Alasan konsumen di Indonesia memilih baju bekas
Dimana lagi kalau bukan di pasar second hand kita dapat memilih antara pakaian autentik dari masa 90an dan jaman Y2K, bisa menghindari pakain fast fashion, dan dapat baju bermutu OK dengan harga ekonomis? Serius, selain demi gegayaan ada juga alasan lebih terang akal
daily motion
ACI GLOW DOWN – Usai Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan melakukan pyro-show dengan memakai baju bekas sebagai bahan bakar, dan presiden RI Joko Widodo tampaknya cukup berniat serius untuk melarang impor dan jualan baju bekas, timbul lah pertanyaan apakah agenda politis ini masuk akal bagi masyarakat. Redaksi ART CALLS INDONESIA mengupas persoalan tekstil ini dari beberapa perspektif kalangan masyarakat.
Perspektif Kalangan Masyarakat Kurang Beruntung:
Tidak semua warga Indonesia dapat berpartisipasi dalam roda ekonomi online. Tidak semua orang mampu membeli baju baru di pusat grosiran atau toko lainnya. Tidak semua orang punya saudara (yang lebih beruntung) untuk memakai ulang baju bekas disumbangkan saudara. Tapi: Kita hanya dapat berpartisipasi dalam dunia kerja (baik sektor informal maupun formal) bila penampilan tekstil kita cukup ‘sopan’. Baju bekas menjadi kunci untuk dapat mengakses kehidupan publik. Pejabat-pejabat yang membakar baju bekas demi terlihat perkasa, dan (dalam persepsi publik) sibuk memamerkan (flexing) kekayaan tampaknya tidak pernah mengambil perspektif ini.
Dari Perspektif Kelas Menengah:
Membeli pakaian di H&M, Zara, Pull & Bear, Uniqlo dan retailer semacamnya cenderung lumayan mahal di Indonesia. Baju obralan pun tidak ramah pundi-pundi orang middle class. Busana yang dijual antara lain oleh H&M dan Zara di Indonesia jatuhnya jauh lebih mahal dibandingkan di luar negeri. Sejajarnya, pada sale-season hm.com di Eropa menjual aksesori seharga 50 Cent (Rp 8rb), oblong seharga 3 Euro (Rp 50rb), dan celana seharga 6 Euro (Rp 100rb). Rupanya, di Indonesia kita wajib melunasi semacam biaya kegengsian untuk beli baju dari retailer yang di negara maju dianggap biasa saja. – Terlihat dari kondisi ini, nampaklah alasan mengapa beli baju second hand menjadi opsi first hand.
Perspektif golongan 'anak muda' dan 'anak seni':
Pernah gak main ke mall pakai baju ‘fast fashion’ dari retailer semacam H&M dan sempat merasa canggung seketika ada orang memakai baju yang sama? Apalagi kalau baju itu di dia lebih cocok berkat badan lebih seksi dan tinggi. Mampus. Serius, busana itu adalah bahasa tekstil untuk menunjukkan identitas kita, apalagi pada kala muda, dan semacam KTP untuk bersesuaian dengan klasemen tertentu. Tentu kalian bebas mau pakai baju apa, namun akan terlihat seperti alien di mata orang sekitarnya ketika kalian pakai kaos H&M printingan Justin Bieber di acara seni ‘Perjakselan’ (kecuali kalian memakainya sebagai ‘statement ironis’ dan memasang muka bete).
OK, jadi dimana lagi kalau bukan di pasar second hand terdapat baju autentik dengan harga ekonomis? Kurasi tukang grosir second hand rata-rata lumayan beragam: Kalian bisa mencoba dan berganti-ganti antara baju Tie Dye, berselera dengan 90s chic, dan busana dari kala Y2K. College Bomber Jackets ada, baju Cottage Core pun ada, dan menjadi kekhasan diri kalian sendiri.
Gaya busana yang sedang trending mengalami perubahan setiap season. Tinggal tunggu waktu setahun atau dua tahun saja – tak akan ada lagi yang memakai kacamata gaya matriks (yang kayak mata lalat itu lho). Daripada capek dan bangkrut mengikuti semua tren dengan membeli pakaian di toko retail ‘fast fashion’ (yang notabene terlihat kurang individual), timbul lah alasan mengapa banyak orang muda berselera dengan baju bekas.
Perspektif orang bijak mengelola keuangan:
‘Good deal’ antara mutunya barang dan harga. Udah, gitu aja.
Perspektif orang-orang yang serius soal perubahan iklim (dan gak naik pesawat ke Bali setiap cuti bersama):
Alasan yang pertama-tama: Untuk mengurangi limbah pakaian. Jelas, dengan membeli baju ‘fast fashion’ kita turut dalam sistem yang menyukarkan kondisi lingkungan kita. Bagi orang yang ingin menghindari baju ‘fast fashion’ terdapat dua pilihan: Beli baju bekas, atau beli baju ‘ethically handcrafted’ dengan harga lebay.
Perspektif orang yang ragu beli baju baru di Shopee, Tokped dll:
Tidak semua sarana pembelanjaan online menyediakan opsi untuk mengembalikan pesanan baju jika tidak muat atau tidak cocok. Sebelum membeli baju dari online shop yang belum tentu cocok, rupanya lebih efisien beli baju harga ekonomis di pasar second hand saja.
You were reading an article from our rubric ACI GLOW DOWN, in which we 'roast' current issues fueled by nothing else than acumen and a witty sense of seeing things out of a variety of perspectives.
Read related articles from our rubric ACI GLOW DOWN: