Festival sastra di kota tanpa toko buku
Kata 'Montolutusan' berasal dari Bahasa Banggai dan mendeskripsikan keterikatan pada masyarakat 'Babasalan'
Rizky Urip
Banggai, Sulwesi Tengah – Kemarin untuk pertama kali saya main ke Banggai, kecamatan Luwuk tepatnya. Kurang lebih, jaraknya 600 km, mengarah ke timur Kota Palu – kota di mana saya tinggal. Festival Sastra Banggai berlangsung di sana, di kota tanpa toko buku, empat hari lamanya. Montolutusan menjadi istilah yang terus berulang dan akhirnya lekat dengan kegiatan itu. Jadi, cerita ini akan saya mulai dari istilah itu.
Montolutusan ini berasal dari bahasa Banggai. Ia bisa diartikan sebagai persaudaraan. Persaudaraan dapat berkaitan dengan keterikatan, dan keterikatan dapat terjalin melalui darah, hubungan emosional, juga budaya. Keterikatan itu pula berlaku pada masyarakat Babasalan (Banggai, Balantak, Saluan, dan Andio), yang telah hidup berdampingan sejak lama di dataran timur dari Provinsi Sulawesi Tengah. Montolutusan merupakan filosofi pertautan keberagaman di antara mereka.
Mengungkai yang acak
Kamis pagi, 24 November, saya tiba di RTH Teluk Lalong untuk mengalami Montolutusan yang menjelmah. Ia hadir sebagai rangkaian kelas dan diskusi, sinole, serta pentas dan sajak dalam balutan Festival Sastra Banggai 2022. Montolutusan menjadi tajuk serta filosofi yang dikandung tema besarnya: 'Mengungkai Acak, Menyimpul Padu'. Tahun ini merupakan kali keenam Festival Sastra Banggai diadakan dan kali pertama dilaksanakan secara luring setelah melalui dua tahun pandemi dengan pelaksanaan yang terbatas.
Rangkaian kelas selalu mengisi pagi dan siang hari. Kelas dibawakan oleh berbagai penulis, pegiat literasi, akademisi, atau penyair dari berbagai daerah, juga beragam topik pembahasan. Mulai dari ragam tips dan teknik menulis, peluncuran sekaligus bedah buku, hingga kisah dan proses kreatif dari penulis ternama. Walaupun semuanya berkaitan erat dengan penulisan dan buku, pembahasan selalu beririsan dengan berbagai isu.
Para penulis yang terlibat dalam Festival Sastra Banggai 2022 menyampaikan pesan | Foto: Rizky Urip
Di pesisir Balantak
“Mai Jagai Toboi” oleh Neni Muhidin, salah satu karya sastra yang dibedah dalam Festival Sastra Banggai, menggambarkan kehidupan nelayan dan betapa sulitnya mencari ikan di pesisir Balantak, usai ikan semakin menjauh dari daratan seiring dengan hadirnya kapal yang lebih besar.
Juga ada topik mengenai kekayaan dan ketahanan pangan oleh Ahmad Arif, yang membahas bagaimana kekayaan pangan (sagu, jagung, umbi-umbian) seharusnya menopang ketahanan pangan, dibanding bergantung pada beras tok sebagai makanan pokok. Ada juga bedah buku “Melawan Nafsu Merusak Bumi” oleh AS Rosyid yang berusaha mendekonstruksi mindset pemeluk agama yang acuh pada kerusakan lingkungan.
Sore hari di Banggai
Sore hari diselingi dengan kegiatan santai. Ada kegiatan menggambar, mendongeng dan bermain untuk anak-anak. Ada juga “Kopi Puisi” oleh Rearea, yang memberikan ruang bagi siapa pun untuk membacakan puisinya. Atau hidangan kuliner khas yang dimasak langsung di taman, lalu disantap bersama oleh pengunjung. Sore hari adalah waktu di mana semua bisa bersantai dan menikmati sastra dengan beragam bentuk penyajian.
Malam hari selalu dinanti. Pengunjung akan merapat ke panggung utama di ujung taman untuk menyaksikan beragam penampilan. Kapal Udara, Aya Canina, Musim Timur, Eko Poceratu, Irawita, adalah beberapa di antara banyaknya penampil yang meramaikan. Ada juga lapak buku yang digelar oleh Nemu Buku bagi yang ingin belanja referensi. Bagi yang ingin jajan, beragam UMKM juga menjajakan jualannya di pelataran RTH. Ada juga peluncuran buku bertajuk “Musim yang Pergi”. Sebuah karya kolaboratif oleh Akademi Sastra Banggai yang memuat kumpulan karya sastra dari berbagai penulis setelah melalui tujuh bulan residensi.
Makanan pokok dan identitas bagi masyarakat Indonesia Timur
Di sana, kita tidak merayakan sastra saja. Justru, pangan menjadi fokus wacana yang mendominasi obrolan. Pangan dianggap melampaui makanan pokok semata, melainkan sebagai identitas serta pertautan yang memadukan keberagaman di antara masyarakat.
Misalnya Ubi Banggai yang telah lama menjadi makanan pokok, juga sebagai identitas dari masyarakat Babasalan, atau Sagu yang menjadi makanan pokok dan identitas bagi masyarakat di Indonesia Timur. Sastra tidak menjadi subjek yang terpisah, tersudut, dan berjalan sendiri. Melainkan sesuatu yang juga beririsan dengan literasi, pangan, ekologi, dan sosial budaya secara umum.
Dengan fokus pada pangan, Festival Sastra Banggai ingin menegaskan suatu sikap terhadap penyeragaman pangan berupa beras yang telah berlangsung lama di Indonesia. Lantas, bahwa alam kita kaya, juga budaya pangan kita; dihadapkan dengan fakta bahwa 74% konsumsi pangan pokok kita adalah beras sementara sisanya ialah gandum – yang lucunya tidak tumbuh di Indonesia.
Sinole: Sagu disangrai dengan kelapa, sambil dipercik air kelapa. Dimakan dengan sayur lilin dan ikan bakar. | Foto: Rizky Urip
'Nongki' di lapak buku, Festival Sastra Banggai 2022 | Foto: Rizky Urip
Absennya pemerintah daerah
Memang terdapat beberapa tantangan yang mesti dijawab ke depannya oleh Festival Sastra Banggai. Misal, partisipasi masyarakat setempat yang lebih luas, tata ruang festival yang harus dioptimalkan, dan hal-hal teknis lainnya.
Barangkali absennya pemerintah daerah juga berpengaruh. Walaupun Festival Sastra Banggai telah berjalan selama enam tahun tanpanya, tentunya akan lebih baik jika pemerintah daerah bisa menyambut Festival Sastra Banggai sebagai ruang kreatif dan intelektual yang mendukung peningkatan literasi masyarakat dan menautkan keberagaman di tanah Babasalan.
Keseluruhan, festival ini mampu menunjukkan bagaimana seharusnya kita mengungkai yang acak. Seni lintas media, ekologi, literasi dan budaya saling ditautkan di dalamnya. Tidak terbatas pada menyatu dalam satu panggung semata, namun mempertemukan irisan antar berbagai wacana untuk menegaskan bahwa kita seharusnya saling menyimpul padu.
Adi C. W. Atmaja adalah seorang pegiat seni bermukim di Palu, Sulawesi Tengah. Ia aktif sebagai pengurus di Lentera Silolangi (Sanggar Seni Lentera). Adi juga bekerja di Yayasan Tadulakota, lembaga studi kebudayaan yang berbasis di Kota Palu.