Dua kasus tenar, dua vonis yang tampaknya kontras
Dua kasus tindak pidana berbeda sudah menggeger Indonesia pada tahun ini. Vonis kedua kasus tersebut tampaknya cukup kontras – namun sesuai ekspektasi dan suara publik
ACI
Menghadapi pengadilan, pelaku tindak pidana dalam kasus pertama yang dimaksud di sini sungguh tidak pernah berlomba untuk menarik hati dan simpati warga netizen. Dalam kasus ke-2, pelaku tindak pidana sudah menggunakan perhatian dan platform yang diberikan oleh media untuk mengemukakan kekesalan dan lain perasaan.
Kasus pertama telah bermuara dengan sanksi jauh lebih berat dibandingkan vonis yang dijatuhkan dalam kasus ke-2. Suara publik di Internet dalam rupa netizen Indonesia menerimanya dengan puas. Pertanyaan yang timbul, mengapa sikap biased warga netizen bisa begitu menyondong kepada pelaku tindak pidananya (dalam kasus ke-2) – sehingga pelaku tindak pidana tersebut berhasil menjauhkan diri dari perbuatan an sich dan dari jeruji besi.
Baca juga: 'Panduan bunuh diri': Ketika kasus bunuh diri diromantisisasi media
Menggali alasannya, salah satu pengaruh buruk adalah industri media di Tanah Air. Pengolahan informasi dan penyampaian pada konsumen sering kali datang dalam bentuk clickbait atau umpan klik. Ketika semua informasi yang disalurkan bermuatan ‘heboh’ dan berbagai emosi dahsyat lain, maka konsumen media pun mau tak mau menafsirnya dengan ambang ‘biased’.
Rupanya, seseorang yang melalui media diperagakan sebagai pelaku tindak pidana yang berempati dengan korban, bisa mendapatkan vonis lebih ringan. Industri media sebagai pengolah dan perantara informasi semestinya sadar atas lemahnya daya tangkap* masyarakat kita.
*Topik minimnya minat baca dan minimnya penalaran kritis sudah kami bahas dalam esai ini.
Tetap saja, mengapa resonansi netizen Tanah Air cenderung bersimpati dengan pelaku tindak pidana dalam kasus nomor 2? Salah satu alasan mungkin berkaitan dengan budaya kita. Kultur kita cenderung tidak berdaya untuk berpikir kritis. Perilaku nurut-nurut adalah hal normal – seolah perintah atasan adalah hal niscaya. Dalam kultur yang lebih menganut individualisme, tak mungkin vonis yang dijatuhkan dalam kasus tersebut hanya berupa beberapa bulan penjara saja.
Ada pun alasan lain yang memicu yurisdiksi dan pemahaman penguasa hukum: Oportunisme. Tapi itu cerita tersendiri.
(MS, 8.9.2023)
Baca juga: Mengapa ekstremnya kasus bullying di Indonesia berkaitan erat dengan kultur kita