OPINI - RKUHP

Reinstal norma irasional zaman kolonial?

(Opini) Pasal-pasal dalam RKUHP menunjukkan kita jauh lebih kolonial saat ini dibanding sebelumnya

ACI

ACI

Article Image Title
Editor: Redaksi ACI
10.12.2022

Setelah ramainya atensi publik oleh ketetapan RKUHP, mulai bermunculan keterangan komplementer yang hendak diluruskan oleh jajaran eksekutif negeri. Benarkah akan sehumanis itu sesuai keterangan yang mulia, atau hanya melempar bara ke khalayak yang menderu-dera? Dekolonialisasi - atau lepas dari bayang-bayang aturan zaman kolonial terdengar revolusioner dan merupakan antitesis dari sistem kolonial. Tujuan utamanya jelas dengan menegakkan keadilan korektif, keadilan restoratif dan keadilan rehabilitatif.

Bukan seperti Dilan

Namun, apakah nilai-nilai tersebut akan berjalan paralel dengan implementasi di lapangan? Sangat tergantung dan tidak dapat dijustifikasi semudah membaca novel Dilan. Jika kita menelisik KUHP OG, undang-undang yang ditetapkan bermuatan pidana dan cenderung eksploitatif. Tidak beranjak jauh dari era kolonial, kini pasal-pasal yang dinilai oleh sebagian kalangan masyarakat mengandung muatan yang cacat formil.

Seiring berkembangnya zaman, penggunaan “kecenderungan” untuk menelurkan delik yang bersifat aduan terlampau besar luas penampangnya hingga memungkikan siapapun yang terduga bersalah dapat terjerat hukum oleh perbuatannya. Ranah-ranah privat kemudian menjadi tumbal rasionalitas semu.

Seperti Dewa

Lebih lanjut, pasal terkait contempt of court (penghinaan terhadap pengadilan): Pasal ini akan menjadikan posisi hakim di ruang persidangan seperti dewa. Dalam persidangan, seringkali masyarakat menemui adanya hakim yang memihak. Apabila pasal ini disahkan, ketika bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan maka dapat dianggap sebagai penyerangan integritas. 

Menurut Anggota Komisi III bidang hukum DPR, Habiburokhman, proses pembuatan RKUHP sudah bertahun-tahun digodok dan disosialisasikan melibatkan aspirasi masyarakat, namun fakta ini berbalik saat melihat realita di lapangan dengan maraknya penolakan terkait pasal-pasal yang bersifat mengancam lewat delik aduan.

Seperti Algemeene Studie Club

Sejenak flashback ke era 1930-an, Indonesia ditandai dengan munculnya berbagai pemikiran dan kegiatan intelektual di tanah jajahan Belanda. Bumi putera lulusan sekolah yang didirikan di awal abad 20 mulai menjelajahi kehidupan modern, termasuk dunia intelektual. Kegiatan politik yang berorientasi pada masa – sebelum dibumihanguskan pemerintah kolonial merupakan pemberontakan besar di tanah nusantara.

Kalangan bumi putera terdidik kemudian membentuk lingkaran intelektual seperti Algemeene Studie Club di Bandung pimpinan Ir. Soekarno , Wilde Scho- len Ordonantie (semacam taman siswa) dan Indonesische Studie Club di Surabaya pimpinan Dr. Sutomo. Kegiatan politik bersifat resmi dinyatakan terlarang apalagi jelas-jelas menentang pemerintah kolonial. Sehingga, aktivitas kelompok intelektual lebih diarahkan pada kajian masyarakat, pengembangan pemikiran (teori) dan sebagainya.

Pesan moral yang dapat dikaji dari kebisingan dan maraknya disinformasi adalah dengan verifikasi dan korespondensi informasi pada ahli yang melibatkan lembaga tinggi pemerintah agar terciptanya harmoni dialektik untuk meleburkan bias kolonial yang mungkin melekat erat pada ingatan massa.