Melawan arus dengan opini yang 'menyimpang'? Wallahu A&rsquo;lam. &ndash; &lsquo;Emang lu siapa?&rsquo; &ndash; &lsquo;Emang kenapa kalau bukan siapa siapa?&rsquo;</span></p>
<p><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/5e7b0038-01e5-4975-9b32-560bd14c82c1?width=1080&amp;height=1080" alt="Julid Graph" /></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Masalah komunikasi 'satu arah' tersebut juga termanifestasi dalam tata arsitektur Taman Ismail Marzuki misalnya. Hingga kini masih banyak seniman resah mengungkapkan ketidakpuasan terhadap TIM yang baru, lantaran mereka kurang dilibatkan dalam proses revitalisasi. Arsitektur di TIM juga tampaknya tak mengajak untuk mempertemukan kelompok-kelompok berbeda. Kendati areanya sangat luas, tak ada satu pun 'assembly point' dalam aransemen bangunan.&nbsp;</span></p>
<h3><strong>Getting out of the box</strong></h3>
<p><span style="font-weight: 400;">Memfasilitasi dan menghidupkan kesenian membutuhkan daya berpikir 'out of the box'. Tanpa kecerdasan sosial yang tinggi, tanpa kepekaan akan kebutuhan audiens, tanpa 'acumen' (penalaran tajam), tidak akan terkemuka ide-ide 'inklusif'.</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Seni memang tak harus bersifat inklusif, tapi berpeluang menjadi lebih relevan bagi masyarakat kebanyakan dengan pendekatan inklusif. <strong>&lsquo;Otak gue gak nyampe&rsquo;</strong> &ndash; Ungkapan paling fatal yang bisa dialamatkan pada seorang seniman oleh audiens.&nbsp;</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Bayangkan semua anak SD di Indonesia memperoleh kesempatan untuk menyaksikan pertunjukan teater anak-anak bertema angin dan laut, di mana anginnya meniup sebuah kapal yang terbawa oleh ombak ke suatu pulau terpencil &hellip; (kembali ke &lsquo;majas metafora angin tak punya KTP&rsquo;). &ndash; Melatih kreativitas bisa dipraktik melalui membiasakan membaca, menulis dan mengobservasi. Kemampuan untuk menyerap informasi dengan baik dan benar menjadi bekal komunikasi yang jitu. Kemampuan berkomunikasi kemudian menjadi kuncinya 'problem solving'.</span></p>
<p><span style="font-weight: 400;">Apa yang menahan stakeholders, pekerja dan pegiat di sektor seni dan budaya untuk sedikit merangkul filosofi inklusivitas tersebut? Kekurangan dana? ART CALLS Indonesia juga bisa menyediakan tempat pertukaran pengetahuan tanpa donasi dana. Kurang bernyali? Mungkin. Enggan atau tak mampu berpikir 'outside the box'? Sepertinya iya. (Marten S, Art Calls Indonesia, 26.06.2024)</span></p>
<p>&nbsp;</p>

Apakah kancah seni lokal belum paham pola pikir 'outside the box'?

<h3><strong>Advertisment &amp; Sales&nbsp;</strong></h3>
<table style="border-collapse: collapse; width: 100%; height: 96px;" border="1">
<tbody>
<tr style="height: 24px;">
<td style="width: 98.018599%; height: 24px;">Contact us for Inquiries</td>
</tr>
<tr style="height: 24px;">
<td style="width: 98.018599%; height: 24px;">Contact us for Consultation</td>
</tr>
<tr style="height: 24px;">
<td style="width: 98.018599%; height: 24px;">Contact us if you have a Request for Quotation</td>
</tr>
<tr style="height: 24px;">
<td style="width: 98.018599%; height: 24px;"><strong>Contact us here: </strong>artcallsindonesia@gmail.com</td>
</tr>
</tbody>
</table>
<h3>General Inquiries &amp; Media Collaborations</h3>
<table style="border-collapse: collapse; width: 100%;" border="1">
<tbody>
<tr>
<td style="width: 98.018599%;">Contact us for General Inquiries and Critic</td>
</tr>
<tr>
<td style="width: 98.018599%;">Contact us for Collaboration Ideas such as Panel-Talks</td>
</tr>
<tr>
<td style="width: 98.018599%;"><strong>Contact us here: </strong>artcallsindonesia@gmail.com</td>
</tr>
</tbody>
</table>
<h3>Redaksi ART CALLS INDONESIA</h3>
<table style="border-collapse: collapse; width: 100%;" border="1">
<tbody>
<tr>
<td style="width: 98.018599%;">Contact us for sending in a Letter To The Editor</td>
</tr>
<tr>
<td style="width: 98.018599%;">Contact us for personal notes to the editors and critics on our content</td>
</tr>
<tr>
<td style="width: 98.018599%;">Contact us for sending in press releases on important matters</td>
</tr>
<tr>
<td style="width: 98.018599%;">Contact us to simply request our attention</td>
</tr>
<tr>
<td style="width: 98.018599%;"><strong>Contact us here:</strong> artcallsindonesia@gmail.com</td>
</tr>
</tbody>
</table>
<h3>Ajakan berkolaborasi kepada sekutu media grassroots, pegiat jurnalisme dan kawan seni</h3>
<h6><img src="https://content.artcallsindonesia.com/assets/02de2995-a768-4cf8-bb4f-fb6a3f315fa0?width=2000&amp;height=1414" alt="Image Press Freedom" />Mari kita berkohesi, berembuk bersama, bersama-sama ciptakan dampak positif, dan menyalurkan ide-ide bersinergi, keren ataupun subversif! Please fasten your seatbelt, stow your artsy tote bags under the stool in front of you, turn on all your electronic devices and open artcallsindonesia.com in your tabs &ndash; We are ready to go on a collaborative, journalistic or interdisciplinary journey together with you!</h6>
<table style="border-collapse: collapse; width: 100%;" border="1">
<tbody>
<tr>
<td style="width: 98.018599%;">Contact us for Collaboration Ideas and Proposals&nbsp;</td>
</tr>
<tr>
<td style="width: 98.018599%;">Contact us for journalistic support</td>
</tr>
<tr>
<td style="width: 98.018599%;">Contact us if you simply want to sit down together and get to know one another</td>
</tr>
<tr>
<td style="width: 98.018599%;"><strong>Contact us here: </strong>artcallsindonesia@gmail.com</td>
</tr>
</tbody>
</table>
<h6><strong><a href="https://artcallsindonesia.com/tentang-aci" target="_blank" rel="noopener">Baca selengkapnya tentang ART CALLS INDONESIA</a></strong></h6>

Kontak

Ad requests, inquiries, collaborative ideas? Shoot!

Advertisment & Sales

General Inquiries & Media Collaborations

Redaksi ART CALLS INDONESIA

Ajakan berkolaborasi kepada sekutu media grassroots, pegiat jurnalisme dan kawan seni

Baca selengkapnya tentang ART CALLS INDONESIA

baca juga...

Menteri Budaya dan Kesetaraan Pamer Payudara

Jakarta diakui sebagai 'kota sastra' oleh UNESCO, tapi pencapaiannya masih minim

Apakah kancah seni lokal belum paham pola pikir 'outside the box'?