ANALISIS RKUHP

Menurut kalian, layak kah penghinaan pada penguasa tetap bisa dipidanakan?

(Analisis) Menyentil kekuasaan dengan sadar bukan hanya menjadi tanda kamu adalah seniman / netizen kritis, tetapi juga tanda kita tinggal di negara demokratis tanpa harus menuai konsekuensi opresif.

ACI

ACI

Article Image Title
Editor: Marten S.
09.12.2022

Dari kacamata dunia seni urusan RKUHP jelas belum beres. Berbagai pasal-pasal bermasalah membuka peluang untuk membatasi kebebasan berkesenian dan berpendapat di Indonesia. Padahal, menyuarakan kritik bukan hanya hobi bagi seniman-seniman nyentrik dan aktivis vokal, tetapi kontribusi penting untuk lajukan proses demokrasi di Indonesia. Setelah 7 presiden, Indonesia dihadiahkan dengan hukum yang semakin berbau kolonial. Pasalnya, sebagian dari pola tata hukum dari era Hindia Belanda diteruskan dan diterapkan pada negara yang kian sudah menjadi demokrasi. – Demokrasi terbesar ketiga dunia, demokrasi yang di luar negeri lazim dipandang sebagai contoh baik bagi kawasan-kawasan dunia beragama Islam dan demokrasi dengan penduduk rata-rata muda. 

Meme candaan terhadap Ibu Negara 

Sebuah meme guyonan yang memuat Ibu Negara Iriana beberapa pekan lalu sempat berkumandang di kasta politik Indonesia. Stres pribadi yang alhasil dialami oleh 'pencemar' tersebut dapat kalian membayangkan sendiri. Jika kamu kepengin lolos dengan ejekan lebih ekstrim dan liar, pendapat publik kamu tidak harus berakhir dengan kunjungan di jeruji besi. – Asal hak kebebasan berekspresi dilindungi:

Pada 2016 seorang bintang komedi asal Jerman menerbitkan pantun tentang Recep Tayyip Erdoğan, Presiden Turki. Hujatan bertubi-tubi dialamatkan pada pelawak tersebut lantaran substansi dari pantun menyertai penghinaan keras kepada pemimpin negara Turki. Erdoğan didongengi sebagai pelaku sodomi yang terlalu nyaman dengan unggas kambing. Lantas, long story short, walau dihujat dan sempat menjadi bahasan politik, tokoh komedi tersebut tidak dipenjara. Kebebasan berekspresi di Jerman menang atas perasaan tersinggungnya pemimpin negara lain. 

Kritik disisipkan dalam bentuk lucu akan menimbulkan kritik yang ga ada lucu-lucunya 

Tanpa bertele-tele, kutipan berikutnya cukup menjelaskan hakikat dan tragedi di balik kritik humoris:

»You can only joke about deserts and undiscovered planets. With every other topic, there will always be someone who is affected or who claims to be in proxy-consternation.« (Robert Gernhardt, pengarang asal Jerman, 1937– wafat 2006) 

Walaupun secara halus, membercandakan nomenklatur penguasa Indonesia dan keluarga mereka akan mengantarkan kamu ke sorotan publik dan memaksa untuk berjanji membungkam talenta bersatire mu untuk selamanya. Padahal, merefleksikan ide secara humoris dan subversif pada performans dan tingkah laku penguasa dan aparat penegak hukum merupakan pola berkesenian paling sulit untuk dijadikan karya seni. Entah dalam bentuk sederhana seperti meme atau bentuk luwes seperti satire lisan di atas panggung. 

Momok pada demokrasi

Kebebasan untuk mengkritik – atau lebih tepat kesempatan untuk membuka perspektif berbeda pandangan – memang dari dulu tidak dijamin di Indonesia. Pelaku seni di Tanah Air hafal menyensor diri sendiri dalam berkarya, menggunakan bahasa samaran dan jago berlika-liku dengan eufemisme. Pramoedya Ananta Toer sudah melawan untuk dibungkam dan hingga sekarang, 2022, ya bahkan 2025, setelah masa sosialisasi naskah RKUHP, sastrawan tersebut dapat menginspirasi kita tentang berbagai momok pada demokrasi.

Semangat kolonial 

Naskah RKUHP ‘disosialisasikan’ sebagai upaya ‘dekolonisasi’ hukum pidana yang masih bertumpu pada aturan dari era kolonial Hindia Belanda. Sayangnya, naskah RKUHP justru menyalakan semangat neokolonial. Para penguasa dilindungi oleh pasal-pasal yang melarang mengkritik mereka dan menindas yang melawan. Mengagung-agungkan penguasa negara demokratis seperti ratu-ratu monarki jelas berlainan dengan maknanya dekolonisasi.

Pengamat Dekolonisasi

Praktisi seni yang sebenarnya layak lajukan dekolonisasi – tanpa berisiko mengalami kekangan akademik atau artistik. Saat ini naskah RKUHP masih bergejala terkesan otoriter dan merampas kebebasan sipil untuk berekspresi dan berkesenian. Antara lain, beberapa sinyalemen bahwa kualitas demokrasi Indonesia merosot: 

  • Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden 
  • Pasal penghinaan terhadap pemerintah yang sah 
  • Pasal tentang penyiaran berita bohong 
  • Pasal tentang penyelenggaraan aksi tanpa pemberitahuan lebih dahulu 
  • Pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara 
  • Pasal tentang pencemaran nama baik, serta nama baik orang mati 
  • Pasal terkait penyebaran Marxisme dan Leninisme 

Jika ditelisik dengan saksama, substansi dari pasal-pasal tersebut menguntungkan kekuasaan dan mengekang kebebasan berkesenian dan berpendapat. Menghina lembaga – atau lebih jelas: berlainan pandangan – bisa dipidana.  

Seni gaduh dan berkesenian sesuai tata krama 

Pada 2021 silam sebuah mural di sebuah kolong jembatan di Batuceper, Tangerang menjadi bahasan seantero lanskap media Indonesia, usai mural tersebut memotretkan Presiden Jokowi Widodo sebagai pemimpin tanpa kendali. Lantas, mural tersebut diberangus oleh aparat keamanan. Dilansir kompas.com pada Agustus 2021, Istana menjawab soal mural kritik melalui Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko: "(...) presiden adalah orangtua kita, yang perlu, sekali lagi perlu, dan sangat perlu untuk kita hormati," kata Moeldoko di kantor staf presiden. "Jangan sembarangan berbicara, jangan sembarangan menyatakan sesuatu dalam bentuk kalimat atau dalam bentuk gambar."

Kendati pemahaman kebebasan berkesenian semestinya bercakupan lebih luas, beretika memang esensial dalam proses berkarya. Namun, kalau semua karya seni harus menghormati penguasa dengan sopan dan santun, karya seni bisa dicelakai atas konsep yang elusif. Maka, di berbagai negara hak atas berkesenian dan berpendapat dilindungi hukum. Bukan penguasa yang dilindungi dari kritik (atau pun hukum, lol). 

Satire di mancanegara

Ragam seni yang paling mengandalkan perlindungan legal dari berbagai hasrat otoriter adalah satire. – Ragam seni yang tak sering kita temui di Indonesia – dan di Tanah Air lazim dianggap berita faktual. Terdapat hanya sedikit bahan bacaan tentang tafsiran satire dalam Bahasa Indonesia, di Wikipedia pun pengertian satire hanya tercatat dengan paragraf singkat. Satire (terutama lisan) adalah pertuturan kritis, bengis, nakal, subtil atau dwimakna atas sebuah pendapat, dan dikemas dalam bekal artistik. Satire mengajak audiens untuk berpikir sendiri.

'(...) Satire has a revolutionary moment, (and) wants to change the world (...).' (Thomas Mann)

Penghinaan politik di kanal TV milik negara

Rupanya terdengar cukup utopis dalam konteks Indonesia, penghinaan terhadap kekuasaan bahkan didukung secara legal di berbagai negara. – Salah satu contoh baik untuk cakupan kebebasan berkesenian, dan secara konsekuen kebebasan bersatire, terdapat di ZDF, stasiun TV milik negara Jerman. ‘Die Anstalt’, acara bermuatan sketch comedy dan banyak guyonan (tak beda jauh dengan bawaan acara-acara lokal seperti ‘Lapor Pak’ di Trans7) disiarkan setiap bulan dengan penuh sindiran atas tingkah laku politik. 

Kritik terhadap agama

Satire, dan semua bentuk kesenian lainnya bermuatan kritik, juga rentan dipermasalahkan jika tidak menjunjung pasal-pasal naskah RKUHP terkait tindak pidana agama. Penodaan atau tindak pidana penistaan agama dapat dipidana apabila RKHUHP disahkan. 2017 mantan gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok divonis hukuman pidana jeruji besi selama dua tahun atas sengaja di muka umum mengeluarkan penodaan terhadap agama Islam.

Dalam tiga tahun ke depan mungkin sudah tergores dengan lebih jelas apakah kancah seni, media dan publik Indonesia dapat mengalami kemerosotan dalam kebebasan berpendapat. Forecast pragmatis kami: Walau status quo tidak akan diperbaiki, setidaknya kita bersama-sama dapat menjaga pemahaman kebebasan berekspresi tidak larut pada kacamata kuda. Melukis mural sudah rentan menerobos batas toleransi. Bila intoleransi terhadap penuturan kritik marak, maka semua mitra tutur seni dapat berperan serta untuk bersuara. Jika tidak, perbedaan pandangan mungkin hanya dapat menjadi wacana di ruang-ruang eksklusif seperti institusi budaya dalam naungan kedutaan negara asing.