EUROPE ON SCREEN

Datang telat ke acara seni: Masa langsung ditolak?

Kami mengemas pengalaman kami di Europe on Screen 2024 dengan pertanyaan terbuka bagi semua pembaca. Alasan mengapa kami ditolak untuk mengikuti 'Europe on Screen' menjerumuskan mereka dan kami ke dalam situasi 'lose-lose'.

Foto ini memperlihatkan suasana di dalam ruangan saat penayangan film 'Selling a Colonial War' pada 9 Juni 2024, jam 16:13 WIB. | Foto: ACI

Foto ini memperlihatkan suasana di dalam ruangan saat penayangan film 'Selling a Colonial War' pada 9 Juni 2024, jam 16:13 WIB. | Foto: ACI

Article Image Title
Editor: Marten S.
14.06.2024

Minggu, 9 Juni 2024, selepas turun dari bus di Halte TransJakarta Kuningan Barat pada pukul jam 14:15 saya disambut hujan deras. Awet dan bikin jalannya banjir merata, hujannya baru reda saat film yang ingin saya tonton sudah dimulai pada pukul jam 14:30 WIB. Saya melalui banjir di depan Erasmus Huis sambil menghindari cipratan genangan air hujan dari mobil-mobil di ruas jalan Rasuna Said. Bagaimanapun, sudah jelas, saya tiba terlambat. 

N., teman saya, sudah berada di dalam ruangan perpustakaan di Erasmus Huis, di mana sebuah film dokumenter tentang sejarah penjajahan di Indonesia sedang melalui bak pertamanya. Film itu ditayangkan dalam rangka festival Europe on Screen (EoS). 

Europe on Screen sedang berlangsung hingga akhir pekan ini di delapan kota di Pulau Sumatera, Jawa dan Bali. EoS digelar secara tahunan, dan loyal menyuguhkan film-film asal Eropa pada audiens di Indonesia. 

Bagi banyak teman saya di Jakarta pagelaran EoS sudah menjadi tempat andalan untuk menikmati film-film langka dan berbahasa asing (misal dalam Bahasa Kroasia), selama dua pekan setahun sekali. Kawan-kawan saya itu tak berjumpa satu dengan lain sepanjang tahunnya, tapi kembali dipertemukan dalam jagatnya EoS yang tampak bagai ‘safe-space’ bagi mereka. 

Film yang tadinya saya ingin tonton mungkin sudah masuk bak ke-dua. Para narasumber mungkin sedang memperdalam pengamatan mereka, setelah satu-satunya sudah dicuplik pada pembukaan film – seperti dalam film-film dokumenter pada umumnya. N., teman saya, telah mengosongkan kursi sebelahnya untuk saya, dan setelah diperiksa staf keamanan kedutaan, saya menuju meja registrasi. – Alamak! Saya tidak dikasih masuk ruangan film. 

Sebenarnya, cerita ini sangat sepele dan jika diringkas begini saja, tidak perlu dibahas lebih lanjut. Namun, terdapat konteks sosial di baliknya yang ingin kami mengudari. Teks selanjutnya merujuk pada pengalaman kami di Europe on Screen 2024 sebagai titik berangkat untuk membuka diskusi tentang relasi pengunjung dan penyelenggara pada umumnya. 

Ini teks apa ya?

Jawaban pendek: Kritik acara seni yang menengarai aspek-aspek sosial. 

Kritik acara kesenian yang diterbitkan ACI biasanya tidak mengkritik keseniannya secara langsung. Fokus kami diletakkan pada konteks sosial: Mulai dari ketertutupan tuan rumah kala kami mengikuti acara berkedok seni di Zodiac, hingga kekurangan materi edukatif dalam rangka pameran seni rupa di Galeri Nasional Indonesia.

Alasannya kenapa kami kadangkala ngotot mengkritik aspek-aspek sosial dan kordial dalam perhelatan kesenian memang cukup simpel: Acara seni apa pun tak akan bisa terselenggara tanpa adanya penonton. – Secara berbotot, raison d’être (hak untuk eksis) seorang seniman atau penyelenggara seni senantiasa tergantung pada animo khalayak. 

Laporan ini sebelumnya dirancang untuk dikemas sebagai ‘event tip’ untuk salah film yang ditayangkan dalam rangka EoS 2024. Sebagai penulis yang mengerjakan tugas tersebut, saya sengaja menghadiri penayangan film dokumenter tersebut pada pemutaran pertama dari total dua pemutaran yang dijadwalkan, agar dapat diulas dan dipromosikan pada audiens kami tepat waktu. 

Terpicu oleh beberapa hal negatif saat kami kunjungi EoS, kami mengambil kesempatannya untuk membagi pengalaman kami sebagai impuls pada wacana seputar beberapa aspek-aspek sosial secara garis besar. 

Kronologi

Kronologi kejadian ini sebenarnya hanya perifer, dan bahkan sedikit memalukan bagi kami sendiri berkat perilaku pihak EoS. Namun, kronologi ini kami rasa perlu disertakan untuk memperjelas titik berangkat dari teks ini. 

Seperti sudah disebut, kami menyempatkan waktu untuk ikuti kegiatan terbuka di EoS pada awalnya untuk mempromosikan film dokumenter 'Selling a Colonial War'. Rencana penerbitan ‘event tip’ itu bukan merupakan kerja sama dengan pihak EoS, melainkan murni menandakan budi baik ACI untuk mempromosikan sebuah film yang kaya akan konteks kultural. 

Kesalahan saya sebagai penulis yang mewakilkan ACI: Saya sebelumnya tidak meregistrasi diri sebagai perwakilan media, namun ‘hanya’ sebagai pengunjung biasa. Memang saya pelak dalam hal itu. Alasannya, supaya tidak tertekan wajib meliputi acaranya. Jika filmnya bagus, layaklah untuk diulas. Jika tidak, tak perlu dipaksa jadi artikel. Begitu pun kami sering mengikuti acara-acara seni berbayar, tanpa meminta tiket gratis atas nama jenama media. Maka, saya tidak membawa ‘surat pengantar’ untuk sekadar mengikuti kegiatan EoS ini. 

Saya memang tiba cukup telat, karena hujan deras di Kuningan. Di meja registrasi, saya dihimbau oleh perwakilan EoS bahwa waktu untuk memasuki ruang pemutaran film telah habis. Untuk menekankan betapa terbatas kuota tempat duduknya, seorang penjaga meja registrasi menjelaskan bahwa slot saya telah diberikan pada orang lain. Ketentuan itu memang bisa dimaklumi.

Saya sendiri pun pada hari sebelumnya mendapatkan jatah tiket masuk ‘on the spot’ secara spontan di salah satu venue EoS lain, yakni di Kedutaan Austria, lantaran penonton yang telah daftar diri ternyata tidak hadir. – Pemutaran di Kedutaan Austria diadakan dalam ruangan yang terasa cukup sempit, sehingga kuota penonton maksimal memang tak bisa ditingkat. Pemutaran yang kami mempersoalkan di sini diadakan di perpustakaan Erasmus Huis, yang nota bene lebih luas. Kursinya dapat disusun dan ditambahkan secara fleksibel. 

‘Tadi sudah ditambahkan sebanyak 18 kursi,’ memperjelas A. (nama sengaja dipersingkat oleh kami), yang sedang bertugas menjaga meja registrasi saat saya melaporkan diri. ‘Terus gak bisa ditambah plus satu lagi,’ saya respon. – ‘Dubes (duta besar) aja gak boleh masuk,’ mengujar A. – ‘Masa?’ – ‘Orang kedutaannya maksudnya,’ meluruskan A. 

Persoalan dengan EoS ini menjadi makin absurd, karena spesifikasi dan keadaan dalam ruangan pemutaran film tersebut memutarbalikkan apa yang diklaim perwakilan EoS saat kami lapor diri.


Lalu, saya menyerahkan kartu media ACI kepada anak-anak meja registrasi. Sejujurnya dengan sedikit malu, seakan-akan saya punya senjata pamungkas yang bisa saya eksploitasi. 

Untuk sejenak, A., si penanggung jawab meja registrasi tampaknya bingung, namun dia kembali merujuk pada S&K yang ia taati. Jenuh dan capek dengan sikap tersebut, saya tidak jadi menjelaskan pada mereka tentang kemaslahatan media pada umumnya. 


‘That’s a big No-Go!,’ akan teman saya menyatakan setelah beliau meninggalkan ruangan pemutaran film. Selaku manajer departemen Hubungan Masyarakat di salah festival paling berprestasi se-Indonesia, ia mengenal dengan Do’s and Don'ts dalam komunikasi dengan kawan-kawan pers. ‘If someone is willing to feature us, why would I brush them off, that’s blatantly unprofessional,’ ucap beliau. 

Rupanya takut pada atasan

Sebenarnya tidak ada salahnya, jika seorang relawan atau sekadar penjaga meja registrasi tidak mengandalkan kepekaan untuk menyadari kemaslahatan media yang bersedia membantu. Tidak ada masalah jika seorang relawan hanya menaati kaidah-kaidah yang ia diinstruksi oleh atasan. Pola pikir selaras tentu semua orang pernah temui dalam kehidupan sehari-hari, ketika seorang pekerja ‘kecil’ – terlepas dari logika – menaati SOP-nya. 

Persoalan dengan EoS ini menjadi makin absurd, karena spesifikasi dan keadaan dalam ruangan pemutaran film tersebut memutarbalikkan apa yang diklaim perwakilan EoS saat kami lapor diri. Agar lebih jelas, kami sertakan foto ruangan. Foto ini diambil dari luar, dekat pintu kaca: 

Erasmus Huis, Eo S 2024Foto ini memperlihatkan suasana di dalam ruangan perpustakaan Erasmus Huis saat penayangan film 'Selling a Colonial War' pada 9 Jun9 2024, jam 16:13. Ruangannya luas, beberapa kursi tidak diisi. | Foto: ACI

Agar tidak berbunyi besar mulut, kami hanya menyimpulkannya dalam satu kalimat saja: Kalau sudah mau ngotot menaati Syarat dan Ketentuan, pastikan S&K ditulis dengan lengkap. Demikian, semestinya ditambahkan penentuan jelas, misal: ‘Jika hadirin telat lebih dari 15 menit, maka …’

Faks SkTangkapan layar S&K pada formulir registrasi untuk acara tersebut. 

Acumen

Seorang penyelenggara acara juga mesti sadar akan motif pengunjung: Apa sih motivasi yang mendorong seorang pengunjung untuk ikut serta? Ihwal EoS, pengunjung tertarik karena mereka berhasil menghadirkan film-film langka. Sayangnya, jadwal penayangan sangat terbatas. 

Membandingkan kritik ini dengan kritik Galeri Nasional, di mana para pengunjung mungkin terinspirasi hadir berkat ulasan-ulasan berbasis reels di TikTok, EoS umumnya menyambut audiens lebih spesifik. 

EoS tampaknya melayani audiens yang seolah sengaja tidak diperluas (bukan diperbesar). Media Partner yang diajak berkolaborasi dengan festival terbatas pada beberapa akun Instagram khusus review film dan satu jenama legacy media

Agar transparan, ACI juga pernah menghubungi pihak EoS pada 2023 untuk menanyakan kesempatan berkolaborasi silang. Motivasi kami kala itu murni didorong keinginan untuk menyoroti festival yang sebenarnya ciamik ini. Namun, ajakan tersebut tidak dibalas pihak EoS. Faksimile e-mail tersebut dapat disimak di bawah. 

1

2

Faksimile email, Tangkapan layar oleh ACI.

Dukungan ACI pada pihak penyelenggara juga telah terucap dalam satu dan lain penyebarluasan informasi panggilan terbuka, misalnya dalam buletin Open Calls ini. Demi transparansi, ACI tidak pernah mendapatkan bayaran dari pihak EoS. Kilasan peluang berkesenian yang kami terbitkan memang tidak dipungut biaya. 

Jurang pemisah kian besar 

Apa sebenarnya ‘take home message’ dari keluh kesah ini? Ada dua. 

1 - Bagi pekerja media: Kalau Anda tidak kenal dengan orang yang punya acaranya, diskip saja langsung. Rupanya terlalu ribet, mengekspektasi ‘acumen’ dari seorang anggota kru yang hanya mengikuti instruksi. Inilah yang menjungkirbalikkan pepatah ‘Kohesi di Seni’ dari ACI – balik saja ke kandang masing-masing, asek-asekan sendiri-sendiri saja. 

2 - Bagi pengunjung awam: Pelajari syarat dan ketentuan yang berlaku terlebih dahulu dan jangan berekspektasi tinggi. 

Kembali ke pertanyaan dalam tajuk artikel ini ‘Datang telat, masa langsung ditolak?’, bisa disimpulkan bahwa acara-acara seperti EoS (yang nota bene bisa hidup karena berkolaborasi silang dengan berbagai kedutaan), sebaiknya tidak menyombongkan diri di mana tidak diperlukan.

Pada umumnya, selama pengunjung lain tidak terganggu dan spesifikasi lokasi memperbolehkan (misal, pintu masuk berada di belakang audiens), kenapa tidak bersikap lebih santai saja? 

Beginilah masalah sepele bisa memberikan mudarat besar. – Bukan karena ACI berlagak ala kadarnya si paling Karen, tapi karena raison d’être (hak untuk eksis) seorang seniman atau penyelenggara seni senantiasa tergantung pada kepuasan khalayak. (Marten S, 14.06.2024, Art Calls Indonesia)

 

Europe on Screen 2024: 

https://europeonscreen.org/