Rule of thumb untuk menyelamatkan karya seni kalian dari sensor
Satir agama, orientasi seksual, kritik terhadap penguasa: Ada banyak tema yang rupanya tabu untuk praktisi seni. Kalau seniman-seniman kondang seperti Yos Suprapto rentan terbatas dalam kebebasan berkesenian, bagaimana dengan pelaku seni pendatang baru?
ACI
Konflik antara Yos Suprapto dan Galeri Nasional, yang awalnya bersifat internal, kini telah menjadi polemik nasional. Perupa senior tersebut dengan tegas membantah adanya unsur ‘mesum’ dalam karya-karya yang ingin ia pamerkan di Galeri Nasional. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menilai beberapa karya lukisan Yos sebagai 'vulgar' dan tak pantas untuk dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, yang berada di bawah Kementerian Kebudayaan. Yos Suprapto tidak sependapat dengan tuduhan bahwa karyanya mengandung unsur vulgar. Menurut Yos, ketelanjangan dalam penafsiran kesenian merupakan simbol kepolosan.
ART CALLS INDONESIA menghubungi Hafez Gumay, Manajer Advokasi di Sekretariat Koalisi Seni: “Dalam kebebasan berkarya tanpa sensor terdapat dimensi ruang yang menentukan kebebasan keseniannya,” kata Hafez. “Ketika di ruang publik, berarti kita tidak bisa membatasi siapa yang menonton, sehingga karya mau tidak mau harus dibatasi guna melindungi hak orang lain tidak terlanggar. Misalnya, hak anak untuk mendapatkan tontonan yang layak dan tidak mengganggu tumbuh kembangnya.”
Namun, seni tidak harus memperhatikan hak-hak kelompok lain jika diadakan dalam konteks ruang terbatas: “Ketika di ruang terbatas, berarti kita bisa menentukan siapa yang bisa dan tidak bisa menonton, sehingga karya dapat ditampilkan tanpa batasan sama sekali. Sebab, orang yang masuk ke ruang pertunjukan secara sadar dan tanpa paksaan siap untuk menonton karya,” kata Hafez Gumay, Koalisi Seni.
Menghindari menjadi sasaran sensor, adapun rule of thumb yang cukup simpel: “Sederhananya, ruang terbatas maka seninya tidak terbatas. Ruang publik (tidak terbatas) maka seninya terbatas.”