ESSAY

Seni itu tidak seperti batu bara dan kelapa sawit

Coba sebutkan, satu saja, pelaku seni dari paru-paru dunia kita – Kalimantan – yang mungkin kita kenal dan akui sebagai seniman berskala nasional?

Article Image Title
Editor: Marten S.
29.06.2022

Sebelum artikel ini dimulai, izinkan saya mengajukan sebuah pertanyaan dulu untuk siapa pun yang membaca artikel ini. Tidak perlu dipaksakan dan cukup dijawab dalam hati saja. Jika sudah siap, maka inilah pertanyaannya: Coba sebutkan, satu saja, pelaku seni dari paru-paru dunia kita – Kalimantan – yang mungkin kita kenal dan akui sebagai seniman berskala nasional?

Pertanyaan tersebut jangan dianggap setara dengan tes tulis seleksi CPNS, sebab memang bukan. Dari saya pribadi pun jika ditanya, maka jawabannya secara sederhana dan mudah adalah: Banyak! Masalahnya, jika disuruh menyebutkan siapa, saya yang tumbuh besar dan ber-KTP Kalimantan (tepatnya di bagian Selatan) juga cuma bisa garuk-garuk kepala sambil menyebut nama seperti Ian Kasela. – Sungguh jawaban yang (dengan bangga) saya kategorikan sebagai pop sekali!

Selayaknya yang selalu dibilang tokoh-tokoh menginspirasi Indonesia, negara kita sebenarnya tidak pernah kekurangan sumber daya manusia. Bahkan jika dicari sampai ke pelosok pun pasti akan kita temukan manusia dalam jumlah yang lebih dari cukup untuk diberdayakan di berbagai bidang. Dalam konteks ini, bidang seni tentu juga termasuk ke dalam kategori disiplin yang tidak akan pernah kekurangan sumber daya tersebut. Tapi mengapa jika berbicara soal seniman dari daerah – yang dalam kasus ini berfokus di Pulau Kalimantan dan mengerucut ke bagian Selatan – rasanya susah sekali menjawab pertanyaan di awal tadi tanpa mengandalkan Google? Ke manakah nama-nama pelaku seni yang tidak cuma sekadar ada, tapi juga berbakat luar biasa, yang hilang dari indra pendengaran orang-orang kota di Jawa sana?

Kelahiran Kalsel, dikenal sebagai pelukis dari Bali 

Sebut saja Gusti Solihin. Jika digoogle, maka yang akan muncul pertama kali adalah akun-akun LinkedIn dan Facebook milik orang yang tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan sosok Gusti Solihin yang dimaksud di sini. Scroll down sedikit lagi dan kalian akan mendapati sedikit sekali informasi mengenai pelukis kelahiran Kalsel ini, yang di kemudian hari akan hijrah ke Bali dan tentu lebih dikenal sebagai pelukis dari Pulau Dewata.

Sekali lagi saya akan merujuk pada latar belakang saya yang tumbuh besar di Kalsel. Ketika mengikuti kelas seni budaya zaman SD dulu, seorang guru yang bernama dan berlogat sangat Banjar akan memperkenalkan kami pada hebatnya Raden Saleh, Basuki Abdullah, dan berbagai nama pelukis asal Jawa lainnya. Tidak pernah sekalipun saya mendengar nama Gusti Solihin diungkit, padahal almarhum pernah menggelar pameran bersama pelukis tersohor Affandi pada tahun 50-an di Brasil.

… lagi-lagi dari julukan itu ia tetap saja berada di bawah bayang-bayang seorang pelukis asal Pulau Jawa.

Ada pula nama pelukis Lamberi Bustani yang juga seangkatan dengan Affandi dan berasal dari Barabai (salah satu kecamatan di Kalsel). Saking berbakatnya, ia bahkan diberi julukan sebagai “Affandi-nya Barabai” – lagi-lagi dari julukan itu ia tetap saja berada di bawah bayang-bayang seorang pelukis asal Pulau Jawa. Pun jika kembali digoogling dan dibandingkan antara dua pelukis Kalsel tersebut dan tiga pelukis Jawa yang telah disebut, akan didapati ketimpangan informasi yang terlihat jelas di antara seniman beda letak geografis ini.

Merayu Who?

Kalau menelisik ke bidang seni lain, sebut saja sastra, ada Merayu Sukma yang merupakan seorang sastrawan kelahiran Balikpapan dan besar di Banjarmasin, kampung halaman orang tuanya. Ia kemudian memutuskan untuk hijrah ke Malang dan kemudian menelurkan karya-karya terbaiknya tentang propaganda era penjajahan Jepang di sana. Meski sudah berpindah ke Jawa, nama Merayu Sukma entah kenapa tidak sebesar pelaku seni yang sezaman dengannya, seperti Usmar Ismail dan Armijn Pane. Lagi-lagi dari sisi saya sendiri sebagai mahasiswi sastra Indonesia di sebuah PTN, tidak sekali pun saya pernah mendengar Merayu Sukma atau pengarang Kalsel lain disebut sebagai materi ajar. Pun sepertinya para tenaga pendidik lebih merasa keren jika hanya membawakan nama sekelas Chairil Anwar, tanpa memedulikan sastrawan lain yang seangkatan dengannya, namun tidak pernah berada dalam satu sorotan lampu yang sama.

Mamanda dan Madihin

Dari segi kebudayaan suku sendiri, Kalsel kental dengan tradisi sastra lisan seperti Mamanda dan Madihin; tradisi lisan yang sama tuanya dengan lenong Betawi, tapi tidak juga jadi akrab di telinga seantero negeri.

Kalsel tentu tidak kekurangan dalam budaya bersastra, sebab setidaknya beberapa kali dalam setahun ada pengarang Kalsel yang mencetak namanya di kolom cerpen Kompas, sebagai salah satu tolok ukur cerpen berkualitas Indonesia. Dari segi kebudayaan suku sendiri, Kalsel kental dengan tradisi sastra lisan seperti Mamanda dan Madihin; tradisi lisan yang sama tuanya dengan lenong Betawi, tapi tidak juga jadi akrab di telinga seantero negeri. 

Tanpa bermaksud membandingkan seniman atau budaya dari Kalimantan dan Jawa (sebab saya sendiri meyakini tiap-tiap nama dan budaya yang telah disebutkan di sini sama hebatnya), akan selalu muncul keheranan – setidaknya dari penduduk Kalsel, mengapa di tempat yang kaya akan seni ini seolah tidak ada tempat untuk berkembangnya seni itu sendiri?

Hijrah

Saya tidak bisa untuk tidak menyebutkan bahwa situasi politik sedikit banyak berperan dalam kondisi seni Indonesia yang, seperti umumnya apa pun di bumi pertiwi ini, tidak merata. Konsep sentralisasi kekuasaan terlihat begitu jelas membawa Pulau Jawa ke menjadi pusat segalanya dari Indonesia, atau yang biasa disebut juga dengan istilah Jawa-sentris.

Coba perhatikan, saya sempat menyebut “hijrah” saat menjelaskan perpindahan pelukis dan sastrawan asal Kalsel ke Jawa. Hijrah sendiri berarti berpindah ke tempat atau untuk tujuan yang lebih baik. Hampir tidak pernah orang-orang menyebut perpindahan dari Jawa ke pulau lain sebagai hijrah. Hal demikian tanpa disadari mengamini pandangan mayoritas warga Indonesia bahwa Jawa memang tempat paling baik, setidaknya untuk berkembang; untuk memiliki hidup yang lebih maju. Ditambah dengan embel-embel seniman nasional bagi para pelaku seni di Jawa – sedangkan di luar Jawa sendiri istilah yang paling pantas adalah seniman daerah, seolah menandakan bahwa kata “nasional” memang hanya patut disematkan pada masyarakat Jawa. Itu merupakan contoh kecil saja dari sesatnya informasi dan pengetahuan yang kita terima selama ini. 

Entah ironi atau bukan, mengingat para pelaku seni harus berbondong-bondong hijrah ke Jawa untuk mendapatkan tempat yang layak agar karyanya bisa diterima khalayak luas. Fenomena itu tidak bisa disalahkan, mengingat masyarakat Kalsel juga sepertinya kurang awam dengan kegiatan berkesenian atau kebudayaan secara umum. Di Jakarta, mereka punya TIM sebagai tempat nongkrong sekaligus berkesenian. Sedangkan di Kalsel, kami punya Taman Budaya yang tutup kecuali untuk acara seni perintah pusat. Dari sini saja sudah terlihat sedikit mengapa agenda seni di Kalsel tidak sepesat di Jakarta atau Jawa secara keseluruhan.

Singkatnya, seni bukanlah komoditas yang menarik di Kalsel. Di tanah Banua ini, seni tidak seperti batu bara dan kelapa sawit yang menghasilkan – justru seni cenderung “buang-buang”, jika tega dikatakan demikian.

Meutia Swarna Maharani adalah seorang mahasiswi program studi Indonesia (dulunya disebut Sastra Indonesia) dan editor-at-large di Art Calls Indonesia. Meutia bermukim di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.