PENINDASAN PENDUDUK ASLI

Lukisan gua di Sarawak menceritakan kisah perlawanan terhadap penjajah

Seni lukisan gua sebagai ragam seni 'site-specific' cenderung berasal dari zaman prasejarah. Sebuah 'mural' dekat kota Kuching (Malaysia) ternyata masih lumayan anyar, dan diperkirakan baru dibuat antara 120 hingga 280 tahun silam

Jillian Huntley, Paul S. C. Taçon, Mohammad Sherman Sauffi William

Jillian Huntley, Paul S. C. Taçon, Mohammad Sherman Sauffi William

Article Image Title
Editor: )))
28.08.2023

OK, 120 tahun yang lalu kala Malaysia masih dalam pengaruh Britania Raya dan Indonesia belum merdeka dari Belanda, inovasi dan teknologi yang dihasilkan sudah berkembang. Pada tahun 1889 misalnya, Surabaya sudah membangun kereta jalur trem. – Jadi, apa yang kira-kira membuat sekelompok manusia di perhutanan Sarawak (Malaysia) pada masa yang sama menjadi bergiat untuk menghiasi dinding dan lelangit gua dengan cara yang rada kolot? 

Baca juga: Merancang pameran untuk artefak warisan Indonesia

Lukisan-lukisan yang berada di Gua Sireh (terletak dekat kota Kuching di Barat pulau Borneo bagian Malaysia) merupakan dokumentasi abadi dari berbagai masa berbeda oleh penduduk asli di daerah tersebut. Salah satu ‘mural’ yang kini dikaji oleh sekelompok ahli dari Universitas Griffith (Australia), Muzium Sarawak dan perwakilan suku Bidayuh mengisahkan sebuah peristiwa yang bisa dibilang belum basi, jika dilihat dari panjangnya lini masa sejarah umat manusia. Karya media arang tersebut diperkirakan dibuat antara 280 hingga 120 tahun silam oleh penduduk asli, orang Bidayuh. 

Baca juga: Momen ketika Putri Oranye, pewaris Kerajaan Belanda dikonfrontasi dengan aktivis anti-kolonialisme

Penindasan dan pencurian anak 

‘Pada awal 1800-an terjadinya perampasan teritorial di mana seorang kepala suku Melayu dengan brutal menuntut agar orang Bidayuh menyerahkan anak-anak mereka padanya,’ ujar Mohammad Sherman Sauffi William, seorang keturunan Bidayuh dan kurator di Muzium Sarawak. Gua Sireh berfungsi sebagai tempat perlindungan penduduk asli tersebut selama kekerasan teritorial pada awal 1800-an. Dari tempat perlindungan itu mereka berhasil mempertahankan diri dari ratusan orang bersenjata. Berkat dokumentasi oleh orang Bidayuh pada masa itu, sejarah penjajahan lokal diperkaya dengan perspektif dari korban kekerasaan. 

(Marten Schmidt, Art Calls Indonesia, 28.08.2023)