REFERENDUM BERSEJARAH

Warga Australia menolak pengakuan lebih besar bagi masyarakat adat

Referendum bersejarah gagal dan mengungkap perpecahan antara mayoritas warga kulit putih di Benua Kanguru dan warga keturunan penduduk pertama

Foreign Brief, William West, AFP

Foreign Brief, William West, AFP

Article Image Title
Editor: Marten S.
16.10.2023

Sydney – “Sungguh ini ironi pahit bahwa orang-orang yang baru tinggal di benua ini selama 235 tahun menolak untuk mengakui mereka yang sudah tinggal di sini selama 60.000 tahun,” tulis seorang anggota perwakilan masyarakat adat di media sosial. Warga Australia – mereka yang baru bermukim di Benua Kanguru ‘selama 235 tahun’ – telah memilih ‘Tidak’ dalam referendum ‘Indigenous Voice to Parliament’. Referendum tersebut dianggap bersejarah dan telah digelar di seantero Australia akhir pekan lalu, guna menguatkan hak-hak masyarakat.

Sebanyak 18 juta warga Australia, termasuk 530,000 warga masyarakat Adat Australia dipersilahkan untuk berpartisipasi dalam pemungutan suara. Hasil referendum mengungkapkan bahwa mayoritas peserta referendum condong pada kelompok pemilih ‘No’. Baik perhitungan dalam masing-masing negara bagian, maupun hasil referendum secara nasional didominasi kelompok penolak.

Masyarakat mayoritas kulit putih menentukan masa depan warga aboriginal

Lebih dari 60 persen peserta referendum menolak rencana untuk mengaku masyarakat adat secara konstitusional dan sedemikian memberi mereka hak untuk berpendapat dalam parlemen. Sebagian masyarakat adat pun juga menolak rencana tersebut, pasalnya pengakuan konstitusional yang ditawarkan masih kurang terperinci dan matang. 

Tujuan pemerintah untuk meningkatkan mutu kehidupan masyarakat adat yang rentan terkena diskriminasi demikian dinyatakan gagal. Masyarakat adat membentuk sekitar empat persen dari keseluruhan populasi Australia. Komunitas aboriginal dianggap sebagai budaya tertua yang masih ada di seluruh dunia dan diturunkan sejak 65.000 tahun lebih.

Masyarakat adat sudah dilanda banyak perkara semenjak benua Australia dijajah Inggris. Ditindas penjajah kulit putih, mereka juga tidak disebutkan dalam konstitusi ‘Commonwealth of Australia’ yang mulai berlaku pada 1901. Baru pada masa 1960-an, masyarakat adat diberikan hak-hak sipil. Hingga tahun 1970-an, anak-anak keturunan ‘pribumi’ juga diambil paksa dari keluarga kandung dan diberikan wewarah sesuai dogma penduduk kulit putih. 

Baru pada tahun 2008 pemerintah Australia meminta maaf atas penderitaan yang ditimbulkan pada para korban ‘generasi curian’. 

Baca juga: 13 hal di Indonesia yang terancam punah dan rusak untuk selamanya

Pemusnahan artefak aboriginal 

Tidak hanya secara sipil, secara kebudayaan pun Australia telah mencatat beberapa kasus yang berturut berdampak buruk pada kultur warga adat. 

Pada 2020, Gua Ngarai Juukan, sebuah situs penting bagi masyarakat aboriginal, dihancurkan perusahaan pertambangan. Gua itu berusia 46,000 tahun dan diledakkan secara tidak sengaja. ‘Kami minta maaf atas penderitaan yang kami timbulkan,’ kata seorang juru bicara perusahaan tambang Rio Tinto pada kala itu. 

Baca juga: Lukisan gua di Sarawak menceritakan kisah perlawanan terhadap penjajah