PERBEDAAN KELAS

Pengalaman mindfucking masuk rumah orang super tajir

Underground di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, bukan berarti kami berkongko di warung-warung lantai dasar Pasar Santa, tapi memasuki rumah tinggal bertingkat yang dilengkapi gelanggang fantastis, terletak tiga lantai di bawah tanah: Isinya aransemen semacam di Dufan

Kolase ACI

Kolase ACI

Article Image Title
Editor: Marten S.
21.12.2023

Terus-terang, teks ini sebenarnya hanya just another kritik sosial dan just another artikel yang mengandung pelampiasan keirian orang jelata – semacam tulisan Indoprogress versi ringan. Tapi, kenapa hanya sumber konten tabloid gosip seperti grid.id, Rumpi No Secret dan Jakarta Uncensored yang boleh mengintip dalam keseharian orang tajir melintir? 

Hasrat kepo orang-orang biasa atas keadaan manusia berkelas dan berdompet tebal rupanya besar, karena golongan crazy rich itu pada umumnya tak bisa ditemui di ruang publik. Kita mengenal mereka hanya dari layar HP. Tembok imajiner antara orang biasa dan orang tajir tujuh turunan itu memang sulit ditembus. Di Jakarta pun nyaris tidak ada fasilitas ruang publik guna mempertemukan kelompok-kelompok masyarakat. Penumpang KRL berasal dari kelas sosial berbeda dengan penumpang MRT, pengunjung mall Plaza Indonesia pun juga tidak akan berpelesiran ke mall Atrium Senen. Biaya hidup rumah tangga di Jakarta juga telah kembali naik sebanyak Rp 1,5 juta per bulan. Kesenjangan antara orang berada dan orang kelas menengah bawah tampaknya kian membesar. 

Tempat seni dan budaya sebenarnya patut memfasilitasi pertemuan antarwarga. Namun fasilitas di ibu kota pun juga masih terbatas. Taman Ismail Marzuki dirasa rada hampa, dan Hutan Kota GBK bertetanggaan dengan restoran mewah yang memakan lahan tempat rekreasi publik. Kita cenderung merasa inferior dengan orang kaya dan kekuatan mereka untuk melegitimasi apa pun dengan uang, karena mereka seakan untouchable.

1

Ruang publik sebagai sarana pertemuan antarkubu: Sebuah taman publik di Bangkok, ibu kotanya kerajaan Thailand. Taman ini berfungsi sebagai tempat rekreasi untuk semua kelompok masyarakat | Foto: ART CALLS Southeast Asia 

Masih dalam konteks perkotaan, nalar publik pun kian rapuh dan terkikis jika tidak ada interaksi antarkubu. Alhasil, kita menjadi kurang kritis dan memaklumi bahwa masyarakat kita terbagi secara kasta, dari kakek-kakek yang jualan tisu dan hidup hari ini hanya untuk hari ini saja, hingga kelasemen kaya yang menghuni kawasan Kebayoran Baru.

Kebayoran Baru di Jakarta Selatan dikenal sebagai kawasan kediaman orang tajir (terutama golongan kaya lama). Calon presiden evergreen Prabowo Subianto pun juga berumah di sekeliling area elit itu. Bilangan prestisius itu juga menampung banyak cerita ajaib dari kelakuan miris para anak-anak trust fund-babies: Ada yang loncat dari mobil SUV dan mengancam orang sekitarnya dengan senjata, ada juga beberapa kasus kecelakaan letal akibat pengaruh alkohol. Peraturan sepele ganjil-genap pun juga tak berlaku untuk kelas tersebut. Ada masalah, tinggal telepon pamannya saja.

Beberapa waktu lalu saya mengalami bagaimana rasanya hidup sebagai orang mentereng. Saya diajak bertamu ke (salah satu) rumah keluarga super kaya di sekitaran Kebayoran Baru. Kepala keluarganya adalah seorang pelaku big business. Saya bersambang ke alam semesta paralel itu untuk mendidik salah satu anak mereka. Bukan sebagai Marry Poppins yang bisa terbang dengan payung selepas mengasuh anak-anak bandel, tapi sebagai mentor bahasa. – Sejujurnya, panggilan itu tidak saya terima karena merasa bahagia membagi ilmu, tapi karena saya ngebet intip ke dalam keadaan fancy dan schmancy. 


Baca juga: Apakah hanya anak orkay mampu menjadi 'changemaker'?

Shout-out kepada kalian semua yang tekun berjuang sendirian, tanpa jejaring sosial dari Papi dan temannya Mami!

Work Interview Jpg


Dijemput (salah satu) supir pribadinya, saya tiba di rumah mereka – dalam settingan yang sungguh tidak subtil: Kekayaan berlimpah-limpah yang dimiliki keluarga ini tertuang dalam banyak aset materialistis. Saya turun dari mobil, dan berada di lantai garasi. – Searmada mobil mewah tersimpan di sini, luasnya garasi pun tak kalah dengan bagian parkiran VIP di mall Pacific Place. Ini bukan pertama kalinya saya bertemu dengan murid tersebut, yang akrab dipanggil Pakde oleh segenap staf rumah, namun ini pertama kalinya kita belajar di luar lingkup publik. 

Pakde memang bersirkulasi dalam kosmos lain. Keleluasaan sederhana yang dialami anak-anak biasa seperti berteriak, berlari dan bersepeda dari ujung ke ujung kampung tidak pernah dirasakan oleh Pakde. Kehidupan dia dielakkan dari segala friksi, ia dibesarkan oleh staf yang bekerja di rumah, dari kepala pelayan hingga asisten pengasuh. Tak beda dengan banyak anak lainnya, Pakde menghabiskan waktu selepas sekolah dengan menonton YouTube. Hanya saja, dia tak perlu meminjam HP kakaknya, melainkan dia bisa mendalami tontonannya lewat layar segede gaban. 

Kebetulan, rumah itu dilengkapi ruangan bioskop – literally ruangan bioskop – bukan sekadar home theatre unyil ala kadar Kinosaurus. Pakde membawa saya ke tempat favoritnya dalam rumah ini, tiga lantai di bawah tanah. Bangunan ini memang tak mengecewakan dan memenuhi semua spek orang kaya. Ada pula lift khusus mobil di dalam rumah (Bayangkan: Lift. Khusus. Mobil.) yang mengantar kita ke gelanggang bowling. Sebelahnya, akses ke bioskop. Surgaloka ini juga dilengkapi ruangan di bawah tanah sebesar aula kampus yang diaransemen sebagai country club dengan sejumlah kursi dan sofa empuk.

Maurizio Cattelan Installation View America Solomon R. Guggenheim Museum 2016 2017

Sebagai sindiran atas kekayaan berlebihan, karya seni konseptual 'Amerika' oleh Maurizio Cattelan dipajang di Museum Guggenheim di kota New York (2017) | Foto: 'Public Provider'

Mengintip ke dalam bangunan Dufan versi privat ini, beberapa pertanyaan mencengkramkan otak saya: Apa yang masuk benak para kuli bangunan kala mereka membangun rumah ini? Party apa saja yang sudah pernah dirayakan di sini? Pernah kah tempat ini digunakan untuk hal-hal aneh? Apakah tempat ini sama sekali belum pernah dipakai untuk berpesta bersama? 

Setelah dua jam, les bahasanya berakhir, dan saya bertemu kembali dengan Pakde di lokasi lainnya. Untuk les selanjutnya saya dipanggil ke rumah keduanya. Kali ini Pakde menunggu saya di kondominium, di salah satu pencakar langit di kawasan Kebayoran Baru. ‘Mau ketemu Pakde’ – Saya melaporkan diri di lobi, namun tidak diminta menunjukkan kartu identitas. Lantas, saya diantar ke lift yang langsung menembus di apartemen Pakde di lantai paling atas dalam gedung ini. Naik lift yang langsung melontarkan penumpang ke dalam apartemen orang terasa aneh. Centilnya, saya sempat heran betapa gampang mendatangi kediaman orang – yang notabene tak ada pintu. 

Eh – begitu saya keluar dari lift, saya langsung disambut seorang bodyguard bersenjata. Laki-laki berotot dan bercelana Levis ini mendampingi Pakde selama lesnya berlangsung. Mata saya beberapa kali menatap pistol hitam yang diikat pada pinggang bodyguard. Dalam sesi les kali ini Pakde bercerita soal liburan terakhir, kala keluarganya dijemput helikopter, terbang naik private jet dan berwisata ke tempat di mana mereka memiliki kediamana lain ‘sebesar istana’ (kata pembantu). 

Kepala staf rumahnya menyelip sejumlah lembaran uang ke dalam amplop yang ia serahkan pada saya, dan menyebutnya uang transport. Tatkala saya pulang, rasanya bak Cinderella kembali dilempar ke dunia nyata. Amplop itu, dengan isi cukup untuk bayar deposit kosan, menjadi kenangan terakhir pada Pakde.

Siapakah sebenarnya Pakde? Sebenarnya siapa pun yang ingin dia menjadi. Ia mewarisi kekayaan yang hanya bisa diraih lewat jutaan tahun bagi rakyat jelata yang hidup melarat. Kekayaan finansial tentu bisa menyelesaikan semua masalah eksternal, tapi sungguh tak semua masalah internal.

(Marten Schmidt, 21.12.2023, Art Calls Indonesia)