Suara Lantang Lawan Perang
Di Rusia kebebasan berpendapat terus ditekan oleh negara. Seruan penentang perang direpresi, sensor terhadap informasi terus terjadi. Padahal, banyak rakyat Rusia yang menentang invasi, termasuk para musisi. Tidak hanya di Rusia, pelarangan terhadap jenis musik tertentu juga pernah terjadi di Tanah Air.
Kolase: Screenshot TikTok Petite Bourgeoisie | Screenshot YouTube IC3PEAK
Pada pekan lalu presiden Indonesia, Jokowi Widodo, melaksanakan kunjungan kerja luar negeri ke Ukraina dan Rusia untuk membuka peluang perundingan damai. Lima bulan pascaserangan pertama Rusia ke Ukraina, ribuan korban berjatuhan baik dari sipil maupun militer. Sementara itu di Rusia, kebebasan berpendapat terus ditekan oleh negara. Seruan penentang perang direpresi, sensor terhadap informasi terus terjadi, dan pengawasan politik mencapai titik puncak baru. Padahal, banyak rakyat Rusia yang menentang invasi, termasuk para musisi. Beberapa di antaranya memilih keluar dari negaranya dan terus bersuara. Kini, kami berusaha memperdengarkan suara-suara mereka.
Russians Against War
Sehari setelah invasi pertama Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022, tercatat tak kurang dari 1000 orang memadati jalanan kota Moskow dan meneriakkan “tidak untuk perang”. Unjuk rasa juga meluas di St. Petersburg, Yekaterinburg, Perm, dan puluhan kota lainnya.
Tak hanya di jalanan, protes juga dilakukan di atas panggung. Musisi hip hop Rusia, Oxxxymiron (Miron Yanovich Fyodorov), menyerukan gerakan anti perang lewat konser bertajuk Russians Against War atau RAW di Istanbul, London, dan Berlin. Menurutnya, perlawanan terhadap perang harus diartikulasikan “sekeras mungkin”.
Ia juga membatalkan enam konser di Moskow dan St. Petersburg dengan alasan “tidak dapat menghibur penonton ketika di saat bersamaan, misil-misil Rusia menghujani wilayah Ukraina”. Seruan anti perang pun bergema dalam konser RAW pertama di Istanbul yang disiarkan langsung lewat Instagram, Twitch, dan Youtube Oxxxymiron. Konser di luar Rusia memang satu-satunya cara yang mungkin dilakukan, lantaran pemerintah memberlakukan “sensor total” dan siapapun yang memprotes perang akan menghadapi ancaman “tuntutan pidana”.
Sadar akan risiko tersebut, Face (Ivan Timofeyevich Dryomin), rapper asal Rusia, memilih untuk pindah ke Polandia. Dari luar wilayah Rusia, ia bergabung dengan Nervy dan Pornofilmy mengorganisasi konser amal bertajuk Stand with Ukraine yang akan diadakan di Tel Aviv, Tbilisi, Tallinn, Riga, Vilnius, Warsaw, Gdansk, dan Wroclaw. Seluruh keuntungan dari konser tersebut akan didonasikan kepada rakyat Ukraina yang terdampak perang.
Tidak hanya menggalang dana lewat konser, musisi seperti Morgenshtern (Alisher Tagirovich Valeyev) pun berusaha membangun solidaritas lewat teks. Lewat lagu terbarunya berjudul “12”, rapper, produser musik, dan penulis lagu asal Rusia ini berkolaborasi dengan produser asal Ukraina, Palagin, dan menggambarkan kekacauan perang dalam lagunya.
Di akhir lagu, ia menyertakan suara dari ibu Palagin yang menelepon untuk mengabarkan kondisi terkini di Ukraina.
“Anakku sayang, ya, di sini, di sini, di pagi hari atapnya hampir hancur/Kami berpikir untuk berlari ke suatu tempat, dan kemudian kembali ke tempat itu/Saat ini kami sedang duduk di ruang bawah tanah, kami telah menyiapkan tempat perlindungan bom untuk diri kami sendiri/Jadi baiklah, oh sayang, jangan khawatir”.
Morgenshtern juga menulis “Ia (Palagin) orang Ukraina. Saya orang Rusia. Kami membuat musik bersama untuk seluruh dunia. Kami ingin perdamaian. Kami ingin persahabatan” di akhir video klip “12”.
Kritik Pemerintah
Lirik lagu dan video klip yang provokatif juga menjadi kekuatan utama dari karya-karya IC3PEAK, band musik elektronik Rusia yang beranggotakan Anastasia Kreslina dan Nickolay Kostilev. Terbentuk sejak 2013, duo ini mengusung genre musik eksperimental lengkap dengan komponen visual yang meneror dalam video klipnya. Lagu-lagu mereka mengisyaratkan kesedihan, keputusasaan, histeria, dan ancaman.
IC3EPEAK mulai menjadi sasaran sensor pemerintah Rusia pada 2018, ketika video klip “Смерти Больше Нет/Smerti bolshe net/Death No More” mendapat protes keras dari kelompok konservatif karena dianggap menghina struktur penegakan hukum dan otoritas Federasi Rusia.
Video klip yang menampilkan gedung Balai Pemerintahan Federasi Rusia tersebut memang sarat akan kritik terhadap kebijakan sensor seni oleh pemerintah. Akibatnya pada Desember 2018, duo IC3PEAK ditahan oleh polisi di stasiun saat akan hadir ke konser mereka di kota Novosibirsk. Konser tersebut pun batal, begitu juga dengan setengah rangkaian tur IC3PEAK setelahnya.
Menanggapi hal tersebut, Kreslina menyebut pemerintah Rusia “kurang selera humor”. Pasalnya, apa yang ditampilkan IC3PEAK dalam video klip itu bukanlah hal baru. Mereka hanya berusaha menyampaikan keresahan publik dan aspirasi generasi muda terhadap pemerintah yang selama ini tidak dapat tersampaikan.
Perlawanan terhadap Rezim
Sebagai konfigurasi fragmen gagasan, musik memang bisa menjadi rekaman memori atas ihwal tertentu. Selain digunakan untuk menggugah kesadaran dan empati, musik-musik Oxxymiron, Face, Morgenstern, dan IC3PEAK juga menjadi rekaman atas kondisi Rusia di bawah kendali Putin yang tidak memberikan ruang pada kebebasan berpendapat.
Meski Putin mengakui pelarangan konser IC3PEAK tersebut bisa jadi keputusan yang kontraproduktif namun sudah menjadi tugas pemerintah untuk “membimbing anak muda”. Menurutnya, rap dan bentuk seni modern lainnya harus dilarang karena bertumpu pada tiga pilar: seks, obat-obatan terlarang, dan protes.
Ataukah dengan kata lain, seni modern bisa mendorong generasi muda Rusia menjadi lebih kritis dan vokal terhadap rezim yang otoriter?
Seni dan kepentingan politik acapkali saling beririsan, baik dalam konotasi positif maupun negatif. Seni, dalam hal ini musik, bisa menjadi alat propaganda pemerintah. Namun di sisi lain, musik juga bisa jadi instrumen kuat untuk melawan rezim.
Tidak hanya di Rusia, pelarangan terhadap jenis musik tertentu juga pernah terjadi di Tanah Air. Pada masa pemerintahan Sukarno, musik rock and roll, irama dansa dan cha cha cha juga dilarang. Ia menyebutnya sebagai “musik ngak ngik ngok” yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan memberi pengaruh negatif kepada generasi muda. Koes Bersaudara yang identik dengan lagu-lagu The Beatles pun terimbas dampaknya, mereka dipenjara selama dua bulan tanpa proses peradilan.
Pelarangan musik tersebut berkaitan erat dengan haluan politik Indonesia yang kala itu condong ke Blok Timur dan mengambil sikap anti-Barat. Segala hal yang berhubungan dengan Barat dilarang, termasuk musik. Sebagai gantinya, pemerintahan Sukarno berupaya mendorong generasi muda untuk mempopulerkan kebudayaan nasional dan daerah.
Namun kondisi berubah drastis ketika Suharto berkuasa. Lagu dan musik yang berkaitan erat dengan Sukarno diberangus. Lagu-lagu yang dipopulerkan oleh anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) seperti “Genjer-Genjer”, “Naro Karyo”, “Podho Nginang”, “Mbok Irat” dilarang karena dicap sebagai propaganda komunis.
Lagu-lagu dengan lirik tentang kritik sosial dan sindiran terhadap pemerintah juga bernasib sama. Bahkan Iwan Fals pernah diinterogasi oleh aparat selama dua minggu setelah manggung di Pekanbaru karena menyanyikan lagu “Demokrasi Nilai” dan “Mbak Tini” yang dianggap menyindir Suharto. Departemen Penerangan (Depen), lembaga bentukan Orba yang memegang kendali atas arus informasi menyebut lagu-lagu semacam itu berpotensi “menghasut khalayak dan mengganggu stabilitas negara”.
Bahasa Universal
Musik adalah bahasa universal yang punya kekuatan untuk menggugah kesadaran. Lewat musik, suara-suara yang terbungkam dapat disampaikan lewat lirik baik secara eksplisit maupun implisit.
Dalam hal ini, Putin sadar betul akan kekuatan “suara” ketika menekan undang-undang (UU) yang melarang media untuk menerbitkan apa dianggap “Kremlin” sebagai hoaks tentang tindakan Rusia di luar negeri dengan konsekuensi hukuman hingga 15 tahun penjara. Menanggapi UU yang terbit pada Maret 2022 itu, CNN, ABC, BBC, hingga Spotify memilih hengkang dari Rusia.
Sebagai generasi pertama yang lahir setelah bubarnya Uni Soviet pada 1991, musisi seperti Oxxymiron, Face, Morgenstern, dan IC3PEAK punya aspirasi berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka adalah generasi pro demokrasi yang menyerap berbagai ide tentang kebebasan dan kesetaraan dari sumber tak terbatas: internet.
Ketika pemerintah Rusia menggunakan televisi sebagai alat propaganda, membatasi akses ke media independen, dan memaksa media arus utama melakukan self-censorship, generasi muda mengandalkan media sosial untuk mendapatkan informasi yang berimbang. Mereka mengakses Instagram, Twitter, TikTok, dan podcast lewat Spotify (sebelum ditangguhkan) dan membuat konten tandingan untuk menciptakan distribusi informasi yang lebih sehat. Seperti yang dilakukan oleh Nikita Sass di akun TikTok Petite Bourgeoisie.
@petite__bourgeoisie Posting shitty drafts so you know I’m safe pt.2
♬ MATERIAL GROWLL - Tik Toker
Mereka juga memanfaatkan media sosial secara efektif untuk menunjukkan keberpihakan dan empati. Dalam unggahannya, IC3PEAK mengajak publik untuk tetap bersuara meski kini semakin berbahaya untuk bersikap vokal, khususnya terhadap pemerintah. Mereka juga mendonasikan sebagian keuntungan dari streaming album Kiss of the Death untuk membantu rakyat Ukraina selama perang masih berlangsung. “Kami akan terus melawan”, mereka menegaskan di akhir pernyataan.
Para musisi ini merupakan generasi yang tidak tergiur oleh janji-janji stabilitas ala Soviet lama. Mereka tak segan untuk menuntut hak-hak sebagai warga dari negara yang demokratis meski dalam praktiknya, Putin sering bersikap sebagai diktator yang mengontrol berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Mereka adalah generasi yang pro perdamaian, yang percaya bahwa kebebasan merupakan hak asasi manusia. Bagi mereka, kebebasan dan perdamaian adalah masa depan sedangkan kekerasan dan perang adalah langkah mundur. Seperti yang dinyatakan oleh Face dalam unggahannya “masa depan Rusia ada pada orang-orang yang memiliki kuas dan mikrofon di tangan mereka, bukan pada mereka yang memegang mesin dan granat. Masa depan Rusia adalah pemikiran rasional dan kebebasan”.
Lalu apakah upaya yang mereka lakukan ini bisa membawa perubahan pada kondisi Rusia – Ukraina? Mungkin saja.
Penyanyi Wolf Biermann membuktikan lewat musik, ia mampu menggerakkan gelombang protes besar-besaran setelah ia diekspatriasi oleh negaranya sendiri, Jerman Timur. Keputusan pencabutan kewarganegaraan Biermann inilah yang menjadi awal mula perlawanan rakyat Jerman yang terus meluas hingga Tembok Berlin runtuh pada 9 November 1989.
Gerakan anti perang dan penggalangan dana yang dilakukan oleh para musisi Rusia juga bisa menjadi riak-riak perlawanan yang akan terus membesar dan tak terbendung. Bagaimana dengan musisi Indonesia? Di tengah berbagai persoalan politik, lingkungan, agraria yang terus terjadi, apakah masih akan bungkam dan memilih bermanis karya dengan oligarki? Ataukah justru bangkit melawan ketidakadilan mumpung belum ada larangan untuk bersuara?
Kerabat Kerja
Penulis: Rheisnayu Cyntara
Riset: Rheisnayu Cyntara, Marten S.