Tidak masalah jika adat kebaya diklaim negeri jiran
(Opini) Lewat format ART CALLS ASEAN kami membahas topik-topik trending dari Indonesia dan para negara kawasan Asia Tenggara dalam berbagai variasi jurnalistik. Edisi perdananya dibuka dengan komen atas perwujudan kebaya sebagai warisan Indonesia – atau kah Asean?
ART CALLS ASEAN - Yang mana kira-kira lebih terkenal?
A: Aero Aswar, atlet jetski yang memiliki banyak followers di Instagram dan merupakan mantan Anya Geraldine – atau B: Seni pembuatan perahu Pinisi yang dikembang di Sulawesi Selatan sejak 3000 tahun dan merupakan adat-istiadat dari negara maritim kita?
Baik A maupun B mengacu pada kekayaan kegiatan maritim di Indonesia. Aero Aswar telah menjuarai di berbagai ajang kompetisi jetski internasional, sedangkan budaya Penisi sejak 2017 silam diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda milik nenek moyang bangsa Indonesia.
Jika kita melihat kekayaan adat pakaian di Indonesia, kontradiksi tersebut melekat antara artis-artis kekinian dan tradisi kuno akan janggal, sebab pakaian tradisional suku-suku bangsa Indonesia sudah sangat amat terkenal di negeri ini. Ihwal warisan adat kebaya, bisa dibilang fesyen blus atasan tersebut merupakan budaya serumpun layaknya lambang dari pakaian tradisional di berbagai daerah di Asia Tenggara.
Pada minggu lalu negara Singapura, bersama dengan Thailand, Malaysia dan Brunei serempak menginisiasi adat busana kebaya sebagai warisan budaya tak benda milik mereka. Indonesia tidak ikut serta dalam pendaftaran oleh keempat negara itu kepada UNESCO oleh karena menganggap blus bukaan depan sebagai warisan tunggal asal Indonesia. Grup peduli budaya berupa empat negara tersebut bersepakat untuk memopulerkan sejarah bersama yang sarat akan nilai luhur di kawasan Asia Tenggara.
Lantas, lebih baik para praktisi dan penggemar budaya Indonesia berleha-leha dan mendukung upaya dari negara tetangga kita atau memanifestasikan adat itu sebagai khazanah intangible milik Indonesia saja?
1) Warisan tak benda memang tidak melambangkan warisan tunggal
Hal yang paling fenomenal tentang sebuah warisan budaya adalah bagaimana adat itu bisa bertransformasi lambat laun dari masa ke masa. Menurut UNESCO, yang mengelola sebuah indeks beserta kekayaan kultural intangible dari seluruh dunia, keadaan warisan intangible itu berkontribusi pada kohesi antar-negara, membaur cita rasa identitas – baik dalam konteks urban maupun rural. Sejalan dengan itu, sebuah warisan budaya kerap dibanggakan dan dilestarikan di lebih dari satu negara semata. Adat pakaian Lederhose istilahnya, celana bahan kain kulit yang digunakan oleh pria, pada umumnya tidak hanya diasosiasikan dengan kultur Jerman, melainkan juga dengan adat luhur Austria dan Swiss. Balik lagi, dari kawasan pegunungan nan majemuk ke kawasan maritim, di mana busana kebaya dapat ditemukan dengan pelbagai variasi di kota-kota pesisir dari Melaka hingga Ambon. – Alasan baik untuk berkohesi.
2) Warisan lokal tidak akan berimbas pada nama Indonesia di luar negeri
Bagi kawan-kawan yang pernah ke luar negeri, lalu ditanyakan dari mana asalnya, mungkin sudah akrab dengan dialog universal berikut ini:
Bule (sama aja mau londo dari negara mana pun): Where are you from?
WNI: Indonesia!
Bule: You mean Tunisia?
WNI: No, no – ahm … you know Bali?
Bule: Oh, wooow, Bali! Bali is in (tergantung cara ucapanya) Indo-neesha / Indo-ni-si-a/ Enduh-neeza?!
Begitulah transkrip dari sebuah percakapan yang sering terjadi dan terdistraksi karena bagi orang luar Indonesia itu sebagai sebuah blind spot. Kalau aku cerita pada rekan-rekan di Eropa tentang Indonesia, tidak akan ada yang tahu persis letak Indonesia – kecuali petualang ekstrim yang pernah bepergian naik kereta malam dari Bangkok sampai Jogja. Khususnya pada Asia Tenggara, asosiasi orang-orang asing cukup mengenal Thailand (murah, prostitusi) atau Singapura (padat gedung-gedung tinggi). Tapi rendang, batik atau satay? Tidak diketahui.
Ciri khas kuliner Indonesia di luar negeri masih belum terkenal. Di Jerman misalnya, terdapat banyak sekali restoran yang menyajikan makanan Thailand. Tetapi restoran Indonesia masih awam, jarang ditemui di sana – dan eksotis secara harfiah.
3) Nonton 'My Trip My Adventure' untuk belajar tentang pesona Indonesia?
Andaikata publik Indonesia dapat mengakses edukasi informal tentang warisan dan sejarah Indonesia secara berkualitas – mungkin kah lebih banyak orang menghidupi sebuah praktek kultural ketika mereka memiliki pengetahuan lebih luas tentangnya? Tentu iya. Namun, media dan kreator lokal yang melayani publik Indonesia dengan berbagai versi edutainment masih jarang muncul. Kalau ditanya secara spontan, dari acara TV manakah kita dapat belajar dan mengupas budaya Indonesia, aku tidak bisa menjawab. Yang masuk di benakku 'My Trip My Adventure', acara Trans TV yang mengajak kita untuk menyaksikan eksotisme tempat wisata nusantara bersama seleb lokal dan hosts blasteran. Sebaliknya, stasiun televisi CNA asal Singapura antara lain menyiarkan acara dokumenter cakap dan informatif ini tentang kekayaan kultural Indonesia. Sangat layak disimak!
Seorang perempuan berkebaya di Leles, Garut. | Foto: Wiki Commons, Gunawan Kartapranata
4) Konservasi Vs. Aktualisasi
Bagi aku sebagai individu yang bukan asli Indonesia, negeri ini berpendar dengan serba-serbi oksimoron yang aku temukan setiap harinya. Dari kacamata naif ku, memang mengagumkan bahwa sebuah negara (di mana aku bermukim di era ini) dengan penduduk 75 persen perempuan berhijab, bisa melambangkan sebuah pakaian yang erat memeluk tubuh dan berbahan brokat sebagai simbol tertentu. Sejak aku tinggal di Jakarta, aku belum pernah diundang ke acara kondangan, di mana mungkin para tamu mengenakan kebaya, belum pernah melihat orang di jalan berkebaya di hari Selasa dan hanya tahu mengenai bermacam-macam acara seperti Kongres Berkebaya Nasional selepas meriset lebih dalam.
Kembali dan terus-menerus mengaktualisasi adat luhur sebenarnya membuka kesempatan seru. Seandainya cowok mengenakan celana sarung sudah lazim digunakan, aku juga ingin mengenakan baju tradisional dan digabungkan dengan sepatu sneaker favoritku. Wastra Nusantara bukanlah semata busana jadul dan mesti digunakan bak Bahasa Indonesia – sarana komunikasi yang terus-menerus teralterasi.
Seharusnya baju tradisional tidak hanya menjadi seragam di acara-acara tertentu dan busana yang dipakai oleh tokoh-tokoh budayawan dan desainer seperti penyanyi keroncong Endah Laras, melainkan perwujudan tekstil untuk membaur dan menciptakan versi identitas Keindonesiaan mu – tidak harus sampai menjadi busana sehari-hari, tetapi setidaknya baju yang nyaman, biasa dan kita banget.
Seni dan budaya hidup berkat kisah-kisah dari ragam asal-usul berbaur dan terus dimutakhirkan ke masa dan gaya kontemporer agar tidak basi. Nusantara ini, terlepas dari batas-batas geografis, punya seabrek sumber kultural yang bisa di redefinisi agar terus menjadi aktual. Aku pun sebagai penulis Art Calls Indonesia, yang tidak merupakan sejarawan atau ahli kesenian, tak menyangka bahwa media grass-root kami mencakup tiga zona waktu berbeda dengan seabrek kegiatan dan komunitas kultural yang tidak diketahui – baik oleh UNESCO, oleh kami ataupun generasi muda Indonesia.
Dari Kebaya Melayu yang berpotongan longgar hingga Kebaya Minahasa yang dihias dengan sulaman bunga, busana luhur itu yang tak lekang oleh zaman dan tak harus diisi dengan patriotisme, tapi dengan kreativitas dari generasi ke generasi!
Dari Kebaya Peranakan yang diturunkan dalam kaum peranakan Tionghoa, hingga Kebaya Ambon yang berbahan brokat, wastra Nusantara memang amat identik dengan kesan anggun dan elok! – Berbeda dengan semisal celana tradisional Lederhose yang jarang dipakai oleh pria Jerman, Austria dan Swiss setempat. Keengganan tersebut berakar pada konotasi basi terhadap baju itu. Batik dan Tenun Indonesia? – Bahkan dipakai pesohor dan penguasa internasional di G20! – Seperti heartthrob satu ini.
Tak perlu terlampau bangga dengan identitas, abang-abang dan noni-noni Indonesia, tok cik Malaysia, Thailand, Singapura dan Brunei tinggal mengenakan busana tradisional seperti baju biasa saja untuk menjadikannya ikonik!
Kerabat Kerja
Teks: Marten S.
Penyelaras Bahasa: Satrio R.
Informasi lebih lanjut tentang UNESCO dan Warisan Tak Benda Indonesia