MONEY

Seorang pewaris harta bagi-bagi uang senilai Rp 425 miliar secara acak

Terlahir kaya, ia menolak mengambil manfaat dari warisan keluarganya dan membagikan EUR 25 juta secara demokratis

Foto: Engelhart/Spiegel/ACI

Foto: Engelhart/Spiegel/ACI

Article Image Title
Editor: Marten S.
11.01.2024

Wina, Austria – Marlene Engelhorn, 32, sebenarnya bisa menikmati hidupnya tanpa harus pusing memikirkan bagaimana caranya menafkahi diri sendiri. Perempuan asal Austria ini terlahir dalam keluarga tajir (kekayaan keluarganya diperkirakan mencapai EUR 4,2 miliar) dan menolak untuk menyibukan diri dengan menghabiskan waktu di hotel-hotel termewah di dunia sambil nge-vlog, supaya hasrat kepo orang-orang kecil juga terus ditrigger.

‘Saya tidak pernah kerja sehari pun untuk menghasilkan uang itu’

Melainkan, Marlene Engelhorn telah meluncurkan sebuah inisiatif di negara asalnya, Austria, guna memutuskan secara demokratis apa yang layak dilakukan dengan uang warisan Marlene. Secara lugas: Ia meredistribusikan warisannya sebesar EUR 25 juta (Rp 425 miliar) pada publik dan tidak akan ikut campur dalam keputusan ke manakah uang itu akan diserahkan. 

‘Perlu disadari, saya hanya kebetulan saja punya warisan itu berkat saya terlahir kaya. Itu bukan pencapaian apa-apa. Dalam masyarakat yang setara, peluang-peluang yang Anda dapat dalam kehidupan seharusnya tidak ditentukan dulu oleh kelahirannya. Saya sebenarnya punya kuasa berkat warisan itu, tapi saya ingin berkomitmen pada bagaimana kita merajut masyarakat yang lebih demokratis. Hak bersuara saya tidak lebih bernilai daripada suara orang lain,’ ia tuturkan dalam wawancara bersama media asal Austria. 

Baca juga: Apakah hanya anak orkay mampu menjadi 'changemaker'?

Didampingi grup penelitian ilmiah sosial, Marlene mendirikan dewan pengelolaan distribusi uang yang menurutnya akan terdiri dari 50 anggota terpilih. Sebanyak 10,000 orang di Austria (terlepas dari kewarganegaraannya) akan dipilih secara acak dan dikirimkan surat undangan untuk ikut serta sebagai anggota dewan. Berdasarkan profil semua pendaftar, para peneliti yang memantau inisiatif ini, akan mengajak 50 orang ter-kurasi untuk mencerminkan demografi Austria sebaik mungkin. Semua anggota dewan juga akan diberi honorarium sebesar EUR 7200 atau Rp 123 juta.

Dewan itu akan ditugaskan untuk merembuk bersama tentang ‘pendistribusian’ hartanya Marlene ‘kembali’ kepada masyarakat. ‘Kalau kita bersedia untuk mendengarkan opini orang lain, akan muncul ide-ide baru,’ Marlene jelaskan saat ditanya wartawan Austria.

Baca juga: Pengalaman mindfucking masuk rumah orang super tajir

Engelhorn2

Tanpa hak veto, pewaris harta tidak ikut campur dalam keputusan

Seluruh anggota akan menggagaskan secara demokratis siapakah yang menjadi penerima hartanya Marlene. Perempuan filantropis itu berjanji tidak akan memengaruhi atau ikut campur dalam keputusannya. "Saya tidak punya hak veto. Asal ide-ide para anggota dewan tidak berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi dan tidak berbasis pada keuntungan finansial, apa pun boleh," ujar Marlene Engelhorn.

Marlene juga menekankan bahwa ia sengaja titipkan keputusan pendistribusian warisannya pada dewan tersebut: ‘Kalau saya sendiri memutuskan siapa yang mendapatkannya, saya seakan-akan punya otoritas untuk memutuskan apa yang patut didukung, dan apa yang tidak. Tapi dengan keahlian apa?’ 

Melepaskan privilese demi kemaslahatan orang banyak

Ketimpangan sosial dalam distribusi kekayaan juga berdampak pada sistem politik, partai-partai yang ada dan lanskap media. Begitu Marlene juga mempertanyakan apa yang melegitimasikan seorang kaya tujuh turunan untuk mempengaruhi tata sosial tersebut. Keputusan untuk melepaskan 90% dari harta warisannya sudah final bagi Marlene. Dan ia yakin tidak akan merasa menyesal ketika uangnya sudah ditandaskan dan tidak di tangan dia lagi. ‘Kalau hanya segelintir orang memiliki terlalu banyak, artinya banyak orang memiliki terlalu sedikit,’ ia tutup.

Apakah ikhtiar mulia seperti itu juga bisa terealisasi di Indonesia? Aduh… Pejabat dan artis di Tanah Air rupanya masih sibuk flexing

Baca juga: Jangan sebut 'flexing' – ada istilah lebih ketus untuk mengkritik pejabat yang pamer harta

(Marten S, 11.01.2024, ART CALLS Indonesia)