Ngapain sih menyebar rekaman kasus 'bundir'?
Kenorakan industri pers di Indonesia harus serius diberantas: Lagi-lagi ada media yang menghebohkan kasus bunuh diri. Berita bunuh diri bungkusan gaya ‘dramatis’ bisa menggoda penderita gangguan mental
Penafian: Jangan pernah menganggap remeh ketika seseorang menyatakan dirinya hendak bunuh diri atau mengakhiri hidup. Jangan ragu untuk menanyakan dan menawarkan bantuan, bersedialah menjadi support system yang baik. | Jika dirimu sendiri mengembangkan kecenderungan untuk mengakhiri hidupnya, segara menyimak daftar tautan di bawah untuk mencari konsultasi profesional.
Budaya kita di Indonesia memang obskur. Kita terbiasa melihat orang-orang berswafoto dengan mayat neneknya sendiri di Instagram sebagai ucapan duka cita, kita terbiasa melihat foto-foto korban kecelakaan lalu lintas tersebar di Twitter, dan kita biasanya baru berempati dengan seorang korban (atau bahkan pelaku!) kalau seisi dunia sudah melabelkan dia sebagai cantik atau ganteng.
Ilustrasi aneh oleh Republika
Pekan lalu, kabar kasus bunuh diri seorang tokoh publik beredar di jagat maya. Beliau mengakhiri hidupnya saat seorang petugas pengelolaan gedung bermediasi dengannya.
Tak terbayang apa yang dirasakan keluarga orang tersebut: Para saksi mata di sekitar tempat kejadian diketahui sempat merekam momen-momen tindakan bunuh diri. Video tersebut kemudian tersebar di jagat maya. Bukan hanya Twitter, Instagram dan TikTok saja yang tak berakhlak, media arus utama pun juga ikut-ikutan menyoroti video itu.
Antara lain, laporan yang diunggah ‘Kumparan’ di kanal YouTube miliknya memperlihatkan pelaku bunuh diri pada detik-detik sebelum meloncat dari atas gedung. Videonya disertakan musik dramatis layaknya komposisi Hans Zimmer khusus film-film horor. Keterlaluan itu juga bisa ditelusuri dalam berbagai tulisan mengenai kasus yang sama. Beberapa judul berita menekankan ‘kenekatan’ sang pelaku, dan memotretnya sebagai ‘korban ganteng’. Selarasnya berbunyi banyak komen netizen terkait kasus itu.
Kurang NIK KTP saja: Suara.com tidak mengenal yang namanya privasi korban
Dari sekian banyak video dan artikel (bebas akses) yang kami telah telusuri, hampir semua artikel mengabaikan privasi keluarga korban. Demikian, banyak komen netizen tampaknya ditulis terpicu oleh berbagai emosi, dari kesedihan hingga sindiran. Dari keseluruhan komen yang kami simak, terdapat cukup banyak yang menganggap wafatnya orang tersebut sebagai tanda kelemahan mental.
Contoh kasus bunuh diri tersebut lagi-lagi menengarai kealpaan industri media di Indonesia. Kendati industri pers memiliki kemampuannya sebagai salah satu ‘gatekeeper’ akses informasi untuk mengedukasi masyarakat Indonesia, banyak pemain dari lanskap media ini hanya memperburuk stigma yang terlintas dalam masyarakat kita terhadap tema kesehatan mental dan bunuh diri.
Bak Trailer film bioskop: Kumparan membungkus rekaman warga dari tindakan bunuh diri dalam gaya dramatis belaka
Diromantisisasi
Pada tahun lalu keekstreman voyeurisme industri pers di Indonesia sempat memuncak dalam pemberitaan mengenai kasus bunuh diri sejoli dari Tangerang. Usai dua orang muda memutuskan untuk mengakhiri hidupnya secara bersamaan, mereka dijuluki 'Romeo dan Juliet' oleh pelbagai sarana media. Rupanya, kematian pasangan dari Tangerang itu diromantisisasi belaka.
Pemberitaan bunuh diri di Indonesia masih berada dalam tahap yang sangat memprihatinkan. Penyebab tindakan bunuh diri seringkali disimplifikasi (‘gegara sakit hati’), artikel-artikel bersangkutan juga cenderung memuatkan informasi yang sama sekali tidak relevan, seperti kronologi kejadian – dari postingan terakhir oleh pelaku di media sosial hingga penemuan mayatnya. Konten terkaitnya juga kerap dipenuhi dengan asumsi tunggal yang ditanyakan dari orang sekitar (‘gegara sakit hati katanya’) dan simpulan problematik.
(Sumber: Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa di Indonesia via BBC Indonesia)
Bunuh diri industri pers
Industri media di Indonesia memanglah terpaksa sikut-sikutan, tidak hanya dengan pesaing dari industri yang sama, namun juga dengan influencer berkedok penyedia informasi. Media profesional memang kalah jauh dari akun-akun penyedia informasi di media sosial, mereka lebih unggul menjajakan informasi instan. Baik media tradisional maupun baru, semua menaati logika yang ditentukan oleh raksasa seperti Instagram dan TikTok.
Seolah kehabisan berita banget, TribunNews bahkan pernah memotret seorang pelaku tindakan pidana sebagai ‘teroris ganteng’ yang ‘bikin gadis dan ibu-ibu kaget’.
Viral, viral, viral
Konsumen media di Indonesia memang menggemari konten sensasional. Hal itu bisa dikaitkan dengan latar belakang para konsumen: Rumah tangga di Indonesia cenderung tidak memiliki bujet khusus langganan informasi bermutu; literasi digital di Indonesia masih sangat rendah; dan hanya 0.01% orang Indonesia menikmati membaca.
Kehausan akan konten viral hanya bisa berhasil untuk menyambung nyawa industri pers, selama literasi masyarakat (kemampuan untuk memproses sebuah berita dan berpikir kritis) masih belum meningkat. Bagaimanapun, berita apa pun yang hanya dimaksud untuk memancing emosi konsumen, berkontribusi pada kemerosotan industri pers sebagai pelayan pada masyarakat. Semakin banyak konten dari media profesional meniru gaya sensasional ala kadarnya influencer, semakin terkikis gunanya industri media sendiri.
Bahayanya Copycat Suicide
Dunia pers juga kudu sadar akan tanggung jawab mereka untuk mencegah inspirasi-inspirasi bunuh diri. Fenomena ‘Werther Effect’ atau ‘Copycat Suicide’ mendeskripsikan keinginan yang tiba-tiba menjalar antara konsumen media untuk meniru tindakan bunuh diri seperti dalam berita. Istilah itu diambil dari tajuk buku ‘Penderitaan Pemuda Werther’, karya Johann Wolfgang von Goethe yang diterbitkan pada tahun 1774. Dalam novel tersebut, tokoh utamanya bernama Werther sengaja mengakhiri hidupnya dengan menembakkan diri sendiri selepas cinta sudah kandas. Banyak penggemar di daratan Eropa kemudian menirunya dengan memakai pakaian ala tokoh novel ‘Werther’ dan mengakhiri hidup dengan cara yang sama.
Bukti penurunan kasus bunuh diri selepas media lebih 'discreet'
Untuk mencegah adanya efek Werther, media mancanegara sudah sadar akan fenomena itu sejak zaman 1980an. Terdapat contoh naik-turunnya kasus bunuh diri di kereta bawah tanah di Wina, Austria. – Sejak pertengahan dekade 1980, jurnalis di sana sudah mengubah cara mereka mewartakan insiden-insiden tersebut. Seiring dengan pemberitaan lebih bijaksana, jumlah kasus peniruan bunuh diri kemudian menurun.
Jangan diglorifikasi
Semakin sensasional dan eksplisit narasi berita bunuh diri, semakin besar potensinya individu dengan gangguan mental kian terinspirasi. Adapun beberapa faktor untuk mengidentifikasi bahayanya berita bunuh diri.
Risiko ini meningkat ketika:
- 'kematian sukarela' dijelaskan secara rinci dan sensasional
- lingkungan sosial, latar, motif dan kondisi pelaku digambarkan secara mengharukan
- adanya penyederhanaan penyebab masalah: tindakan bunuh diri digambarkan sebagai aksi mencari ketenangan atau jalan pintas atas tekanan-tekanan yang disimpulkan dengan motif-motif tunggal – seperti himpitan ekonomi atau masalah dengan pasangan
Risiko peniruan berkurang apabila:
- berita bunuh diri tidak disoroti, hanya masuk berita kilasan
- ada penjelasan bunuh diri diakibatkan penyakit tertentu
- terdapat pendapat ahli
- terdapat pencantuman kontak bantuan bagi orang-orang yang sudah terlintas ide untuk mati
(Marten S, Art Calls Indonesia, 13.06.2024)
INFO BOX
Pencegahan bunuh diri: https://www.intothelightid.org/tentang-bunuh-diri/
Layanan di bawah bukan merupakan layanan krisis bunuh diri. Jika kamu melihat seseorang mencoba melakukan bunuh diri, atau berada dalam kondisi yang berbahaya atau mengancam nyawa, segera hubungi layanan darurat 119. Jangan menunggu.
Daftar Penyedia Layanan Kesehatan Mental di Jabodetabek: https://www.intothelightid.org/tentang-bunuh-diri/daftar-penyedia-layanan-kesehatan-mental/jabodetabek/
Penyedia Layanan Kesehatan Mental di Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Malang, Bali, Samarinda, Manado, Makassar: https://www.intothelightid.org/tentang-bunuh-diri/daftar-penyedia-layanan-kesehatan-mental/
Layanan Konseling Online dengan Psikolog atau Psikiater: (Harga layanan konsultasi online dapat berbeda-beda, umumnya mulai dari Rp100.000,- per sesi. Silahkan tanyakan mengenai harga masing-masing penyedia layanan)
- Getbetter.id (Indonesia) https://www.instagram.com/getbetter.id/
- Riliv.co (Indonesia) https://riliv.co/id
- Helpline BISA (Indonesia): layanan 24 jam melalui nomor WhatsApp 08113855472
- Emotional Health For All (Indonesia): https://ehfa.id/help-and-support/
- Love Inside Suicide Awarness Helpline (Bali): https://www.instagram.com/p/CRYOjAplcMA/?hl=de
Menolong Orang dengan Pemikiran Bunuh Diri: https://www.intothelightid.org/tentang-bunuh-diri/menolong-orang-dengan-pemikiran-keinginan-bunuh-diri/
(Sumber: Into The Light Indonesia, komunitas yang fokus pada upaya dan edukasi pencegahan bunuh diri, Art Calls Indonesia)