PERISAI ADAT

Di balik viralnya 'All Eyes on Papua' ada tradisi bernama 'Sasi'

Usaha masyarakat di Tanah Papua untuk melindungi ekosistem alam diadatkan melalui tradisi 'Sasi'

Aksi masyarakat adat Awyu dan Moi di depan gedung Mahkamah Agung, Senin (27/5/2024) pekan lalu. (Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace, Suara Papua)

Aksi masyarakat adat Awyu dan Moi di depan gedung Mahkamah Agung, Senin (27/5/2024) pekan lalu. (Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace, Suara Papua)

Article Image Title
Editor: Redaksi ACI
04.06.2024

Protes para pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan suku Moi dari Papua menjadi viral. Terbantu oleh gencarnya ‘All Eyes on Palestine’, pengguna media sosial Tanah Air telah template-kan seruan itu sebagai bentukan unjuk rasa online – poster ‘All Eyes on Papua’ ramai dibagikan di medsos dan ketimpangan-ketimpangan di dalam negeri kian digemakan. 

Pada pekan lalu, suku Awyu (Boven Digoel, Papua Selatan) dan suku Moi (di Sorong, Papua Barat Daya) telah menggelar doa dan ritual adat di depan Gedung Mahkamah Agung (Jakarta Pusat) untuk melawan pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka. Kedua suku berharap MA menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka. Gugatan keduanya telah sampai tahap kasasi di MA.

Mayoritas masyarakat adat di Papua hidup kohesif dengan alam dan dapat diberdayakan dari lingkungan alam: Hutan dan tanah adat digunakan sebagai ruang penghidupan bersama, ruang budaya, basis ekonomi, hingga untuk berburu dan mencari obat-obatan. 

Demi menjaga keberlangsungan keanekaragaman sumber daya alam, baik di hutan maupun di laut, mereka membuka dan menutup sebagian wilayah perairan dalam periode tertentu dari aktivitas penangkapan hasil laut. Tradisi ini telah dikenal lama sebagai ‘sasi’. Ketika sumber daya laut ditutup melalui ritual tersebut, warganya dilarang mengambil hasil laut. Tradisi sasi ini diterapkan di berbagai wilayah di tanah Papua. Berikutnya, deretan berbagai versi sasi di Bumi Cendrawasih. 

Sorong, Papua Barat Daya

Festival Egek

Anggota suku Moi melakukan upacara fie untuk membuka egek. | Foto: Yayasan EcoNusa, M. Fikri

Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya: Di sini sasi dikenal sebagai ‘egek’. Egek berlangsung selama satu tahun dan semasa sumber daya alam dilindungi dari manusia, warganya dilarang mengambil teripang dan berbagai jenis ikan. Adapun beberapa jenis ikan dan biota lain yang tetap boleh dipancing dan dipanah. Aturan adat ini sudah dijalankan lama. Kesepakatan sosial itu juga dilengkapi aturan sanksi, di mana pelanggar kesepakatan bisa dijatuhkan denda sebesar 15 juta.

Raja Ampat, Papua Barat Daya

Elsa Moom

Hasil Tangkapan: Elsa Moom dan hasil teripang yang diperolehnya saat buka sasi. | Foto: Nugroho Arif Prabowo, Yayasan Konservasi Alam Nusantara 

Kampung Kapatcol, Misool Barat, Raja Ampat, Papua Barat Daya: Kelompok-kelompok di kampung ini buka dan menutup perairan di wilayahnya secara teratur. Lautnya bisa ditutup sehingga setahun dari aktivitas panen. Penangkapan hewan laut saat buka sasi dilakukan dengan menyelam secara tradisional. Biota laut langsung ditangkap dengan tangan dan dengan tombak (‘gate-gate’, alat penangkap). Menyelam secara tradisional ditandai larangan untuk memakai kompresor. Hasil tangkapan teripang lalu diukur, dan hanya teripang dengan panjang lebih dari 15 cm tidak dikembalikan ke laut. 

Baca juga: 

Di Jayapura sekarang ada Creative Hub buat orang muda – lebih dari gelanggang remaja?


Tambrauw, Papua Barat Daya

Biak Karon di Kampung Werur, Distrik Bikar, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya: Wilayah ini memiliki tutupan karang yang masih utuh dan lengkap, dihuni biota laut seperti manta, hiu dan dugong. Melalui tradisi adat sasisen masyarakat adat bersepakat untuk tidak menangkap lola, kerang, teripang, udang, siput mata bulan, penyu, paniki dan kelelawar. Nelayan yang melanggar sasien didenda dengan membayar piring keramik. 

Kaimana, Papua Barat

8 B1 Po  Copy

Terletak di bagian kepala burung Pulau Papua, di utara laut Arafuru, Kabupaten Kaimana merupakan kepulauan terdiri dari lebih dari 300 pulau. Kaimana dikenal sebagai benteng alam dan khazana keberagaman satwa. Hampir seribu jenis ikan dan nyaris 500 jenis terumbu dapat ditemukan di Kaimana. Sasi disebut sebagai sasi nggama oleh masyarakat adat setempat. Masa sasi dilakukan antara Februari hingga April. Aturan sasi nggama yang dipegang masyarakat Kaimana juga menerapkan sistem sanksi berupa uang, dendanya bisa mencapai Rp 100 juta. 

(Marte S / Art Calls Indonesia / 4.06.2024)