Dominasi Jubah Brutalist: Arsitek muda mengulas wajah baru Taman Ismail Marzuki
Arsitek kondang Andra Matin menyematkan karya bangunan terbarunya pada peta Jakarta Pusat. Lewat kunjungan ke Taman Ismail Marzuki, Gregorio, penulis staf kami yang sekaligus berprofesi sebagai arsitek, menguraikan makna dibalik arsitektur baru di Taman Ismail Marzuki untuk kita-kita yang mengenal dengan gaya arsitektur ‘industrial’ (alias: tembok beton lecet) mungkin hanya dari cafe-cafe kekinian saja.
Jakarta - Setelah setengah abad berdiri menjadi wadah eksperimentasi beragam bidang seni, pada tahun 2018 pemerintah DKI Jakarta mengumumkan peremajaan Taman Ismail Marzuki yang kerap disebut dengan Revitalisasi TIM. Selama proses revitalisasi, diskusi demi diskusi lahir antara seniman dengan pihak pengelola proyek yang bertanggung jawab atas metamorfosisnya laboratorium kesenian tersebut. Pandangan seniman yang merasa tidak dilibatkan dan digubris, serta anggapan revitalisasi TIM cenderung mengarah komersial, menjadi diskusi hangat dalam beberapa tahun terakhir.
Berkunjung ke TIM dengan tiga figur masyarakat
Setelah beberapa tahun proses konstruksi, rupa terkini TIM hampir selesai direvitalisasi. Kala ini, kami ingin beropini mengenai rupa baru Taman Ismail Marzuki – Tidak mengambil perspektif pengelola TIM, pihak pengembang ataupun seniman yang peduli dengan TIM. Namun, kami akan membahas dari sudut pandang arsitektur sebagai wadah eksperimentasi seni – serta telah bergabung bersama kami, tiga figur masyarakat umum yang memiliki reminisensi serta manifestasi akan rupa lama dan baru Taman Ismail Marzuki.
Perwakilan ACI bersama peserta masyarakat berarak menuju TIM, memandang bangunan anyar ini dari luar.
Membentengi kesenian: Fasad Gedung Panjang berstruktur beton, besi dan kaca | Foto: Nabila Giovanna Widodo
Dominasi Jubah Brutalist
Andra Matin bukanlah nama yang asing dalam dunia arsitektur, pun hasil gubahan beliau, yang akrab disebut Mas Aang, dalam membangun beberapa tengaran seni di Ibu Kota, sebut saja Salihara Arts Center dan Dia.Lo.Gue Artspace. Kecenderungan Mas Aang dalam menggunakan material seperti beton dan kayu dengan finishing natural sudah menjadi ciri khas beliau dalam menciptakan gubahan arsitektur. “Ekspresi material yang jujur seperti beton punya keindahan sendiri,” dikutip dari wawancara Mas Aang dengan Whiteboardjournal. Selain kejujuran yang diciptakan material beton, penekanan pada warna abu yang ditimbulkan beton membuat warna tersebut lembut untuk dilihat dan menetralisir warna debu terutama pada bangunan Ibu Kota. Tidak jarang, eksplorasi beliau dalam mengekspos kualitas material sebagaimana adanya membuat karya beliau terlihat seperti sebuah produk dari gaya arsitektur Brutalist, tidak luput karya beliau terkini, wajah baru Taman Ismail Marzuki. Namun terlebih dahulu, apa yang dimaksud dengan arsitektur brutalist?
God, it’s brutal out here
Sederhananya, arsitektur brutalist bukan merujuk pada suatu gubahan arsitektur yang kejam, melainkan sebuah istilah yang berasal dari bahasa perancis béton brut yang berarti beton mentah. Berkembang dan populer pada tahun 1950-1970, sebuah gaya arsitektur pasca perang karena kebutuhan konstruksi dengan biaya minim, gubahan dengan elemen modular dan repetitif, dan yang utama adalah penekanan pada obsesi dalam mengekspresikan kejujuran material. Mulai ditinggalkan pada tahun 1980 karena ekspresi yang dihasilkan terlalu dingin, keras, sering diasosiasikan dengan totaliterisme, namun kembali sering diadopsi lantaran dianggap estetis.
Balok Beton bertingkat dan berdimensi besar: Dirancang menjadi serba fungsi, Gedung Panjang akan antara lain memfasilitasi perpustakaan, tempat penginapan serta galeri. Masa silam sebelum renovasi, bagian ini dari kawasan TIM merupakan lahan parkir dengan beberapa warung makanan di pinggir parkiran | Foto: Nabila Giovanna Widodo
Dulu lahan parkir, kini gedung par—. Gedung Panjang di TIM, koherensi secara horizontal dan vertikal antara struktur bangunan dan bagian-bagian terbuka
Naungan di lantai dasar Gedung Panjang. Adem sepertinya.
Bukan keseluruhan dari komplek Taman Ismail Marzuki direvitalisasi dengan mengadopsi gaya arsitektur brutalist. Galeri Cipta masih berdiri, pun dengan Planetarium yang saat ini sedang dalam masa renovasi masih mempertahankan bentuk kubah lingkaran. Namun, adisi bangunan taman parkir beratap hijau serta Gedung Panjang yang berdiri tinggi, kini mendominasi pemandangan komplek Taman Ismail Marzuki.
Berpelesir di Beton
Pada April 2022, kru Art Calls Indonesia sempat berkunjung melewati wajah baru TIM bersama beberapa figur masyarakat yang punya kenangan tersendiri dengan Taman Ismail Marzuki. Impresi pertama mereka melihat Gedung Panjang kurang menggugah perasaan mereka mengenai sebuah bangunan kesenian. Material beton yang diolah sejujur-jujurnya menciptakan dominasi warna abu-abu pada badan Gedung Panjang dan Gedung Parkir, sebuah warna netral dan sederhana. Karakteristik akromatik yang ditimbulkan warna abu memberi kemungkinan agar bangunan menjadi tidak mencolok, bisa jadi didirikan dengan warna netral untuk menjadi latar bagi perkembangan seni yang akan datang. Namun, absennya warna pada warna abu seolah tidak memberikan jiwa pada ruangan yang terbentuk, disaat semua produk seni dan budaya berasal dari semua yang menghembuskan napas dan berjiwa.
Gaya arsitektur brutalist identik dengan bangunan institusi, perumahan publik, sekolah-sekolah dengan segala ciri uniformitas dan keteraturannya yang tidak mencirikan sebuah kebebasan dalam berekspresi.
Laser Cut dan Batik Betawi
Material kaca sebagai bukaan fasad disusun dengan pola arbitrer terinspirasi dari susunan not balok Rayuan Pulau Kelapa oleh Ismail Marzuki, namun gubahan akhir tetap tampak teratur, terintegrasi pada bangunan berbentuk geometris persegi panjang. Penerapan unsur lokal pada fasad juga dapat ditemukan pada brise soleil Gedung Panjang, dimana susunan material baja dilubangi menggunakan teknik laser cut yang memberikan efek pembayangan pada ruang dalam mengurangi panas dari radiasi sinar matahari, terinspirasi dari motif Tumpal yang sering ditemui pada Batik Betawi.
Figur masyarakat yang ikut berkunjung ke TIM beropini bahwa mereka tidak merasakan bahwa keberadaan Gedung Panjang terlihat sebagai sebuah Pusat Seni Budaya. Satu hal yang dapat menjelaskan fenomena tersebut mungkin terletak pada gaya arsitektur brutalist yang melekat pada desain bangunan Gedung Panjang. Gaya arsitektur brutalist identik dengan bangunan institusi, perumahan publik, sekolah-sekolah dengan segala ciri uniformitas dan keteraturannya yang tidak mencirikan sebuah kebebasan dalam berekspresi. Seni dan budaya secara umum merupakan produk yang dilahirkan karena hasil eksperimentasi pada ruang bebas ekspresi. Pandangan tersebut bisa jadi dasar mengapa adisi Gedung Panjang pada kompleks TIM sulit diterima sebagai sebuah pusat kesenian dan budaya.
Apakah rupa brutalist baru Gedung Panjang dapat menjembatani segala perkembangan dunia seni Indonesia?
Wet Beton: Gedung Panjang dari sisi Jalan Raya Cikini. Terlihat mutakhir | Foto: Nabila Giovanna Widodo
Memasuki ruang dalam Gedung Panjang, dapat dilihat bahwa bangunan dilengkapi dengan beragam fasilitas yang akan melengkapi kawasan TIM menjadi satu pusat kesenian dimana seniman multi disiplin dapat berkreasi. Dimulai dari Perpustakaan Umum dan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, co-working space, dapur publik, ruang siniar, kolam renang serta galeri besar dengan plafon tinggi yang menciptakan efek dramatik, menjamin karya-karya dengan ukuran masif dapat dipamerkan di dalam bangunan ini. Gedung Panjang juga akan dilengkapi dengan wisma seni, kabarnya mayoritas kamar akan dilengkapi tempat tidur tingkat yang dapat mengakomodasi empat seniman. Satu fasilitas ini sempat menimbulkan polemik karena pernyataan wisma seni yang dibangun menjadi hotel berbintang dan mengarah komersial.
Atap hijau miring yang menutupi gedung damkar dan sekaligus hendak berfungsi sebagai tempat tongkrongan yang menghadapi sebuah rumah makan Padang di Jalan Cikini Raya. Sepertinya cukup terbuka untuk membawa naspad mu kesini, namun ketika mengonsumsi mungkin konsumen dapat merasa puyeng sebab tempat duduk miring ke bawah sekaligus ke samping | Foto: Nabila Giovanna Widodo
Napak tilas ke TIM dengan naik beberapa derajat: Bagian ini dulu merupakan gapura TIM, kini menjadi fasilitas yang diposisikan paling dekat dari Jalan Raya. Jika bersantai sejenak di lahan miring ini, pastikan kamu tidak berguling ke bawah sehingga menembusi pagar dekat Jalan. Bisa bablas | Foto: Nabila Giovanna Widodo
Merepresentasikan kebrutalan pihak berpengaruh?
Perjalanan kami dengan figur masyarakat umum mengelilingi area sekitar TIM berakhir beberapa saat setelah adzan Maghrib berkumandang, namun diskusi dan opini mengenai rupa terkini Taman Ismail Marzuki tidak berhenti hanya sampai sini. Reminisensi dan manifestasi mereka mengenai TIM akan kami ulas pada seri Catatan TIM selanjutnya. Konklusi sementara yang dapat kami jabarkan setelah berdiskusi dengan beberapa figur masyarakat umum adalah rupa baru Taman Ismail Marzuki yang sulit diterima masyarakat dan tidak mencerminkan bangunan pusat seni. Terasa seperti ada hal yang memutus segala memori dan mimpi antara rupa lama dan kini Taman Ismail Marzuki. Hal ini membangkitkan satu pertanyaan penting – apakah rupa baru Gedung Panjang yang mendominasi kawasan TIM dengan pengaruh gaya arsitektur brutalist dapat menjembatani segala perkembangan dunia seni yang telah dan akan terjadi? Atau mungkin hanya akan menjadi satu bangunan yang merepresentasikan kebrutalan pihak berpengaruh yang kurang melibatkan dan kurang peduli akan aspirasi mayoritas pegiat seni?
Baca di seri selanjutnya: Reminisensi dan Manifestasi oleh masyarakat terhadap Taman Ismail Marzuki (akan tayang pada Mei 2022)
Archi-ACI - Gregorio adalah seorang arsitek serta anggota penulis Art Calls Indonesia yang bermukim di Jakarta.
Kerabat Kerja:
Penulis, Reporter, Praktisi Arsitektur: Gregorio Eben Heizer
Penyunting Naskah, Teks Pengantar Headline, Takarir: Marten S.
Koordinator Sesi Rembuk Figur Masyarakat: Gregorio H., Marten S.
Peserta Sesi Rembuk Offline: Nabila Widodo, Aulia Sasongko, Satrio Rachmadi
Foto: Nabila Giovanna Widodo
Copyright Art Calls Indonesia