Apakah ini karya paling vulgar yang pernah dipamerkan di Galeri Nasional?
Lukisan 'anal' karya Yos Suprapto, yang mendadak viral di internet setelah batal dipamerkan di Galeri Nasional, sebenarnya kurang vulgar untuk dianggap NSFP (Not Safe For Pameran). Galeri Nasional sudah pernah memamerkan karya-karya yang jauh lebih eksplisit. Misalnya, sebuah instalasi seni yang menampilkan seorang brondong yang di-spank oleh seorang Drag Queen berewokan
Di penghujung 2024, seorang seniman senior asal Jogja (Yos Suprapto) dan sebuah institusi berkelas di Jakarta (Galeri Nasional Indonesia) masih sempat menyebabkan keributan terbesar di kancah seni dalam beberapa tahun terakhir. Recap-nya bisa disimak di sini. Bagaimanapun, lukisan ‘anal’ karya Yos Suprapto, yang mendadak viral di internet, sebenarnya kurang vulgar untuk dianggap NSFP (Not Safe For Pameran). Galeri Nasional sudah pernah memamerkan karya-karya yang jauh lebih eksplisit—setidaknya dari segi non-normatif, atau dengan kata lain, dari segi seksual.
Pada tahun 2019, Galeri Nasional pernah memamerkan sebuah instalasi seni yang layaknya sangat berisiko menjadi sasaran lunak untuk penyensoran. Tapi, sebelum kita membahas karya berbau bokep tersebut, mari kita bahas dulu kenapa vulgarisme kerap menjadi kata pamungkas untuk membatasi kebebasan berkesenian.
Ruang edukasi, bukan ruang seni
Galeri Nasional Indonesia sebenarnya sudah melakukan apa yang bisa diharapkan dari sebuah galeri yang didanai publik di sebuah negara berkembang: menelusuri jejak-jejak yang bisa menciptakan identitas keindonesiaan berbasis seni dan budaya, serta menjaga martabat keindonesiaan dengan menampilkan seniman-seniman dari seantero Nusantara. Namanya juga Galeri Nasional, bukan Galeri Non-Nasional.
Oleh karena itu, Galeri Nasional Indonesia sebenarnya lebih pantas disebut ruang edukasi ketimbang hanya ruang seni belaka. Sayangnya, pendekatan edukatif itu tampaknya masih minim sekali di pameran-pameran yang digelar di Galnas. Lukisan-lukisan dalam pameran tunggal Butet Kartaredjasa pada pertengahan 2024 (cek kritik ACI di sini), misalnya, bahkan tidak disertai anotasi (deskripsi).
Supaya imbang, mari kita tidak hanya mengalamatkan kritik kepada institusi-institusi publik, namun juga pada manusia-manusia kancah seni (rupa). Khususnya, pada yang sedang beraspirasi memboikot Galeri Nasional: What do you expect? Di seluruh Indonesia, tidak ada satu pun fasilitas teater dengan ensemble dan karya-karya pentas teater repertoire seperti di Singapura. Hal yang sama juga berlaku untuk fasilitas peragaan seni rupa— infrastruktur kita belum se-ciamik di negara tetangga. Daripada berharap institusi-institusi di bawah Kementerian Kebudayaan bisa menjadi bendungan kebebasan berkesenian seutuhnya, mending para perupa yang merasa kehilangan hak berekspresi bersindikat sendiri. – Nyatanya, kualitas self-management perupa lokal juga masih perlu ditingkatkan.
Baca juga: 10 Open Calls lokal yang tak boleh kalian lewatkan!
Membungkam seniman dengan atribut 'vulgar'
Masih soal polemik seputar Yos Suprapto, sebenarnya sah-sah saja jika Galeri Nasional berdalih berkomitmen melindungi pengunjung dari karya-karya yang terasa terlalu vulgar untuk publik. Dalam tulisan ini, kami sudah berargumentasi bahwa edukasi seni seharusnya bisa menjadi medium mediasi di sini. "Menurut pendapat saya, dua karya [oleh Yos] tersebut 'terdengar' seperti makian semata, terlalu vulgar, (...)," imbuh kurator Suwarno Wisetrotomo dalam artikel yang ditayangkan di Mojok.co.
Karya berjudul 'Konoha' oleh Yos Suprapto | Foto: istimewa
Dalam kasus Yos Suprapto, pengatributan ‘vulgar’ itu sudah menjadi kata kunci yang menyambungkan lukisan anal tersebut dengan konotasi tindakan seksual. Padahal, kata vulgar itu hanyalah kamuflase untuk membungkam aspirasi di balik karyanya: kritik terhadap mantan Presiden Jokowi dan pemerintah RI. Well, apakah karya ‘Konoha 1’ dan ‘Konoha 2’ tersebut terasa estetik adalah pertanyaan lain.
'Melindungi' seakan jadi kata kunci
Kata pamungkas ‘vulgar’ itu juga pernah dipakai sebagai palu untuk memecah rencana peluncuran kanon sastra khusus siswa sekolah di Tanah Air. Daftar bacaan tersebut, yang dipresentasikan pada pertengahan 2024, sempat menimbulkan diskusi panas karena sebagian buku dianggap terlalu mesum—di antaranya buku-buku yang sebenarnya membahas problematika yang sangat relevan dalam kehidupan masyarakat demokratis.
Persoalan tentang sensor di Indonesia sebenarnya adalah problem lama yang sudah ada sejak zaman buyut kita hidup di masa kolonial dulu. Dari dulu, sistem sensor terhadap pelaku seni dan media dipertahankan dengan dalih mewujudkan komitmen negara dalam melindungi masyarakat dari pengaruh negatif, serta demi menjaga moral bangsa (agar otaknya gak diracuni ide-ide mesum).
Baca juga: Rule of thumb untuk menyelamatkan karya seni kalian dari sensor
Pada 2018 dan 2019, misalnya, Galeri Nasional jelas pernah mengabaikan budaya swa-sensor tersebut dengan memamerkan setidaknya dua karya di bawah yang jelas jauh lebih ‘vulgar’ dibandingkan ‘Konoha’ oleh Yos Suprapto.
Sayangnya, nama pameran serta judul karya tersebut tidak bisa kami telusuri lagi, karena kedua foto adalah kenangan pribadi yang kami ambil dari arsip di masing-masing handphone anggota redaksi ACI. Barangkali ada yang mengenal karya ini dan tahu judulnya, silakan kirimkan email kepada kami atau DM kami di media sosial!
(Karya G. Ravinder Reddy?)
Foto pertama memperlihatkan pasutri semok yang sedang kelonan. Payudara sang wanita, yang dipeluk suaminya, terekspos dan tidak ditutupi selimut. Foto ini diambil di Galeri Nasional pada Juli 2018.
Spanked by a drag
Karya kedua memperlihatkan seorang brondong yang berbaring di pangkuan seorang Drag Queen berbaju motif zebra. Drag Queen berewokan ini memukul bokong si brondong, yang terlihat seperti sedang menikmati campuran sensasi antara terangsang dan menderita berkat di-spank. Foto ini diambil di Galeri Nasional pada Maret 2019: